Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Politik Balas Budi Mengakar, Merambah Akademisi

26 Januari 2021   10:10 Diperbarui: 27 Januari 2021   07:12 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelompok brutal, serakah telah tampil mengendalikan sistem demokrasi. Kini di hampir semua sendi demokrasi. Para pemodal memegang kendali. Hanya ada dua, pemodal dan pengusaha. Mereka menjadi seperti magnet, power full pula. Sering kali akademisi takluk. Orang-orang tercerahkan menjadi boneka dan budaknya. Mereka leluasa memerintah. Memburu para pemburu uang, para pemburu jabatan.

Baik di partai politik. Di penyelenggara Pemilu, di organisasi pemuda, organisasi kemasyarakatan. Mereka bergentayangan pula di organisasi profesi. Pemilik modal memang hebat. Juga di sektor birokrasi, tak sedikit kita temukan para pejabat publik mengandalkan sogokan, gratifikasi dan koneksi. Demi sebuah jabatan. Umumnya, koneksi yang digunakan ialah dengan melibatkan orang-orang kuat berduit. Pengendali kekuasaan dan penguasa.

Pemangku kepentingan, merekalah penentu. Penguasa dan pengusaha (pemodal) berkoalisi, habislah kita. Kualitas, pengalaman, integritas personal menjadi bagian belakangan, tidak penting. Bukan prioritas. Ukuran penilaian disini hanyalah loyalitas-kedekatan. Bargaining kepentingan. Tentang siapa mendapat apa, itu temanya yang paling relevan.

Selebihnya, hanyalah keberuntungan dan takdir. Praktek-praktek kotor ini memberi imbas pada gelombang malapetaka demokrasi yang terus berdatangan. Bagi pejabat birokrat, ujung-ujungnya mereka terlibat korupsi. Permainan, kompromi proyek dan deviasi anggaran lainnya.

Di partai politik, baik pimpinan pusat maupun daerah. Kebiasaan saling kontrol dilakukan. Kepatuhannya bukan pada kerja dan aturan-aturan, melainkan pada personal atau gerbong. Siapa yang berjasa, sampai mereka menjadi pimpinan di parpol tersebut. Potensinya pelanggaran massal sering kali dilakukan dalam praktek politik. Korupsi berjamaah terjadi.

Untuk penyelenggara Pemilu, tak kalah juga. Bawaslu, KPU bahkan Timsel yang tugasnya menyeleksi penyelenggara Pemilu belum 100% bebas dari intervensi. Praktik titip menitip orang. Praktik by order masih kentara, kental dan telanjang. Sekelumit kelemahan ini bukan hal mudah. Itu sebabnya, kualitas demokrasi sukar kita temukan.

Baik dalam suksesi kepemimpinan nasional, kepemimpinan lokal. Seleksi untuk para wakil rakyat, tidak mampu memberi garansi atas mutu personal dari orang-orang tersebut. Bagai benang kusut, membenahi demokrasi memang butuh niatan, keberanian, komitmen yang kuat serta kegilaan.

Memiriskannya lagi, kaum akademisi juga sebagiannya tidak idealis. Mereka menjadi akademisi kanebo. Lebih tertarik dengan urusan-urusan yang menggiurkan berupa proyek-proyek. Mereka yang pernah terlibat sebagai Timsel penyelenggara Pemilu. Mendapat kompensasi.

Paling minimal, kompensasinya mereka akan menjadi narasumber (pembicara) di setiap Bimtek. Tentunya, targetnya terima honor?. Seminar-seminar dan pelatihan yang dilakukan penyelenggara Pemilu. Artinya, masih ada politik balas budi. 

Atas bantuannya meloloskan oknum tertentu saat seleksi penyelenggara Pemilu. Jadilah terkikis, bahkan runtuh kepercyaan publik. Hilanglah jati diri sang akademisi. Mereka turut berkontribusi melahirkan dendam politik. Politik balas budi kian mengakar. Merambah mentalitas akademisi kita.

Betapa tidak, dari sikap tidak professional saat seleksi penyelenggara Pemilu. Membuat sebagian peserta seleksi yang tidak lolos akan dendam pada mereka. Tentu akan ada pembalasan pedih. Begitulah rumus umumnya, hukum kausalitas. Kita berharap, akademisi khususnya menjadi pencerah, problem solving.

Bukan pembawa masalah. Apalagi pembuat keributan dalam derasnya arus demokrasi global. Walau umumnya kita dengar ada alasan dan istilah bahwa balas budi itu manusiawi. Bagiku, itu alasan klasik. Untuk menutup aib yang sebenarnya. Dimana mereka yang terlibat kompromi, deal-dealan adalah pragmatis-oportunis. Mereka tak layak dihormati.

Yang terlintas, atau terisi dalam pikiran mereka hanyalah uang. Selebihnya popularitas, kesombongan dan lain-lainnya. Penguatan intelektual hanyalah kemewahan belaka. Independensi menjadi alat jualan mereka. Supaya diketahui publik bahwa akademisi yang seperti ini benar-benar berkualitas, juga bijaksana. Busyet, semuanya kamuflase.

Politik balas budi kalau dicermati, memang dengan ragam argumen disimpan rapi. Sangat naf, jika seorang akademisi yang kemudian dibantu organisasi besar sampai lolos menjadi Timsel, lalu rekomendasi organisasi tersebut tidak dijalankan. Sepengalamanku, belum pernah ada. Yang ada malah, pemaksaan kehendak.

Berjuang total demi membela, meloloskan mereka yang direkomendasikan itu. Meski yang direkom itu tidak memenuhi syarat. Miris dan memalukan sekali. Risikonya, nama baik si akademisi ini yang nanti tercoreng. Dia tidak dianggap lagi sebagai intelektual murni. Melainkan intelektual politis, intelektual kanebo.

Praktek itu membikin perawakan demokrasi kita makin buruk. Babak baru kejatan demokrasi akan bertambah. Pendekatan dan tandanya terlihat, dimana akademisi sudah tunduh pada pemilik jaringan. Akademisi kurang percaya diri lagi. Hormat dan sanjung untuk mereka akademisi yang masih tegak lurus menjaga marwahnya.

Kalau mau kicauan-kicauan, pemikiran cerdas, berisi dari akademisi yang menghiasi media massa itu teraktualisasi. Dijalankan, terlebih dari akademisi-akademisi model ini berkaca. Berhentilah menjadi pemburu kekuasaan, juga pemburu popularitas hanya untuk tujuan mendapat uang lebih. Kampus harus memproduksi akademisi, kaum intelektual yang bersuara nyaring. Tegas dan konsisten pada ilmu pengetahuan.

Bukan pada kiblat kekuasaan. Kurangi bicara, mengomentari hal-hal yang sensitif dan politis. Sebaiknya pasif untuk urusan memberi pandangan partisan. Dari pada lambat-laun persona dari akademisi ini hanya merusak demokrasi. Praktek cuci otak dilakukan, namun akademisi itu bersembunyi dibalik misi rakusnya. Semoga, tidak ada yang seperti itu.

Akademisi is akademisi. Bukan akademisi yang bertopeng. Akademisi yang sering melakukan tugas-tugas akademisnya. Sudah jarang ngasih kuliah. Disisi lain, tak mau ketinggalan jika di undang partai politik karena ada uang duduknya. Idealnya begitu, akademisi bukanlah politisi. Kalau masih ada akademisi bermental politisi, kacaulah kita.

Ketika disodorkan wartawan untuk pertanyaan tertentu, ditolaknya. Karena merasa pertanyaan itu 'menyinggung' pemerintah. Memilah-memilih pertanyaan, maunya hanya memuji penguasa. Begitu buruk akademisi yang modelnya begini. Takut mengungkap situasi objektif yang dirasakan rakyat. Pernyataan dan pemahamannya terlampau basa-basi.

Semestinya, keras, pedas, tegas dan pahit yang diungkap akademisi demi kepentingan ilmu harus disampaikan. Jangan ditutup-tutupi. Mengedit kebenaran yang seharusnya, itu memalukan namanya. Sampai kritiknya bila pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat belum beres mengeluarkan kebijakannya. Salah dibilang salah, jangan penakut.

Kenapa harus puji-pujian terus. Padahal Negara, daerah nyaris bangkrut. Rakyat menjerit kalian seperti tak punya telinga. Jadilah akademisi yang benar-benar akademisi. Bukan akademisi karbitan, palsu, tukang puji pemerintah. Beri apresiasi secukupnya jika pemerintah berhasil. Memang sudah begitu tugas pemerintah bekerja untuk rakyatnya.

Mengkritik pemerintah dari partai politik tertentu kalian berani. Anehnya, untuk partai politik yang satunya kalian takut. Bercermin lagi sebelum lakukan edukasi ke public soal politik, demokrasi serta pembangunan berkelanjutan. Bagi rakyat awam mungkin kalian disanjung. Tidak untuk para pemikir bebas. Kalian hanyalah tukang tipu.

Itulah susahnya kalau akademisi sudah terlanjur terafiliasi dengan politik praktis. Serba terbatas ruang gerak kritiknya. Dampaknya, cukup banyak pendapat dan tinjauan akademisnya disunting berkali-kali. Ada yang pernyataannya yang sedikit keras, besok luas, ia mulai lembut lagi memberikan komentar. Akademisi macam apa begitu?.

Tugas membangun dan membenahi demokrasi bukan tanggung jawab politisi saja. Jangan kalian sodorkan beban itu ke rakyat pula. Akademisi punya tanggung jawab besar memajukan demokrasi. Itu sebabnya, berlaku adil. Jujur dalam menyampaikan ilmu. Salah, sampaikan salah. Jangan bicaranya A, praktek terselubungnya yang dilakukan F. Begitu jauh disparitasnya. Ini bahaya pembodohan namanya.

Praktek politik balas budi juga kita temukan di Perguruan Tinggi (kampus). Ketika pemilihan Rektor, biasanya ada kubu-kubuan. Rivalitas mencuat, bagi yang menang calon Rektornya, maka ia akan mendapat jabatan. Begitu bernasib buruk bagi yang kalah. Kebanyakan mereka 'ditendang', dipinggirkan dan diparkir. Walau pengalaman, kompetensi mumpuni.

Ini bukan contoh yang baik. Semoga saja tidak terjadi di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat). Karena itu kampus yang pernah mendidikku, layak aku khawatir. Aku alumni Unsrat. Jadinya mereka yang diberi amanah jabatan, menjadi Wakil Rektor, Direktur Pasca Sarjana, Dekan dan Wakil Dekan sampai ke Ketua Jurusan, Ketua Program Studi adalah tim pemenang mereka.

Kampus juga akhirnya membangun 'geng politik'. ini kemundurkan yang nyata. Tidak harus seperti itu sebetulnya keteladanan yang ditunjukkan di kampus. Bagaimana jadinya, kampus sebagai corong, wadah dan laboratorium kader, tempat para cendekiawan berkumpul sudah mempraktekkan hal ini. Politik balas budi, juga potensi memberi mudharatnya besar.

Sebelum mengakar, harus dipangkas. Karena meluas nantinya, pihak-pihak yang berkualitas lalu diredupkan potensinya, maka  bermunculanlah oposisi. Saling jegal pembangunan berpeluang terjadi. Perjalanan kampus tidak lagi mencetak kader-kader unggulan calon pemimpin, melainkan disibukkan dengan saling sandera kepentingan.

Konflik kepentingan dihidupkan. Buruknya kompetisi ini memungkinkan lahirnya para dosen yang suka tebar pesona, cari muka. Malas belajar, malas berinovasi, tidak optimal menebar karya ilmiah. Tetapi berfikir mengejar jabatan, melakukan sesuatu untuk dinilai saja. Selebihnya adalah bonus. Yang dipikirkan adalah posisi aman dirinya.

Menuhankan praktek simbiosis mutualisme. Soal tugas memberi pencerahan dan membangun peradaban yang berkualitas, itu bagian kesekian. Jika begitu jadinya, maka kehancuran akan tiba melanda. Memukul mundur posisi kampus. Akibatnya, kampus kehilangan peran strategisnya. Para akademisi menjadi bias orientsi. Hanya diperalat penguasa dan juga pengusaha, atau pemilik perusahaan. Kita akan menunggu kutukan dari Tuhan, bila tidak merubah situasi ini.  

Belum lagi ketika mahasiswa yang ujian Proposal dan Skripsi harus dipungut biaya. Pungutan liar, makin liar. Kampanye anti pungli, kampus paling bersih, sekedar sebagai pembentukan citra. Dibalik itu, pemerasan, bahkan intimidasi terhadap mahasiswa calon Sarjana masih dilanggengkan. Ini namanya praktek penindasan gaya baru. Hal yang dianggap sederhana, namun sebetulnya membawa dampak luas juga sistematik.

Bahkan ada elit kampus yang alergi kritik. Suara kritik dibungkam. Mahasiswa yang membicarakan kebenaran, protes, tuntut keadilan dimusuhi. Jadinya kampus seperti dikendalikan oligarki. Dinamika kemahasiswaan menjadi kaku, serba dicurigai. Harusnya benih-benih kebangkitan intelektual itu ditopang. Diberi wadah, lalu disubsidi pihak kampus. Jangan dibantai habis suara kritis dari mahasiswa.

Seperti itulah, akademisi sejatinya dapat membangun legacy. Tak boleh meredupkan keteladanan. Kesadaran intelektual dibangun. Bukan sekedar bertugas mentrasfer ilmu pengetahuan pula, melainkan lebih dari itu memberi contoh teladan. Dalm tindak-tanduknya, akademisi perlu menjadi inspirasi, ia menjadi cahaya. Akademisi jangan berwajah ganda. Menjadi malaikat, kemudian menjadi bandit di luar ruang kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun