demokrasi prosedural. Sebagiannya jalan pintas yang dipakai untuk memuluskan kepentingan tertentu. Sehingga mekanisme demokrasi dibatasi menjadi ornamen atau sekedar alat semata. Itu rute yang lazim dilalui, begitu berliku. Berhati-hatilah terhadap sampah demokrasi.
Demokrasi memang banyak cela dan ranjau. Ada jalur umum yaitu melewatiPerjalanan demokrasi dalam tiap pesta Pemilu maupun Pilkada tidak selamanya berjalan normal. Pelik, penuh intervensi. Untuk Pilkada, terlebih dalam Pemilihan Wali Kota Manado, berbagai isu, program dan diskursus saling melintasi. Beririsan, kadang berkesesuaian dalam perjuangannya. Seperti itulah demokrasi yang penuh warna dan dinamika.
Dalam politik praktis, realitas begitu berbeda jauh dengan ide atau pemikiran. Ada hal-hal yang kita nilai ideal, tepat, benar dan seterusnya dalam paradigma, malah dalam kenyataan keseharian tidak tersajikan. Seperti demikianlah politik. Terdapat disparitas antara narasi dan fakta yang terjadi. Bagi politisi gampangan, pesimis dan bukan tipikal politisi pejuang, situas-situasi tersebut membuat mereka berhenti menjadi politisi.
Sudah begitulah politik. Ekspektasi dan realitas berbenturan telah menjadi hal biasa. Tak perlu kaget, apalagi patah semangat. Terjanya semacam pameran kesalehan di Manado, ada kandidat Wali Kota dan Wakil Wali Kota mengandalkan program. Memamerkan kekayaan.Â
Bahkan, secara terang-terangan sebagiannya memamerkan kesolehan. Tiba-tiba aktif hadir di acara keagamaan. Memakai peci putih, lalu berlindung dengan isu-isu agama tertentu.
Pertarungan politik tidak mengenal doktrin agama. Nilai-nilai keagamaan dalam politik menjadi pintu dan jalan bagi politisi untuk berjalan sesuai keyakinan agama yang diyakininya. Tidak untuk mempolitisasi identitas agama untuk kebutuhan politik pribadi. Kalau politik identitas keagamaan digunakan, potensi terpolarisasinya politik begitu terbuka.
Masyarakat menjadi gampang saja dibenturkan. Memilih figur calon Wali Kota ataupun Wakil Wali Kota Manado karena mempunyai kesamaan agama, tidak salah, hanya saja mereduksi solidaritas dan pluralitas kerukunan yang dijaga selama ini. Dari sisi integrasi sosial, menjadi kurang mendapat tempat. Kesannya begitu sektarian.
Keutuhan masyarakat yang diupayakan menjadi cita-cita malah terabaikan. Ya, sudah pasti terabaikan dengan isu-isu politik identitas. Jualan isu suku agama dan antar golong (SARA) terlalu basi. Tidak relevan lagi dalam konsepsi pembangunan kolektif. Dimana di Manado yang dikenal multikultural, majemuk, menjadi dibentur-benturkan keberagaman itu. Isu ini menjadi tidak produktif dalam usaha membangun konsolidasi demokrasi.
Hasilnya jelek, dimana persatuan menjadi terhalang. Masyarakat malah menjadi terpisah antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, identitas agama dibuatkan menjadi isu yang meruncing. Islam pilih Islam, Kristen pilih Kristen, Kong Hu Cu pilih Kong Hu Cu. Maka hancurlah demokrasi. Atau GMIM pilih GMIM, NU pilih NU, Muhammadiyah pilih Muhammadiyah, demokrasi kita menjadi terbelah, demokrasi menjadi berantakan dan ugal-ugalan. Dari ranting, dahan, batang sampai akar-akarnya pohon demokrasi tidak tumbuh lurus sesuai khittahnya.
Bibit demokrasi yang sangat buruk, bila politisi kita mencontohkan politik identitas dihidupkan kembali. Soliditas masyarakat yang diharapkan menjadi penyanggah persatuan akan pudar. Masyarakat akan hidup dengan sentimennya masing-masing. Ego keagamaan, kesukuan dan bahkan kesamaan profesi akan bermunculan. Alhasil, semboyan berbeda-beda tapi satu menjadi pupus.
Malah yang ada, masyarakat dibuat berbeda-beda dan terpisah. Berjarak, hidup penuh sekat, ada penjara dan tembok yang menjadi pembatas antara sesama masyarakat. Begitu mudah akhirnya, masyarakat dirongrong kenyamanannya. Masyarakat dibenturkan dengan isu politik merusak. Malah warisan para the founding father tentang persatuan, menjadi sukar kita pelihara dan jalankan.
Peci putih dan politisasi simbol-simbol agama begitu beraroma di Pilwako Manado. Betapa mudah kita membacanya, semua ini hanya untuk kepentingan marketing politik. Sebelum-sebelumnya, politisi yang kini doyan memakai peci putih tidak pernah terlihat memakai peci putih seserius sekarang. Dalam pertemuan umum, politisi yang kini diframing pemilik 'peci putih' jauh sebelum Pilwako Manado, ai tak memakai peci putih.
Begitulah politik. Bagaimana kita mengantisipasi, melakukan edukasi politik kepada masyarakat agar tidak terhipnotis. Mereka tidak mabuk dengan politik identitas agama yang masif dan berdampak meredukasi makna demokrasi.
 Bagaimana kita membuat masyarakat mengerti bahwa kepemimpinan politik bukan seperti kita memilih Imam masjid. Sungguh jauh perbedaannya. Politik bukan tentang janji-janji surgawi. Bukan pula terkait ancaman neraka.
Melainkan soal layaknya kepemimpinan publik diberikan kepada politisi tersebut. Seperti apa memilih pemimpin yang amanah.Â
Mencari pemimpin teladan seperti publik membuat sayembara. Kalau di Islam kita mengenal model pemimpin ideal adalah dia yang mempunyai kriteria Siddiq (jujur), Amanah (bisa dipercaya), Tabligh (menyampaikan kebenaran) dan Fathonah (cerdas atau pandai).
Berarti mereka yang memiliki integritas, kepribadian yang kuat dan amanah, jujur dan akhlaknya mulia yang dalam konteks demokrasi layak dipilih sebagai pemimpin semua golongan.Â
Bukan meracuni pikiran publik dengan menjual atau mengkapitalisasi nilai-nilai agama untuk memilih politisi tertentu. Yang konsekuensinya merusak tatanan solidaritas sosial yang majemuk. Â
Memang tidak ada salahnya seseorang memakai peci putih. Yang kurang tepat dan memacetkan jalan menuju pembangunan demokrasi ialah atribut, penanda (simbol) keagamaan atau identitas agama tertentu dijadikan alat pemuas nafsu politik. memakai peci putih dengan tujuan agar publik terutama umat agama tertentu memilihnya. Â
Jadinya seperti agama dikomersialkan dalam mencari target politik elektoral. Politik identitas jangan dibenturkan dengan kerukunan masyarakat yang telah lelah, susah payah di bangun di Kota Manado. Tak boleh stabilitas keamanan pada akhirnya menjadi taruhan atau tukar tamba dalam dagangan isu-isu politik sentimentil keagamaan.
Pilwako Manado menjadi agenda akbar dalam sebuah sayembara, mencari kepemimpinan yang toleran dan mapan. Manado yang menjadi Kota Paling Toleran diperjuangkan Wali Kota Manado, Dr. GS Vicky Lumentut harus dapat dijaga.Â
Dipertahankan dan diperjuangkan sehingga lebih maju lagi persatuan tersebut. Bukan dibuat menjadi mengalami degradasi ke titik nadir kehancuran dan konflik. Â
Memilih pemimpin itu bagian dari urusan dunia, dan juga akhirat. Namun bukan dengan cara mendistribusi pemikiran politik yang terbatas. Berpeluang merusak sendi-sendi persaudaraan masyarakat yang lintas batas.Â
Pilwako Manado hanya agenda 5 Tahunan, jangan merusak keakraban dan rasa hormat menghormati sesama masyarakat yang telah dibangun relatif lama. Semangat keagamaan masing-masing agama, tidak menopang kepentingan publik.
Yang terjadi malah diskriminasi. Bayangkan saja, kalau masyarakat diajak dan dididik memilih calon Wali Kota Manado tertentu karena dari agama A, lalu mengarahkan pemilih dari latar belakang agama A memiih figur A. Hasilnya pasti tumpang tindak, tak ada keutuhan. Kandidat Wali Kota Manado beragama B, C dan D juga akan melakukan hal serupa. Terjadilah polarisasi politik.
Masyarakat dibodohi dengan pendidikan politik yang tidak mendidik. Itu sebabnya, kinerja dan kampanye dari Badan Pengawas Pemilu tentang anti politik SARA harus ditopang.Â
Tokoh agama jangan dijadikan peluncur oleh politisi berwatak kanibal yang merusak persatuan anak bangsa. Jika politisi, dalam hal ini kandidat Wali Kota dan Wakil Wali Kota Manado juga membiarkan kampanye kurang populer seperti itu, maka bertanda demokrasi kita dalam ancaman serius.
Saatnya konstituen berpikir kembali memilih calon pemimpin seperti itu. Beda halnya ketika calon pemimpin tersebut risau, dan menolak kampanye SARA dilakukan.Â
Sebab pemimpin yang dipilih nantinya memimpin Kota Manado yakni dia yang punya kepekaan, menjadi teladan semua umat manusia. Pemimpin yang menyatukan, bukan membela, memilah-milah masyarakat. Manado kedepan memerlukan pemimpin yang demikian, menjadi penyelamat masyarakat miskin. Menjadi solusi bagi masyarakat yang menuntut keadilan ditegakkan.
Pameran kesalehan menjadi nuansa politik yang ramai dipentaskan. Yang satu pakai peci, yang lainnya ramai dan rajin mengunjungi rumah ibadah. Kalau ditelisik, semua beralibi menonjolkan kepedulian.Â
Memperlihatkan simpati dan perhatian. Ternyata di balik itu semua, ada kaitannya dengan kepentingan politik Pilwako. Percakapan politik yang dinamis semestinya menambah kekuatan hubungan emosional masyarakat. Bukan membuat masyarakat saling curiga, membenci satu dengan lainnya karena berbeda pilihan politik. Politik identitas juga bagian dari sampah demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H