Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilwako Manado, Peci Putih, dan Sampah Demokrasi

21 Oktober 2020   18:20 Diperbarui: 21 Oktober 2020   22:06 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapitalisasi identitas (Foto Jalandamai.com)

Memilih pemimpin itu bagian dari urusan dunia, dan juga akhirat. Namun bukan dengan cara mendistribusi pemikiran politik yang terbatas. Berpeluang merusak sendi-sendi persaudaraan masyarakat yang lintas batas. 

Pilwako Manado hanya agenda 5 Tahunan, jangan merusak keakraban dan rasa hormat menghormati sesama masyarakat yang telah dibangun relatif lama. Semangat keagamaan masing-masing agama, tidak menopang kepentingan publik.

Yang terjadi malah diskriminasi. Bayangkan saja, kalau masyarakat diajak dan dididik memilih calon Wali Kota Manado tertentu karena dari agama A, lalu mengarahkan pemilih dari latar belakang agama A memiih figur A. Hasilnya pasti tumpang tindak, tak ada keutuhan. Kandidat Wali Kota Manado beragama B, C dan D juga akan melakukan hal serupa. Terjadilah polarisasi politik.

Masyarakat dibodohi dengan pendidikan politik yang tidak mendidik. Itu sebabnya, kinerja dan kampanye dari Badan Pengawas Pemilu tentang anti politik SARA harus ditopang. 

Tokoh agama jangan dijadikan peluncur oleh politisi berwatak kanibal yang merusak persatuan anak bangsa. Jika politisi, dalam hal ini kandidat Wali Kota dan Wakil Wali Kota Manado juga membiarkan kampanye kurang populer seperti itu, maka bertanda demokrasi kita dalam ancaman serius.

Saatnya konstituen berpikir kembali memilih calon pemimpin seperti itu. Beda halnya ketika calon pemimpin tersebut risau, dan menolak kampanye SARA dilakukan. 

Sebab pemimpin yang dipilih nantinya memimpin Kota Manado yakni dia yang punya kepekaan, menjadi teladan semua umat manusia. Pemimpin yang menyatukan, bukan membela, memilah-milah masyarakat. Manado kedepan memerlukan pemimpin yang demikian, menjadi penyelamat masyarakat miskin. Menjadi solusi bagi masyarakat yang menuntut keadilan ditegakkan.

Pameran kesalehan menjadi nuansa politik yang ramai dipentaskan. Yang satu pakai peci, yang lainnya ramai dan rajin mengunjungi rumah ibadah. Kalau ditelisik, semua beralibi menonjolkan kepedulian. 

Memperlihatkan simpati dan perhatian. Ternyata di balik itu semua, ada kaitannya dengan kepentingan politik Pilwako. Percakapan politik yang dinamis semestinya menambah kekuatan hubungan emosional masyarakat. Bukan membuat masyarakat saling curiga, membenci satu dengan lainnya karena berbeda pilihan politik. Politik identitas juga bagian dari sampah demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun