Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

UU "Sapu Jagad" dan Dilema Aktivis Lingkar Istana

15 Oktober 2020   18:55 Diperbarui: 15 Oktober 2020   19:38 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berlangsungnya aksi menolak UU Omnibus Law (Foto Tribun Kaltim)

Ketegangan tidak saja terjadi di luar Istana. Kehadiran Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja, tidak terbatas memberi keresahan bagi aktivis mahasiswa, para buruh dan penjaga konstitusi kerakyatan di Indonesia. Lebih dari itu, kekecewaan dan rasa peduli, ingin berontak juga dirasakan aktivis (eksponen aktivis) yang kini berada di Lingkar Istana.

Mereka yang sekarang beriktiar mendampingi Presiden Ir. Joko Widodo dan Wapres KH. Ma'ruf Amin dalam membangun Indonesia. Resistensi setelah pengesahan UU Omnibus Law oleh DPR RI, pada 5 Oktober 2020, juga mendatangkan gelombang protes yang luas. Sebagian Senator (DPD RI) juga menyuratkan Presiden Ir. Joko Widodo untuk dipertimbangkan kembali UU tersebut.

Diantaranya seperti Senator Ir. H. Djafar Alkatiri, jebolan aktivis mahasiswa dari Sulawesi Utara ini meminta pemerintah memangkas Pasal dari UU Cipta Kerja yangdinilainya merugikan para buruh.

Terpantau juga, para eksponen '98 yang mendapat jabatan dalam Kementerian Indonesia Kerja jilid II, mengaku mulai gerah. Mereka yang hatinya bersama rakyat, mulai berantok.

Merasakan dilemma, ketika UU Omnibus Law yang mulai popular dengan istilah UU 'Sapu Jagad' ini diketuk DPR, demo penolakan berjilid-jilid dilakukan rakyat. Sebagian alumni aktivis parlemen jalanan yang secara terang-terangan menyampaikan sikap menolak UU tersebut. 

Yang lainnya masih terjepit, dilema karena posisi jabatan yang diembannya. Ada pula yang mendapatkan jabatan publik, tapi tetap gagah berani menyampaikan koreksi dan penolakannya tersebut UU sapu jagad.

 Getaran dan aura gelisah itu terpancar. Dapat kita refleksikan sebagai seseorang yang pernah berkesempatan menjadi aktivis Cipayung semasa di kampus, saat para demonstran direpressif oknum aparat keamanan. 

Penegakan hukum saat unjuk rasa yang mulai membias dengan kekerasan, membuat kemanusiaan para aktivis senior itu terusik. Sebab, mereka pernah melewati jalan demonstrasi.

Beberapa jebolan aktivis mahasiswa mulai ditangkap, sebut saja Bang Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan. Tentu hati nurani para aktivis di Lingkar Istana berkecamuk, bila rakyat diabaikan hak-haknya. 

Bila aktivis diperlakukan secara tidak adil. Karena harapan aktivis saat ini, para seniornya yang masuk di Istana dapat melanjutkan perjuangan membela hak-hak rakyat termarginal.  

Meski banyak protes, DPR di musim pandemi ini malah memanfaatkan waktu work from home untuk mengesahkan UU Omnibus Law. Setelahnya, diserahkan ke Presiden melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum-HAM). 

Undang-undang yang secara resmi menggabungkan beberapa peraturan perundang-undangan menjadi satu bentuk undang-undang yang baru. Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, bencana dieksploitasi untuk meloloskan UU.

Untuk esensi dari UU Omnibus Law, dirasa seperti mendesak. Pemerintah, yang tergambar dari argument DPR dan Presiden Jokowi bahwa UU itu dimaksudkan untuk mengatasi tumpang tinduh (overlapping) regulasi.

Terutama UU tentang Ketenagakerjaan yang menuai protes keras dari publik. Para demonstrasi tak mau tawar-menawar lagi, mereka mendesak UU ini dibatalkan. Ada hal yang lebih urgen dilakukan pemerintah yakni bersahabat atau melawan penyebaran Covid-19.

Tentu rakyat berharap situasi yang amat sulit di era Covid-19 ini segera berakhir. Kemudian, disaat situasi bencana non-alam pemerintah betul-betul fokus memperhatikan apa yang menjadi hajat hidup mereka. 

Minimalnya, menunjukkan keseriusan dalam melawan penularan Covid-19. 'Gerakan tambahan' seperti mengesahkan UU Omnibus Law sejatinya jangan dulu dilakukan pemerintah.

Peran optimalisasi nilai-nilai kerakyatan yang dilakukan aktivis pun harus ada progress. Bukan sekedar menjadi retorika, tapi membumi di tengah-tengah masyarakat.

Para jebolan aktivis jalanan yang berada di internal pemerintah perlu menjadi pioneer, menerangi Negara yang berada dalam gelapan. Rasa dilematis yang dialami aktivis, dapat kita mengerti hal itu. Publik juga tetap memberi support, menambah energy kepada pemerintah untuk berfikir lebih jernih.

Jangan terburu-buru mengesahkan UU sapu jagad tersebut. Aksi massa yang dilakukan elemen rakyat, bukan sekedar bunga-bunga pemanis tidur, tapi dipandang sebagai letupan kecil yang bisa berpotensi besar mengganggu kestabilan politik nasional. 

Dengan begitu pemerintah perlu gerak cepat, persuasif dan membangun dialog guna menjaga ritme keakraban antara pemerintah dan masyarakat yang dibina selama ini.    

Publik, terlebih aktivis termasuk pegiat demokrasi berharap kebangkitan gerakan aktivisme berjalan dengan baik. Distribusi kepentingan melalui regenerasi penting dijaga. Bagi aktivis yang berada di dalam pemerintahan teruslah menjadi produktif. 

Seperti itu pula yang berada di luar kekuasaan, agar tetap menghidupkan nalar kritisnya. Bersikap merdeka dan memberi kontribusi koreksi solutif terhadap pemerintah yang dinilai pincang dalam pembangunan.

UU Omnibus Law memang menguji ketahanan dan konsistensi bagi para aktivis. Mereka yang mengaku, kemudian bangga disebut sebagai agen transformasi tengah diperhadapkan dengan tantangan, menerima atau menolak UU sapu jagad. 

Tidak mudah memang, harus terorganisir. Komitmen memberi pencerahan, menolak ataupun menerima dengan catatan terhadap UU Omnibus Law akan mendatangkan ukuran kemandirian prinsip tersendiri bagi aktivis itu sendiri.

Mosi tidak percaya terhadap DPR RI terus mengalir. Tidak hanya aktivis mahasiswa, buruh, rakyat jelata dan sebagian kelas menengah seperti para dosen serta pakar hukum mulai memberikan komentarnya. 

Mereka menolak, membedah substansi UU Omnibus Law yang dinilai masih belum sempurna. Tidak hanya itu, ada anggapan publik kalau UU sapu jagad ini cacat hukum juga sedang mengemuka.

Di lingkar Istana Kepresidenan banyak aktivis. Mereka mantan demonstran handal, tapi belum mampu berbuat banyak hal untuk rakyat. Tentu karena posisi hanya sebatas pembantu Presiden.

Bukan eksekutor kebijakan, namun kita menaruh harap agar jebolan aktivis ini dapat bermanfaat untuk Negara Indonesia tercinta. Tidak sekedar menjadi orang-orang pilihan yang dipilih Presiden.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun