Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kematian Demokrasi yang Dicicil

28 Juni 2020   07:42 Diperbarui: 28 Juni 2020   08:18 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, demokrasi yang berlahan mati (Foto Ylbhi.or.id)

Menyoal tentang perkembangan demokrasi kita, yang rohnya mulai terdistorsi. Tercabik-cabik karena penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Di tengah kegusaran yang nyaris gaduh, rakyat malah dihidangkan dengan kemauan elit untuk melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 9 Desember 2020. Kontrol pemerintah terhadap kebebasan publik yang kini belum maksimal, harusnya dimaksimalkan dulu. Terutama dalam menjalankan anjuran social distancing, stay at home, work from home.

Kini rakyat Indonesia sudah disodori suatu realitas baru yang nama new normal. Bagai skenario berantai, rencana Pilkada Serentak 2020 ditopang kebijakan new normal. Siklus ini begitu muda terbaca. Sehingga rakyat diarahkan pada 'perangkap' kepentingan kekuasaan. Antara kemanusiaan di tengah ancaman darurat kesehatan dan politik (Pilkada) di era pandemi, yang dipilih adalah Pilkada. Meski dengan embel-embel Pilkada dengan menjalankan protokol kesehatan Covid-19. Yang namanya Pilkada itu urusan politik.

Berbeda mengedepankan penanganan dan antisipasi penurana Covid-19 dan gelaran Pilkada. Tentu Pilkada soal politik, tak ada kaitannya mereduksi penyebaran Covid-19. Kalau Pilkada menambah jumlah rakyat terpapar Covid-19, bisa berpotensi terjadi. Mengatasi penularan pandemi adalah kemanusiaan. Belum lagi Pilkada di musim Covid-19 tidaklah efektif dalam mewujudkan kualitas demokrasi. Yang ada hanyalah Pilkada hanyalah transaksi politik. Transformsi kepentingan, barter dan bargaining politik yang dilahirkan. Pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan.

Konsesi politik yang membuahkan kepuasan sendiri bagi politisi dan penyelenggara Pilkada. Bukan untuk rakyat tujuannya Pilkada 2020 ini, kalau sebagian kita beralasan untuk rakyat, sangat sedikit rasanya. Itupun untuk rakyat yang mana?. Situasi pandemi saat ini rakyat butuh penanganan Covid-19 yang serius. Bukan penuh basa-basi dan retorika politik, lebih besar pasak dari pada tiangnya. Bukan sekedar program dan perencanaannya yang hebat, melainkan kerja nyata serta terukur.

Setelah upaya mencegah, mengobati dan melakukan pemulihan situasi, pemerintah barulah etisnya melaksanakan Pilkada. Situasi rakyat kita benar-benar normal dan stabil aktivitas ekonomi sosialnya. Bukan dalam situasi penuh ketegangan, was-was dan serba khawatir atas serangan Covid-19. Kita berada di tengah kultur demokrasi, tradisi demokrasi itu mestinya bersenyawa dengan pendekatan-pendekatan yang diambil pemerintah dan pemangku kepentingan terkait yaitu menggunakan pendekatan top-down.

Covid-19 sebagai sebuah bencana non-alam harusnya ditangani serius, dari segmentasi mitigasi bencana perlu digenjot konsisten. Pemerintah juga perlu beradaptasi dengan kegiatan amal (charity). Program pemberdayaan masyarakat (community empowerment) di tengah pandemi perlu direalisasikan pemerintah, tidak semata-mata memberikan Sembako. Program yang melahirkan lahirnya pola kemitraan (partnership), bukan memaksakan Pilkada Serentak dikala gelombang Covid-19 masih menghantam rakyat.      

Demokrasi yang basisnya berada di tangan rakyat jangan dibunuh perlahan. Kedaulatan rakyat sewajarnya dihormati pemerintah, sebab dalam konteks demokrasi yang universal, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Demokrasi Pancasila yang kita sederhanakan pada prinsip gotong royong, atau demokrasi kerakyatan. 

Janganlah spirit demokrasi yang mulia dihadap-hadapkan antara meloloskan sahwat politik segelintor orang dengan aspirasi atau suara rakyat. Tentu yang akan menang pada tarik-menarik kepentingan ini biasanya adalah pemerintah. Karena merekalah pengendali kuasa, tapi membahayakan dalam hal memastikan program implementasi berjalan dengan baik. Sikap rakyat untuk pasif dan apatis juga akan menjadi fariabel penting suksesnya kerja-kerja pemerintah.

Nasib dan masa depan demokrasi  berada di ujung tandung. Kematiannya dicicil, betapa tidak kondisi kita yang tengah dilanda bencana pemerintah bersama penyelenggara Pilkada memaksanakan Pilkada Serentak dilaksanakan 2020. Nafas demokrasi dan kehidupannya yang mendekati 'sakaratul maut', tapi betapa rakus pihak berkepentingan menghendaki agar hajatan akbar demokrasi dilaksanakan. Seperti ada kepentingan mendesak yang mereka distribusikan. Situasi sosial yang abnormal, tentu akan melahirkan demokrasi yang abnormal pula. Mirisnya, para elit Negara pasrah menerima keputusan tersebut.

Ini bencana demokrasi yang nyata, dan juga sistematis. Kematian demokrasi ini begitu memilukan, sarkastis bahkan mendiskreditkan aspirasi rakyat. Arogansi elit yang mestinya perlu diberi pencerahan dengan perlawanan pople power. Dikte pemerintah termasuk lembaga KPU yang begitu gencar relative menyedihkan bagi rakyat, mereka tidak mementingkan sedikitpun suasana kebatinan rakyat. 

Sementara Pilkada sebagai kegiatan akbar tentu erat kaitannya dengan kampanye massa atau kerumunan. Pilkada itu bukan tentang kesunyian, melainkan keramaian dan keceriaan, bukan kesedihan, apalagi kepanikan massal.  

Disisi lain, keadaan darurat kesehatan rakyat telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2019 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Intinya menjelaskan perihal melindungi, mencegah, dan menangkal masyarakat dari penyakit yang menyebabkan faktor resiko kesehatan rakyat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Kebutuhan inilah yang diharapkan rakyat Indonesia untuk dilakukan pemerintah. Pilkada bukan kebutuhan 'primer' rakyat saat ini.

Pilkada Darurat dan Desakan Kepentingan

Yang mayoritas belum tentu benar. Demokrasi akan mati pelan-pelan bukan hanya sekedar kudeta terhadap kekuasaan, seperti dijelaskan Steven Levitsky dan Dinel Ziblatt dalam buku 'How Democracies Die'. Lebih dari itu, kasus seperti memaksanakan penerapan Pilkada darurat juga menjadi penanda sama seperti membuka gerbang dan membunyikan loncing kematian demokrasi dengan cara mencicilnya.

Analoginya Pilkada darurat di musim bencana non-alam diawali dengan peristiwa yang tidak mendidik. Pelaksanaan Pilkada yang mengandalkan teknologi karena alasan patuh terhadap protokol kesehatan sehingga atribut dan cara kerja disandarkan pada kerja virtual. Seperti sosialisasi, Bimtek, sampai kampanye dilaksanakan secara virtual. Cara-cara ini sungguh sangat tidak masimal dalam proses keterlibatan publik. Partisipasi demokrasi akan terbangun bukan dengan instrument media daring. Melainkan, harus dengan kontak langsung tatap muka.

 Kita harus melindungi demokrasi dengan belajar dari sejarah, sebelum terlambat. Seharusnya Pilkada 2020 ditunda, sampai situasi sosial benar-benar bebas dari ancaman wabah Covid-19. Bila tidak, maka revolusi sosial akan terjadi. Munculnya ragam keanehan, pelanggaran terhadap aturan, pembangkangan, kemudian hal-hal yang lazim dilakukan saat situasi normal menjadi 'terlarang' diterapkan saat ini. Rasionalitas, akal sehat atau nalar publik dapat secara terbalik.

Seperti adanya the turning point. Lihat saja, betapa banyak rakyat kita yang bereaksi ketika penanganan Covid-19 tidak disertakan edukasi yang matang. Resistensi bermunculan. Pada konteks ini seharusnya edukasi dan advokasi kepada rakyat dilakukan rutin. Pilkada belum menjadi urgen. Yang utama masih soal kepentingan humanisme, jangan kepentingan politik selundupkan. Malah lebih berbahaya, dan membuang-buang anggaran manakala Pilkada dilaksanakan dengan anggaran Triliunan rupiah. Namun hasilnya minus, demokrasi terdegradasi nilainya.

 Pilkada digelar saat rakyat sedang sensitif, mudah marah dan penuh curiga terhadap kontak sosial, tentu akan melahirkan kisruh demokrasi. Kualitas demokrasi yang dikejar, malah kekacauan, kekerasan dan kriminalitas demokrasi yang dituai. Hal ini jangan dianggap remeh pemerintah serta penyelenggara Pilkada. Urusannya akan jadi ribet, bagai menang kusut kalau dicampurkan lagi dengan interst politik.

Komisioner KPU dan Self Control

Belum lagi belum selesainya praduga publik terhadap Komisioner KPU RI yang mendapat Teguran Keras Terakhir dari DKPP. KPU adalah pangkalnya integritas bermuara. Ketika di KPU pusat telah bermasalah dan dicurigai, otomatis KPU di Daerah (KPUD) juga lebih parah dari itu. Logikanya, KPU yang melahirkan KPUD. Penyelenggara Pilkada di era darurat kesehatan sepertinya kehilangan kontrol diri (self control). Betapa tidak, mereka yang begitu ngotot Pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020. Mereka tahu betul eskalasi penularan Covid-19 belum usai.

Harus ada pengingat diri (self reminder), supaya Komisioner KPU lebih selektif dalam membaca realitas sosial saat ini. Jangan sampai KPU menjadi instrument pemicu masalah bagi datangnya Covid-19. Mengambil resiko ini tidak mudah bagi KPU, karena instansi ini harus kerja keras menjelaskan, menjawab pertanyaan publik yang kadang-kadang menyakitkan hati secara personal. Langkah yang diambil untuk melaksanakan Pilkada darurat 2020 perlu dipertanggung jawabkan.

Boleh saja para Komisioner KPU dan stakeholder penyelenggara Pilkada dituding menjalankan proyak politik dari petanaha Kepala Daerah. Untuk kontak eratnya yang terlihat agak sulit dibuktikan. Tapi peran dan kaitannya untuk saling memberi kontribusi agar Pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020 terbaca begitu sederhana. Ada parpol yang menjadi suplayer dan contributor terhadap penyelenggara Pilkada sehingga mereka lebih leluasa mengajukan anggaran penambahan. Pilkada darurat diaat kedaruratan kesehatan, namun uangnya tetap tidak dilakukan penghematan, malah penambahan biaya.

Akhirnya rakyat bisa menaruh curiga bahwa mereka yang terlibat dalam skema melaksanakan Pilkada 2020 adalah para pemanipulasi kebenaran. Tak mau ambil pusing dengan hasil proses demokrasi, yang terpenting dari mereka semua yaitu Pilkada Serentak jalan di tahun 2020. Yang lainnya belakangan. Sungguh memiriskan kalau lembaga-lembaga berkompeten menggunakan cara pandang seperti itu sebagai standarnya.

Problemnya apa?, tentu banyak persiapan yang asal-asalan. Tidak benar-benar matang, semua regulasi juga menjadi tiba saat tiba akal. Salah satunya seperti yang diperbincangkan dan dipertanyakan saat ini ialah 'Surat Edaran (SE) darurat' Nomor 20 Tahun 2020 mengatur tentang pelaksanaan Pilkada Serentak lanjutan 2020 dalam kondisi bencana non-alam (Covid-19). SE darurat itu diragukan sebagian pemerhati demokrasi, aktivis Ormas, akademisi dan para ahli.

SE yang dibuat KPU itu sejatinya memperkuat dan memperjelas PKPU tentang Pilkada dalam kondisi bencana non-alam, bukan membuat produk hukum baru. Menariknya, hanya dengan Perpu 2 Tahun 2020. Belum diundangkannya PKPU terkait Pilkada Dalam Kondisi Covid-19 juga bakal menjadi polemik kelak. Akhirnya SE menjadi andalan KPU di daerah untuk panduan bekerja, sangatlah amatiran.

Terlampau berani dan buru-buru bila Surat Edaran No. 20 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan 2020 Dalam Kondisi Covid-19 tersebut dijadikan sebagai pedoman bagi KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tahapan-tahapan Pilkada lanjutan 2020 sesuai dengan protokol kesehatan sebelum diundangkannya Peraturan KPU tentang Pilkada Dalam Kondisi Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun