Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kematian Demokrasi yang Dicicil

28 Juni 2020   07:42 Diperbarui: 28 Juni 2020   08:18 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, demokrasi yang berlahan mati (Foto Ylbhi.or.id)

Disisi lain, keadaan darurat kesehatan rakyat telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2019 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Intinya menjelaskan perihal melindungi, mencegah, dan menangkal masyarakat dari penyakit yang menyebabkan faktor resiko kesehatan rakyat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Kebutuhan inilah yang diharapkan rakyat Indonesia untuk dilakukan pemerintah. Pilkada bukan kebutuhan 'primer' rakyat saat ini.

Pilkada Darurat dan Desakan Kepentingan

Yang mayoritas belum tentu benar. Demokrasi akan mati pelan-pelan bukan hanya sekedar kudeta terhadap kekuasaan, seperti dijelaskan Steven Levitsky dan Dinel Ziblatt dalam buku 'How Democracies Die'. Lebih dari itu, kasus seperti memaksanakan penerapan Pilkada darurat juga menjadi penanda sama seperti membuka gerbang dan membunyikan loncing kematian demokrasi dengan cara mencicilnya.

Analoginya Pilkada darurat di musim bencana non-alam diawali dengan peristiwa yang tidak mendidik. Pelaksanaan Pilkada yang mengandalkan teknologi karena alasan patuh terhadap protokol kesehatan sehingga atribut dan cara kerja disandarkan pada kerja virtual. Seperti sosialisasi, Bimtek, sampai kampanye dilaksanakan secara virtual. Cara-cara ini sungguh sangat tidak masimal dalam proses keterlibatan publik. Partisipasi demokrasi akan terbangun bukan dengan instrument media daring. Melainkan, harus dengan kontak langsung tatap muka.

 Kita harus melindungi demokrasi dengan belajar dari sejarah, sebelum terlambat. Seharusnya Pilkada 2020 ditunda, sampai situasi sosial benar-benar bebas dari ancaman wabah Covid-19. Bila tidak, maka revolusi sosial akan terjadi. Munculnya ragam keanehan, pelanggaran terhadap aturan, pembangkangan, kemudian hal-hal yang lazim dilakukan saat situasi normal menjadi 'terlarang' diterapkan saat ini. Rasionalitas, akal sehat atau nalar publik dapat secara terbalik.

Seperti adanya the turning point. Lihat saja, betapa banyak rakyat kita yang bereaksi ketika penanganan Covid-19 tidak disertakan edukasi yang matang. Resistensi bermunculan. Pada konteks ini seharusnya edukasi dan advokasi kepada rakyat dilakukan rutin. Pilkada belum menjadi urgen. Yang utama masih soal kepentingan humanisme, jangan kepentingan politik selundupkan. Malah lebih berbahaya, dan membuang-buang anggaran manakala Pilkada dilaksanakan dengan anggaran Triliunan rupiah. Namun hasilnya minus, demokrasi terdegradasi nilainya.

 Pilkada digelar saat rakyat sedang sensitif, mudah marah dan penuh curiga terhadap kontak sosial, tentu akan melahirkan kisruh demokrasi. Kualitas demokrasi yang dikejar, malah kekacauan, kekerasan dan kriminalitas demokrasi yang dituai. Hal ini jangan dianggap remeh pemerintah serta penyelenggara Pilkada. Urusannya akan jadi ribet, bagai menang kusut kalau dicampurkan lagi dengan interst politik.

Komisioner KPU dan Self Control

Belum lagi belum selesainya praduga publik terhadap Komisioner KPU RI yang mendapat Teguran Keras Terakhir dari DKPP. KPU adalah pangkalnya integritas bermuara. Ketika di KPU pusat telah bermasalah dan dicurigai, otomatis KPU di Daerah (KPUD) juga lebih parah dari itu. Logikanya, KPU yang melahirkan KPUD. Penyelenggara Pilkada di era darurat kesehatan sepertinya kehilangan kontrol diri (self control). Betapa tidak, mereka yang begitu ngotot Pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020. Mereka tahu betul eskalasi penularan Covid-19 belum usai.

Harus ada pengingat diri (self reminder), supaya Komisioner KPU lebih selektif dalam membaca realitas sosial saat ini. Jangan sampai KPU menjadi instrument pemicu masalah bagi datangnya Covid-19. Mengambil resiko ini tidak mudah bagi KPU, karena instansi ini harus kerja keras menjelaskan, menjawab pertanyaan publik yang kadang-kadang menyakitkan hati secara personal. Langkah yang diambil untuk melaksanakan Pilkada darurat 2020 perlu dipertanggung jawabkan.

Boleh saja para Komisioner KPU dan stakeholder penyelenggara Pilkada dituding menjalankan proyak politik dari petanaha Kepala Daerah. Untuk kontak eratnya yang terlihat agak sulit dibuktikan. Tapi peran dan kaitannya untuk saling memberi kontribusi agar Pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020 terbaca begitu sederhana. Ada parpol yang menjadi suplayer dan contributor terhadap penyelenggara Pilkada sehingga mereka lebih leluasa mengajukan anggaran penambahan. Pilkada darurat diaat kedaruratan kesehatan, namun uangnya tetap tidak dilakukan penghematan, malah penambahan biaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun