Demokrasi kita saat ini seperti menderita penyakit kejang-kejang. Didesak masuk gerbang yang penuh rintangan berat. Ruang gelap yang misterius. Dipaksa berada dalam situasi yang seakan-akan normal. Seolah tak ada masalah apa-apa, meski pandemi mengepung.Â
Padahal para penyelenggara Pemilu seperti KPU itu sangat tahu, kalau situasi kita di Indonesia tidak dalam situasi yang baik-baik saja. Mereka sengaja menciptakan new realitas pikiran dan membangun optimisme. Demokrasi kita sejatinya dalam kondisi galau, sedang kejang-kejang. Mati setengah hati, hidup pun kesulitan.
Pertumbuhan demokrasi kita tercipta seperti dalam kelas yang gegap gempita. Ramai-ramai tapi sunyi, hanya ramai semu. Demokrasi seperti berada dalam ruang yang was-was.Â
Pemerintah dan institusi berkompeten sengaja meyakinkan publik bahwa Covid-19 tidak berbahaya, dan Pilkada lebih utama. Mereka berupaya menutupi ketakutan dan fakta yang sebenarnya, di mana Covid-19 masih menggelisahkan mereka juga.Â
Jadinya mereka seperti menjadi orang-orang munafik. Penuh kepura-puraan, berlagak aman dan biasa, walau mereka juga khawatir terhadap bahaya Covid-19.
Betulkah ini adalah musibah demokrasi di tengah Covid-19? Kita bukan mendapatkan bonus dan hadiah saat kesulitan, malah musibah yang datang menghibur.Â
Dalam situasi seperti ini elit kita harusnya menahan dulu sahwat politiknya. Pilkada ditunda dulu 2021 atau 2022, bukan dipaksakan 2020 dihelat.
Bahwa ada bayang-bayang wajah demokrasi kita seperti dilipat. Dari proses yang cukup panjang dan sistematis, diringkaskan mrnjadi begitu pendek.Â
Hasilnya apa? tentu bahanya tahapan penting dari proses demokrasi yang dilewatkan. Kampanye virtual dan e-rekap hanyalah menambah catatan hitam demokrasi kita, tak ada yang istimewa dalam Pilkada 2020, selain menambah titik hitam kotoran dalam peradaban demokrasi yang penuh kecurangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H