Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Demokrasi Kejang-kejang

27 Mei 2020   21:12 Diperbarui: 28 Mei 2020   10:22 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menghindari kerumunan, ketimbang ikut sosialisasi atau kegiatan-kegiatan KPU yang kebanyakannya bersifat mobilisasi. 

Sekalipun KPU melibatkan kegiatan dengan cara mengandalkan pertemuan media daring atau virtual, maka dipastikan semua itu tidak efektif. Tak banyak rakyat kita yang akrab dengan instrument teknologi informasi yang modern.

Seperti itu pun, mesti adanya pengakuan atas supremasi hukum. Pengakuan antara kesamaan diantara warga Negara. Kemudian, adanya pengakuan akan supremasi sipil dan militer. 

Lalu dilengkapi dengan adanya kebebasan berserikat. Kemungkinan lainnya, Pilkada dipaksakan 9 Desember 2020 menjadi titik temu untuk KPU diintervensi Mendagri.

Ketika dibuatkan skala prioritas, keselamatan rakyat dan kemanusiaan lebih utama. Rakyat harus diberi kesempatan untuk menghindari kerumunan. Pencegahan Covid-19 dikedepankan, bukan malah politik (Pilkada).

Jadinya tidak nyambung, dimana usaha pemerintah menghentikan penyebaran Covid-19 dengan PSBB dan program lainnya yang dinilai ampuh memutus mata rantai Covid-19, kemudian disisi lain Pilkada Serentak dipaksakan digelar 9 Desember 2020.

Bukan saja tidak nyambung, melainkan kontraproduktif. Akhirnya seperti upaya pemerintah menekan meluasnya Covid-19, sementara situasinya belum normal dan Covid-19 belum selesai, tapi pemerintah bersepakat membuat situasi seakan-akan normal dengan melaksanakan Pilkada Serentak. Walau dengan dalil tetap menjaga protap kesehatan, Pilkada tetaplah melahirkan kerumunan.

Dengan kemampuan maksimal KPU dibantu Mendagri guna mengatur cara kampanye para pasangan calon melalui pertemuan virtual, tentu dampaknya akan berbeda dengan pertemuan-pertemuan langsung dan terbuka. 

Bahkan dari aspek penganggaran, Pilkada yang dipaksakan 2020 ini diperkirakan memakan biaya yang besar. Jika KPU juga ketambahan tugas pengadaan Alat Pelindung Diri (APD), berarti ladang korupsi dan penyimpangan baru akan terbuka. Penyenggara Pemilu juga berpotensi terseret di dalamnya.

Siapa yang akan dituntut dengan keselamatan para pekerja adhoc bila nanti mereka meninggal dunia? Bila dalam tugasnya mereka positif Covid-19 atau meninggal dengan status Covid-19?

Sudahkah KPU mengkalkulasi hal itu secara matang? Ingat, Pilkada itu bertujuan menyelesaikan masalah dan membawa solusi. Bukan melahirkan problem baru.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun