Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Demokrasi Kejang-kejang

27 Mei 2020   21:12 Diperbarui: 28 Mei 2020   10:22 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musibah demokrasi (Foto 99design.com)

Ketika Mendagri selaku representasi pemerintah bersama Komisi 2 DPR RI, KPU, Bawaslu dan DKPP sepakat menetapkan Pilkada Serentak dilaksanakan 9 Desember 2020 ini gambaran obsesi politik yang nyata. Telah berhasil menjelaskan ke publik bahwa Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di satu sisi bukanlah virus menular yang layak ditakuti, membahayakan dan angker. 

Keputusan Pilkada 9 Desember 2020 sepertinya sangat genting. Lebih darurat dari Covid-19. Rencana Indonesia menghadapi situasi new normal akhirnya menjadi relevan dengan kepentingan pelaksanaan Pilkada.

Bisa jadi inilah rangkaian grand desain Negara dalam mengendalikan segala kepentingan-kepentingan besar. Di antara Pilkada Serentak akan dihelat 2020 dan kebijakan new normal tentu memiliki hubungan intim. Pemerintah secara samar-samar membuka tabir, menjelaskan kepada kita rakyatnya kalau Covid-19 tidak lagi mengancam.

Silahkan rakyat beraktivitas sebagaimana biasanya. Jangan lagi memandang Covid-19 sebagai penghalang berarti. Social distancing dan sekumpulan anjuran menjaga jarak hanya menjadi matra tak berguna. Sebab pada akhirnya pemerintah ''jujur'' menyebut kondisi Covid-19 tidak membahayakan dan bukan hal yang emergency.

Kecepatan berfikir dan keberanian pemerintah patut dicurigai. Rapat pada Rabu 27 Mei 2020 begitu telanjang menyederhanakan Covid, meski riskan, Pilkada ditetapkan 2020. 

Dengan menetapkan 9 Desember 2020 sebagai hari pelaksanaan Pilkada Serentak, itu bertanda kita sebetulnya baik-baik saja. Tidak berada dalam labirin ancaman Covid-19 yang menakutkan, mengerikan seperti yang diberitakan sebagian itu. Kepada pemerintah tentu akan kita tagih pertanggung jawabannya kelak.

Jangan membuat anomali lagi. Kebijakan menetapkan Pilkada 2020 ini menjadi paradox. Akan tercatat dalam lembar sejarah kita dalam berdemokrasi. Di mana rakyat disajukan situasi yang begitu mengkhawatirkan, karena pandemik, namun kemauan politik mengalahkan ketakutan itu. Di mana atas nama Pilkada Serentak (politik), ancaman Covid-19 mampu ditembus pemerintah dan stakeholder terkait.

Publik berharap tak ada lagi rakyat yang jadi korban dalam Pilkada Serentak di tengah wabah Covid-19 ini. Pilkada Serentak 9 Desember 2020 kita doakan agar tidak menjadi momentum pencurian uang yang dilakukan KPU secara berjamaah. 

Karena kesannya, Pilkada ini sangat dinanti KPU dan Mendagri. Entah apa sebenarnya maunya mereka?. Apakah pihak yang memutuskan pelaksanaan Pilkada ini telah melibatkan kelompok civil society? Sepertinya dalam rapat itu belum kelihatan.

Keputusan yang sudah tepat melibatkan lembaga berkompeten, tapi kurang akomodatif. Harusnya ada ruang untuk meminta pertimbangan akademisi, entitas masyarakat sipil dan aktivis pro demokrasi untuk memutuskan hal ini. Keputusan rapat hanya bersama Komisi 2 DPR RI masih dapat dikategorikan terbatas.    

Bila membaca unsur-unsur demokrasi, maka harus adanya partisipasi masyarakat secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pilkada di tengah pandemik akan mengeliminir partisipasi publik. Masyarakat akan lebih memilih pasif.

Menghindari kerumunan, ketimbang ikut sosialisasi atau kegiatan-kegiatan KPU yang kebanyakannya bersifat mobilisasi. 

Sekalipun KPU melibatkan kegiatan dengan cara mengandalkan pertemuan media daring atau virtual, maka dipastikan semua itu tidak efektif. Tak banyak rakyat kita yang akrab dengan instrument teknologi informasi yang modern.

Seperti itu pun, mesti adanya pengakuan atas supremasi hukum. Pengakuan antara kesamaan diantara warga Negara. Kemudian, adanya pengakuan akan supremasi sipil dan militer. 

Lalu dilengkapi dengan adanya kebebasan berserikat. Kemungkinan lainnya, Pilkada dipaksakan 9 Desember 2020 menjadi titik temu untuk KPU diintervensi Mendagri.

Ketika dibuatkan skala prioritas, keselamatan rakyat dan kemanusiaan lebih utama. Rakyat harus diberi kesempatan untuk menghindari kerumunan. Pencegahan Covid-19 dikedepankan, bukan malah politik (Pilkada).

Jadinya tidak nyambung, dimana usaha pemerintah menghentikan penyebaran Covid-19 dengan PSBB dan program lainnya yang dinilai ampuh memutus mata rantai Covid-19, kemudian disisi lain Pilkada Serentak dipaksakan digelar 9 Desember 2020.

Bukan saja tidak nyambung, melainkan kontraproduktif. Akhirnya seperti upaya pemerintah menekan meluasnya Covid-19, sementara situasinya belum normal dan Covid-19 belum selesai, tapi pemerintah bersepakat membuat situasi seakan-akan normal dengan melaksanakan Pilkada Serentak. Walau dengan dalil tetap menjaga protap kesehatan, Pilkada tetaplah melahirkan kerumunan.

Dengan kemampuan maksimal KPU dibantu Mendagri guna mengatur cara kampanye para pasangan calon melalui pertemuan virtual, tentu dampaknya akan berbeda dengan pertemuan-pertemuan langsung dan terbuka. 

Bahkan dari aspek penganggaran, Pilkada yang dipaksakan 2020 ini diperkirakan memakan biaya yang besar. Jika KPU juga ketambahan tugas pengadaan Alat Pelindung Diri (APD), berarti ladang korupsi dan penyimpangan baru akan terbuka. Penyenggara Pemilu juga berpotensi terseret di dalamnya.

Siapa yang akan dituntut dengan keselamatan para pekerja adhoc bila nanti mereka meninggal dunia? Bila dalam tugasnya mereka positif Covid-19 atau meninggal dengan status Covid-19?

Sudahkah KPU mengkalkulasi hal itu secara matang? Ingat, Pilkada itu bertujuan menyelesaikan masalah dan membawa solusi. Bukan melahirkan problem baru.  

Demokrasi kita saat ini seperti menderita penyakit kejang-kejang. Didesak masuk gerbang yang penuh rintangan berat. Ruang gelap yang misterius. Dipaksa berada dalam situasi yang seakan-akan normal. Seolah tak ada masalah apa-apa, meski pandemi mengepung. 

Padahal para penyelenggara Pemilu seperti KPU itu sangat tahu, kalau situasi kita di Indonesia tidak dalam situasi yang baik-baik saja. Mereka sengaja menciptakan new realitas pikiran dan membangun optimisme. Demokrasi kita sejatinya dalam kondisi galau, sedang kejang-kejang. Mati setengah hati, hidup pun kesulitan.

Pertumbuhan demokrasi kita tercipta seperti dalam kelas yang gegap gempita. Ramai-ramai tapi sunyi, hanya ramai semu. Demokrasi seperti berada dalam ruang yang was-was. 

Pemerintah dan institusi berkompeten sengaja meyakinkan publik bahwa Covid-19 tidak berbahaya, dan Pilkada lebih utama. Mereka berupaya menutupi ketakutan dan fakta yang sebenarnya, di mana Covid-19 masih menggelisahkan mereka juga. 

Jadinya mereka seperti menjadi orang-orang munafik. Penuh kepura-puraan, berlagak aman dan biasa, walau mereka juga khawatir terhadap bahaya Covid-19.

Betulkah ini adalah musibah demokrasi di tengah Covid-19? Kita bukan mendapatkan bonus dan hadiah saat kesulitan, malah musibah yang datang menghibur. 

Dalam situasi seperti ini elit kita harusnya menahan dulu sahwat politiknya. Pilkada ditunda dulu 2021 atau 2022, bukan dipaksakan 2020 dihelat.

Bahwa ada bayang-bayang wajah demokrasi kita seperti dilipat. Dari proses yang cukup panjang dan sistematis, diringkaskan mrnjadi begitu pendek. 

Hasilnya apa? tentu bahanya tahapan penting dari proses demokrasi yang dilewatkan. Kampanye virtual dan e-rekap hanyalah menambah catatan hitam demokrasi kita, tak ada yang istimewa dalam Pilkada 2020, selain menambah titik hitam kotoran dalam peradaban demokrasi yang penuh kecurangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun