Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kurangi Basa-basi Politik, BPJS Kesehatan Memberatkan

15 Mei 2020   13:31 Diperbarui: 15 Mei 2020   16:29 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia dalam bayang-bayang bahaya. Kondisi kedaruratan itu tersaji jelas dalam kebijakan Negara tentang darurat kesehatan, melalui bencana nasional non-alam (Kepres Nomor 12 Tahun 2020). Negara kita yang namanya Indonesia ini punya banyak regulasi yang silih-berganti diproduk. Tentu dari pemikiran dan hasil kompromi orang-orang baik di Senayan (DPR RI), bersama pihak eksekutif.

Namun penguatan konstitusional (legal-formal) saja tidak cukup. Rakyat memerlukan harmonisasi, antara aturan yang ada dengan penerapannya di lapangan.

Pada konteks ini, teladan sangat dibutuhkan. Publip berharap eksekutif dan juga legislatiflah yang memberi teladan tersebut. Mereka pembuat peraturan perundang-undangan kemudian lebih afdol menjadi pemberi contoh yang baik.

Bukan pelanggar aturan terbaik. Nyatanya memiriskan, yang melanggar aturan kebanyakan dari mereka. Rakyat memerlukan keteladanan dari stakeholder pemerintahan, tapi sepertinya kerinduan dan ekspektasi itu belum juga terwujud. Bagaimana pula pemerintah meminta rakyat taat aturan, kalau pemerintah sendiri (eksekutif dan legislatif) gagal memberi teladan yang baik.

Dalam kasuistiknya, para politisi, wakil rakyat, Menteri dan jajaran dibawahnya. Bahkan sampai Kepala Daerah pembuat Perda bersama DPRD juga terlibat korupsi. Kadang kala korupsinya sendiri-sendiri, sering kali juga berjamaah.

Artinya, pemerintah sama saja bermimpi menyuruh dan menghamba agar kesadaran rakyat terbentuk untuk konsisten menjalankan hukum, kalau pemerintah masih cacat moralitasnya, mereka menabrak hukum.

Rakyat tidak butuh pemerintah yang pandai, piawai memaparkan retorika politik dan menyusun argumentasi secara konseptual, melainkan kerja konkret. Tindakan nyata (kerja) yang dinanti rakyat. Percuma pemerintah, baik itu Presiden, para Menteri, Ketua DPR RI, anggota DPR, sampai pada Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Ketua DPRD, anggota DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota banyak bicaranya, tapi tindakannya tidak sesuai dengan disampaikan.

Di tengah pandemic Corona Virus Disease 2029 (COVID-19), banyak hal-hal memiriskan terlitas di depan mata kita. Rakyat sedang kesulitan menghadapi kebutuhan ekonominya, bantuan sosial dari pemerintah pun belum merata, dan juga begitu lamanya bantuan sampai ke rakyat terdampak COVID-19.

Dalam situasi sulit, rakyat menjerit, ancaman kelaparan menghampiri rakyat Presiden Ir. Joko Widodo malah menaikkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Presiden seperti memanfaatkan sitausi sulit saat ini. Dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Kini iuran BPJS Kesehatan dinaikkan. Di mana sebelumnya, diakhir Desember iuran BPJS sudah dinaikkan melalui Perpres Nomor 75 tahun 2019, tapi kemudian 1 April dibatalkan melalui Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7P/HU/2020

Kepres yang diteken Presiden Joko Widodo, Selasa (5/5/2020) tentu menyakiti hati rakyat. Karena hal itu sudah tentu memberatkan. Kenapa Presiden setengah itu? Di musim COVID-19 masih saja mempersulit rakyatnya sendiri.

Dalam Pasal 34 pada Perpres dijelaskan soal kenaikan iuran dilakukan untuk Kelas I dan Kelas II Mandiri, di mulai Juli 2020. Berikut ini rinciannya, untuk Kelas I dari Rp. 80.000 naik menjadi Rp. 150.000, untuk Kelas II dari Rp. 51.000 meningkat menjadi Rp. 100.000. kemudian, Kelas III dari Rp. 25.000 dinaikkan menjadi Rp. 35.000, (berlaku tahun 2021). Situasi ini tidak mudah dihadapi rakyat Indonesia.

Negara diharapkan memberi pelayanan yang prima. Pendidikan gratis berkualitas, pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, ternyata hanya menjadi mimpi-mimpi manis rakyat Indonesia. Kondisi riilnya terbalik.

Rakyat diperas melalui produk kebijakan pemerintah. Sarana pendidikan misalkan, dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT) kurang memadai, tapi rakyat tetap diminta pungutan. Entah dengan istilah uang komite atau Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Esensinya rakyat belum diberikan kebijakan yang gratis. Padahal sudah membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di pasar atau tempat-tempat umum perkotaan, rakyat tetap membayar parker, retribusi dan bea lainnya. Semua penarikan itu kebanyakannya yang legal datang dari pemerintah. Anehnya, fasilitas kebijakan juga diminta pungutan.

Kita hidup di Negara yang serba dibayar, tidak gratis. Menyedihkan hidup kita sebagai rakyat Indonesia. Contoh lain, seperti penanganan penyebaran COVID-19 melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bansos atau istilah lainnya, tetap saja itu uang rakyat. Sayangnya, masih sering ''disunat'' oknum aparat pemerintah dengan alasan biaya administrasi dan macam-macam lainnya.

Di saat rakyat hidup dengan segala pungutan, oknum aparat pemerintah memanfaatkan ruang-ruang tersebut untuk merampok. Praktek mencari keuntungan melalui korupsi masih dilakukan secara terselubung. Luar biasa, seperti adanya pembunuhan tersistematis dilakukan untuk rakyat sendiri. Rakyat, terutama kaum pekerja (buruh) dianggap seolah-olah mesin pencari uang, didesain sedemikian rupa untuk diperas.

Atas nama Negara dan perundang-undangan, semua dilakukan, lantas rakyat menjadi objek dari perlakuan curang tersebut. Diskriminasi masih saja ada. Pekerja pertambangan misalkan, atau di perusahaan-perusahaan milik Tenaga Kerja Asing (TKA), rakyat lokal dihargai dengan upah dibawah standar. Sementara pekerja Asing diberikan gaji yang besar, melimpah ruah, dan seperti lebih diistimewakan.

Lalu pemerintah kita sedang berbuat apa?, jangan diam. Rakyat membutuhkan ketegasan dan pembelaan. Kepada siapa lagi mereka akan mengadu, kalau bukan pada pemerintah Republik Indonesia?

Jangan dibiarkan situasi ketimpangan itu berlanjut. Bila pemerintah benar-benar berpihak dan cinta terhadap rakyatnya. Segeralah carikan solusi, tingkatkan kesejahteraan rakyat. Biar kita tidak menjadi pembantu di rumah sendiri.  

Pernahkah terlintas dalam benak elit pemerintah kita, ada rakyat Indonesia yang makan satu kali saja dalam sehari. Padahal, Ahli Gizi Agatha S.Gz, mengatakan frekuensi makan ideal orang dewasa dalam satu hari adalah lima kali dalam sehari. Itu dilakukan sebagian rakyat kita bukan karena alasan penghematan, melainkan karena kebutuhan anggaran (uang) mereka yang pas-pasan.

Betapa melahirkan sedih, kalau kita melihat kemiskinan yang makin meningkat. Apalah daya kita rakyat Indonesia sebagian yang belum punya kedudukan formal, belum juga mampu memberikan lebih kepada mereka yang masih kelaparan. Tentu hanya melalui cara-cara literasi kita ingatkan. Segera pemerintah gerak cepat hadirkan solusi. Jangan sibuk dengan berbagi proyek dalam kekuasaan yang diemban.

Yang utama dalam menjalankan kekuasaan itu pelayanan. Layanilah rakyat, jangan membolak-balikkan paradigma kepemimpinan, sehingga mau hidup mewah dan dilayani rakyat. Presiden Joko Widodo, dengan rendah hati penuh hormat rakyat berharap anda meninjau kembali Perpres No. 64 Tahun 2020. Ingatlah, rakyat sedang menghadapi wabah COVID-19.

Bertahanlah sejenak, jangan terburu-buru untuk kepentingan tersebut. Jangan sampai anda khilaf atau karena dibisiki kepentingan tertentu dari para pembisik, karena anda orang baik. Pemimpin yang sebenarnya sangat pro rakyat.

Tunjukkan keberpihakan anda pada rakyat, berhentilah menambah kepanikan rakyat di tengah gelombang COVID-19 yang mengganas saat ini. Biarkan rakyat tersenyum, tenang tidak was-was. 

Tugas anda sebagai pemimpin di Negara ini adalah mengayomi segenap rakyat. Membuat rakyat tidak gelisah, andalah yang mampu memastikan semua rakyat baik-baik saja. Bukan orang lain, ayo lakukan itu.

Berhenti menunjukkan basa-basi politik dan pidato, saatnya pemerintah menurunkan iuran BPJS Kesehatan. Jangan buat rakyat seperti sudah terjatuh tertimpa tangga pula. Derita dan keluh-kesah rakyat itu harus direspon dengan sikap tegas memenangkan kepentingan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun