Kita seperti dikendalikan para peternak kebodohan. Contohnya saja istilah Orang Dalam Pantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan suspect virus corona (orang yang diduga kuat terjangkit infeksi COVID-19) belum banyak diketahui masyarakat.Â
Pemerintah terlalu sibuk mengumumkan berapa banyak masyarakat terpapar, berapa banyak yang meninggal dunia dan berapa banyak yang sembuh. Harusnya entitas dalam tiga hal itu dikurangi dahulu. Gerak pada pencegahan dan beri pemamahan ekstra pada masyarakat.
Fasilitas kesehatan di tiap Provinsi belum memadai. Lah, terus dana sebanyak itu dibuatkan apa?. Jangan-jangan COVID-19 menjadi proyek?. Tak boleh para pasien COVID-19 diposisikan sebagai bagian yang mendatangkan keuntungan bagi kelompok tertentu. Wabah COVID-19 bukanlah lahan empuk yang dikomersilkan para petugas kesehatan dan Gugus Tugas COVID-19.
Temuan di lapangan, ada kasus yang kita temukan dan dikeluhkan warga, bahwa keluarga mereka yang sakit bawaan, bukan COVID-19. Namun karena memeriksa diri ke dokter akhirnya ditetapkan ODP, dituduh positif COVID-19. Publik seolah dibuat bodoh secara massal. Kalau bertanya lebih, membatah lebih dianggap menghalang-halangi petugas medis. Konsekuesinya akan berhadapan dengan hukum. COVID-19 menjadi begitu mengerikan, seperti monster yang sangat jahat.
Ditambah lagi dengan produk hukum yang dikeluarkan pemerintah, dan kelihatannya merugikan mereka yang merasa tidak terpapar COVID-19. Karena jika melawan misalkan, maka pasien tersebut dianggap menghalang-halangi petugas kesehatan (Satgas COVID-19) dalam menjalankan tugasnya. Sungguh tidak adil.
Kejanggalan dan keanehan lainnya. Pemerintah mengarahkan masyarakat agar mau secara sadar melakukan isolasi mandiri, stay at home atau work from home, lalu solusi atas itu tidak mengena. Tidak sepadan dengan apa yang masyarakat lakukan. Harusnya seperti saran Pak Jusuf Kalla yang pernah beredar di whatsApp beberapa minggu terakhir, bahwa uang Negara sebesar itu mampu diberdayakan untuk meningkatkan jumlah Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Jangan setengah hati memberantas COVID-19. Kalau tegas, pemerintah mau perang semesta terhadap COVID-19 atau perang total, semestinya semua resource dikerahkan. Dana ratusan triliunan rupiah yang dipinjam dari Bank Dunia silahkan dikucurkan untuk tengani COVID-19 secara benar dan sungguh-sungguh. Berhentilah teriak-teriak minta masyarakat tetap di rumah, tapi memberi bantuan tidak sesuai kebutuhan masyarakat.
Sebaiknya, BLT diberikan per Kepala Keluarga dalam satu bulan 1.000.000,00 (satu juta rupiah), selama 3 bulan. Kemudian berikan stimulus atau dana tambahan kepada para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) agar bisa mandiri, tumbuh di tengah masa sulit COVID-19. Jika ini yang dilakukan, maka kekhawatiran Negara tentang anjloknya aktivitas ekonomi dapat diatasi.
Dari pada memberikan bantuan Sembilan Bahan Pokok (Sembako) yang tidak sesuai harapan masyarakat. Pemerintah di daerah juga banyak kita temui, dengan menggunakan istilah Sembako tapi yang diberikan tak cukup 9 item. Jadinya bukan lagi Sembako, tapi delapan bahan pokok, tujuh bahan pokok, enam bahan pokok, dan seterusnya menurun. Belum lagi peluang korupsi dan mencari keuntungan dilakukan.
Tidak ribet, harusnya pemerintah pusat dan daerah sediakan saja stok pangan, masyarakat diberikan BLT. Kemudian belanjanya disitu, pasar yang disediakan pemerintah dengan harga terjangkau. Biarkan mereka berbelanja menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan sehari-hari, dibelanjakan sesuai perlunya. Mari kita lihat, permasalannya ketika Sembako dikucurkan cukup banyak masyarakat kecewa.
Ada masyarakat yang protes karena beras kualitas rendah diberikan, prodak kadaluarsa seperti ikan kaleng, dan lain sebagainya. Mengecewakan masyarakat, menambah masalah saat Bansos tersebut diberikan. Padahal kalau yang diberikan itu BLT, praktis dan tidak menunggu waktu lama. Bayangkan saja, kalau Sembako yang diberikan pemerintah harus menyediakan bahan-bahan, melakukan paking paket sembako.