Bukan hanya ahli virologi yang lantang bicara soal Corona Virus Disease (COVID-19). Penyebaran virus yang satu ini digambarkan selain menakutkan, juga seperti misterius. Bahkan Presiden Jokowi sempat menyebut "berdamai dengan COVID-19". Paling tidak virus ini telah mampu mengubah interaksi sosial masyarakat. Bermacam pergeseran tradisi kita temui di tengah masyarakat bermunculan, ada keunikan. Para ahli ramai-ramai ajukan pendapat, semoga dokter hewan tidak ikut memainkan arus informasi ini.
Yang tanpa terasa, makin mengaburkan situasi. Pada siapa lagi masyarakat menjadikan rujukannya?. Semua mendadak ahli. Ada juga informasi hoax bercokol memperkeruh, menyelip disaat masyarakat panik. Bukan hanya dalam ranah sosial kemasyarakatan, urusan ritual keagamaan pun nampak terlihat kesenjangannya. Penyesatan pikiran juga kelihatan melintas dalam keruhnya peristiwa COVID-19.
Jika kita mengorek soal spesifikasi keahlian, profesionalisme atau keilmuan, di era COVID-19 rupanya berantakan. Tumpang-tindih, ada keduguan dipamerkan, turut dipelihara. Tidak beraturan, pertanyaan dan pendapat mereka yang bukan ahli virus juga getol dan lantang bicara, bergentayangan di media massa. Terutama di Media Sosial seperti Facebook dan Twitter, dokter tenaga medis bicara, meski bukan ahli virus, ahli otak juga bicara virus merasa paling mahfum soal virus.
Mestinya, publik jangan terus-terusan dicekoki dengan informasi ''sok tau'' seperti itu. Idealnya biarkan saja para ahli dibidangnya yang berpendapat. Sekalipun dokter umum, mereka yang tidak spesifik belajar soal virus diam saja dulu. Jangan sok mengajarkan publik dengan membawa kesan membuat publik malah cemas dan panik.
Berbahayanya lagi, mereka yang buka kuliah di Fakultas Kedokteran, tidak konsentrasi belajar virus, namun bicaranya tentang COVID-19 dan bahayanya sangat melangit.Â
Letupan dari sikap ''sok tau'' itu sangat drastis mempengaruhi alam pikiran masyarakat. Sehingga kemudian, pengetahuan salah, kurang tepat dan asal-asalan itu diplagiat masyarakat awam, lalu bisa jadi berpindah pengertian. Alhasil COVID-19 dianggap laing angker.
Kondisi terburuknya, terlahirlah penolakan masyarakat terhadap pasien yang positif COVID-19 saat meninggal dan dimakamkan. Stigma buruk kepda mereka yang terpapar COVID-19 sangat mempengaruhi mental mereka, para pasien maupun keluarganya. Walaupun kelak, pasien itu sembuh, tapi label bahwa COVID-19 ini membahayakan sudah terlanjur dialamatkan pada meraka. Mirisnya, mereka nanti dialienasi tetangga dan masyarakat lainnya.
Belum lagi adanya kejanggalan seperti ditetapkan atau dilakukan vonis pasien positif COVID-19. Hal ini memang tanpa meminta klarifikasi, kesediaan pasien atau calon pasien tersebut, pemerintah secara sepihak mengamankan mereka yang dicurigai terpapar tersebut. Kalau kita lihat, HAM seakan tak berlaku dalam kasus COVID-19 ini.
Zona kewenangan Satgas COVID-19 dan tim medis begitu luar biasanya. Kondisi itu melahirkan juga kerawanan. Rawan dalam hal pembohongan, rekayasa dan paksaan hak dilakukan oknum-oknum yang picik serta licik.Â
Ditambah lagi, kurang akrabnya masyarakat dan kebingungan akibat munculnya alhi jadi-jadian, abal-abal dan ahli bodong, membuat masyarakat memandang COVID-19 sebagai aib luar biasa. Kegagalan pemerintah (gugus tugas dan tim medis) dalam melakukan sosialisasi yang baik kepada masyarakat, tergambar disini. Kenapa spontan masyarakat melakukan penolakan jenazah korban COVID-19, itu karena lemahnya pemerintah.
Kita seperti dikendalikan para peternak kebodohan. Contohnya saja istilah Orang Dalam Pantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan suspect virus corona (orang yang diduga kuat terjangkit infeksi COVID-19) belum banyak diketahui masyarakat.Â
Pemerintah terlalu sibuk mengumumkan berapa banyak masyarakat terpapar, berapa banyak yang meninggal dunia dan berapa banyak yang sembuh. Harusnya entitas dalam tiga hal itu dikurangi dahulu. Gerak pada pencegahan dan beri pemamahan ekstra pada masyarakat.
Fasilitas kesehatan di tiap Provinsi belum memadai. Lah, terus dana sebanyak itu dibuatkan apa?. Jangan-jangan COVID-19 menjadi proyek?. Tak boleh para pasien COVID-19 diposisikan sebagai bagian yang mendatangkan keuntungan bagi kelompok tertentu. Wabah COVID-19 bukanlah lahan empuk yang dikomersilkan para petugas kesehatan dan Gugus Tugas COVID-19.
Temuan di lapangan, ada kasus yang kita temukan dan dikeluhkan warga, bahwa keluarga mereka yang sakit bawaan, bukan COVID-19. Namun karena memeriksa diri ke dokter akhirnya ditetapkan ODP, dituduh positif COVID-19. Publik seolah dibuat bodoh secara massal. Kalau bertanya lebih, membatah lebih dianggap menghalang-halangi petugas medis. Konsekuesinya akan berhadapan dengan hukum. COVID-19 menjadi begitu mengerikan, seperti monster yang sangat jahat.
Ditambah lagi dengan produk hukum yang dikeluarkan pemerintah, dan kelihatannya merugikan mereka yang merasa tidak terpapar COVID-19. Karena jika melawan misalkan, maka pasien tersebut dianggap menghalang-halangi petugas kesehatan (Satgas COVID-19) dalam menjalankan tugasnya. Sungguh tidak adil.
Kejanggalan dan keanehan lainnya. Pemerintah mengarahkan masyarakat agar mau secara sadar melakukan isolasi mandiri, stay at home atau work from home, lalu solusi atas itu tidak mengena. Tidak sepadan dengan apa yang masyarakat lakukan. Harusnya seperti saran Pak Jusuf Kalla yang pernah beredar di whatsApp beberapa minggu terakhir, bahwa uang Negara sebesar itu mampu diberdayakan untuk meningkatkan jumlah Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Jangan setengah hati memberantas COVID-19. Kalau tegas, pemerintah mau perang semesta terhadap COVID-19 atau perang total, semestinya semua resource dikerahkan. Dana ratusan triliunan rupiah yang dipinjam dari Bank Dunia silahkan dikucurkan untuk tengani COVID-19 secara benar dan sungguh-sungguh. Berhentilah teriak-teriak minta masyarakat tetap di rumah, tapi memberi bantuan tidak sesuai kebutuhan masyarakat.
Sebaiknya, BLT diberikan per Kepala Keluarga dalam satu bulan 1.000.000,00 (satu juta rupiah), selama 3 bulan. Kemudian berikan stimulus atau dana tambahan kepada para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) agar bisa mandiri, tumbuh di tengah masa sulit COVID-19. Jika ini yang dilakukan, maka kekhawatiran Negara tentang anjloknya aktivitas ekonomi dapat diatasi.
Dari pada memberikan bantuan Sembilan Bahan Pokok (Sembako) yang tidak sesuai harapan masyarakat. Pemerintah di daerah juga banyak kita temui, dengan menggunakan istilah Sembako tapi yang diberikan tak cukup 9 item. Jadinya bukan lagi Sembako, tapi delapan bahan pokok, tujuh bahan pokok, enam bahan pokok, dan seterusnya menurun. Belum lagi peluang korupsi dan mencari keuntungan dilakukan.
Tidak ribet, harusnya pemerintah pusat dan daerah sediakan saja stok pangan, masyarakat diberikan BLT. Kemudian belanjanya disitu, pasar yang disediakan pemerintah dengan harga terjangkau. Biarkan mereka berbelanja menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan sehari-hari, dibelanjakan sesuai perlunya. Mari kita lihat, permasalannya ketika Sembako dikucurkan cukup banyak masyarakat kecewa.
Ada masyarakat yang protes karena beras kualitas rendah diberikan, prodak kadaluarsa seperti ikan kaleng, dan lain sebagainya. Mengecewakan masyarakat, menambah masalah saat Bansos tersebut diberikan. Padahal kalau yang diberikan itu BLT, praktis dan tidak menunggu waktu lama. Bayangkan saja, kalau Sembako yang diberikan pemerintah harus menyediakan bahan-bahan, melakukan paking paket sembako.
Pengemasan dan lain-lain urusan teknis itu selain ribet, juga bisa mendatangkan musibah baru. Rawan terjadi penyelewengan, mendistribusikan door to door karena ikut anjuran social distancing. Sementara masyarakat sudah mengetahui bahwa mereka dan kita semua dalam situasi darurat. Berarti kondisi krusial mestinya pemerintah sedikit mengabaikan pola-pola normatif protokoler. Tapi tidak untuk saat ini.
Hasilnya, karena Sembako lama sampainya ke masyarakat. Terjadilah praktek ''keluyuran'', anjuran pemerintah sedikit terabaikan sebab masyarakat harus keluar mencari nafkah. Tak mungkin mereka berlama-lama di rumah sementara tak ada uang masuk yang didapat. Pemerintah tak boleh marah-marah bila melihat situasi itu, harusnya pemerintah malu, dan segera mengintervensi kebijakan yang berbelit dan lama tersebut.
Masyarakat keluar rumah bukan tanpa alasan, mereka mencari nafkah, titik. Bagi para pegawai (ASN/PNS) mereka tentu enak, sekalipun di rumah terus-menerus tetap saja mereka menerima gaji. Tapi bagaimana dengan masyarakat, pekerja swasta, buruh, petani, nelayan, harus bekerja baru mendapat uang. Tidak boleh juga untuk konteks ini pemerintah merumahkan masyarakat dengan pola generalisasi.
Adil dan populis juga pemerintah, harusnya. Nah, lain soal bila semua bantuan diberikan pada masyarakat. Dengan standar yang wajar, bantuannya telah diperoleh masyarakat, kemudian kualitas bantuannya terbaik, tak mengapa aturan sanksi progresif diterapkan. Tegas dan bila perlu represif dilakukan, asalkan tanggung jawab Negara telah ditunaikan. Masyarakat juga tentu takut melakukan protes, karena sudah mendapat support pemerintah.
Jangan biarkan masyarakat dungu dan ikut apa saja maunya pemerintah. Tuhan memberikan kita akal untuk berfikir. Bila masyarakat rasional, bertanya dan mencari tahu, tak perlu dipermasalahkan. Jangan segala hal diantisipasi pemerintah dengan aturan merepresif kebebasan berpendapat. Termasuk dalam soal protes terhadap kejanggalan akibat COVID-19.
Tak boleh sekali lagi kita beternak kedunguan. Pemerintah di depan, lalu menuntun kita semua masyarakat Indonesia untuk menjadi tercerahkan. Jangan dungu berjamaah, jangan menjadi penakut atau pengecut, terhadap hal-hal yang masih janggal. Saya termasuk yang protes atas penanganan pemerintah terhadap bahaya COVID-19. Pemerintah Jokowi masih belum serius menangani COVID-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H