KPU) serta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) merubah status permanen menjadi Badan Ad Hoc menarik untuk dikomentari. Dari beberapa sudut pandang, usulan ini penting untuk ditelaah tuntas. Karena ada efisiensi anggaran. Penghematan dapat dilakukan. Demokrasi dapat dibersihkan. Diskursus ini perlu dieksekusi.
BERKEMBANG wacana dan usulan Komisi Pemilihan Umum (Selain itu, peluang adanya kecurangan yang kerap dilakukan penyelenggara Pemilu dapat terhindarkan. Biasanya, modus fraud yang dilakukan bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Periodesasi atau pembatasan tahun pengabdian penyelenggara Pemilu menjadi alat deteksi yang amat penting. Seperti kejadian abuse of power lainnya, salah satu faktor dominannya karena lamanya mereka berkuasa.
Jadi sesuka hati menjalankan misi kotor. Mengurangi masa lamanya menjabat dapat meminimalisir praktek jahat yang dilakukan para pejabat publik. Terlebih bagi oknum penyelenggara Pemilu yang terbiasa melakukan kecurangan. Usulan yang digulirkan dari sejumlah Anggota Komisi II DPR RI boleh dibaca sebagai upaya menegakkan state interest.
Bukan yang lainnya. Dimana penghematan dilakukan. Penyalahgunaan kewenangan dengan melakukan praktek curang dapat diminimalisir dan dihindari. Memang yang dilemparkan ke publik bahwa status Badan Ad Hoc berlaku dari KPU RI, juga Bawaslu RI. Hingga ke Kabupaten/Kota. Pada titik ini rasanya kita perlu membedah lebih detail, selektif, dan cermat.
Status Badan Ad Hoc tidak tepat diberlakukan di Pusat. Relatif rentan, rancu, bahkan berpotensi melahirkan ketimpangan organisasi. Akan ada bencana, dimana pembangkangan struktural (hierarki) terjadi di internal KPU maupun Bawaslu. Mereka Komisioner KPU Provinsi, Kabupaten/Kota, begitu juga Bawaslu tidak terlalu patuh kepada KPU dan Bawaslu RI.
Akan tumbuh ego di daerah. Instruksi KPU dan Bawaslu RI untuk kepentingan konstruktif mengoptimalkan kerja-kerja berpotensi tidak diindahkan KPU Provinsi, juga KPU Kabupaten/Kota. Begitu pula dengan Bawaslu tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota. Usulan saya paling realistis pemberlakuan masa kerja 2 tahun (Badan Ad Hoc) itu ditetapkan mulai pada level KPU Provinsi, dan Kabupaten/Kota se-Indonesia. Ini sudah penghematan yang luar biasa.
Seperti itu juga Bawaslu Provinsi, dan Kabupaten/Kota diberlakukan masa pengabdiannya cukup 2 tahun. Karena sejauh ini banyak kejadian ada invisible hand. Yang itu saat ditelisik kasusnya lebih banyak munculnya dari internal KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Sekali lagi, dengan begitu negara akan dapat melakukan penghematan anggaran yang cukup besar. Pengaturan ini bisa disesuaikan di tingkat PPK, Panwascam, sampai ke KPPS, dan Pengawas TPS.
Cerminan kekacauan berdemokrasi paling tidak disumbangkan dari kerja-kerja oknum penyelenggara Pemilu yang tidak profesional. Ada yang bersekongkol, berselingkuh dengan politikus untuk memenangkan kepentingan praktis tertentu. Akhirnya, ulah oknum penyelenggara Pemilu yang cacat moral ini berdampak luas. Lahirnya ketidakpercayaan publik terhadap Lembaga penyelenggara Pemilu. Ini tidak boleh dibiarkan.
Maka usulan perubahan status KPU dan Bawaslu ini mnejadi penting. Sumber masalah salah satunya memang dari lamanya mereka diberi kesempatan mengabdi (5 tahun). Padahal kerja mereka efektif hanya kurang lebih 1 tahun setengah. Tapi, jadinya digaji selama 5 tahun. Sungguh sangat tidak adil. Kita berharap pemerintah dapat mempertimbangan usul saran dari masyarakat terkait hal ini.
Tidak ada yang tidak mungkin di negara ini. Ketika status KPU dan Bawaslu dialihkan berstatus Ad Hoc, maka langkah yang ditempuh terlebih dahulu yaitu mengamandeman Pasal 22E Ayat 5 dalam Undang-Undang Republik Indonesia tahun 1945. Yang bunyinya, pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Jalan lain yang perlu diambil, bisa juga adalah mereinterpretasi tentang diksi ''tetap''. Sehingga perubahannya dapat diadaptasikan pada struktur penyelenggara Pemilu, dan periode atau masa kerjanya. Kondisi negara kita sedang mengalami defisit anggaran. Hal itu seperti disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang mencatat bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) defisit sebesar Rp.309,3 Triliun per Oktober 2024. (Baca; cnnindonesia.com, Jumat, 8 November 2024).
Untuk itu, efisiensi anggaran menjadi perhatian serius. Negara akan menghemat, kemudian program Makan Siang Bergizi Gratis yang diberikan Rp.10.000 per anak dapat terlaksana dengan baik. Yang program makan siang bergizi gratis sebesar Rp.71 Triliun, jumlah ini yang telah disetujui DPR RI. Presiden Prabowo Subianto juga mengakui bahwa untuk program Makan Siang Bergizi, sebenarnya mau ditetapkan Rp.15.000 per anak.
Namun karena keterbatasan anggaran, maka hanya ditetapkan menjadi Rp.10.000 per anak. Artinya penghematan di penyelenggara Pemilu dapat menutupan kekurangan, dan memungkinkan program prioritas Presiden Prabowo terimplementasi dengan sukses. Jika kita flashback, problem yang dilahirkan akibat kinerja penyelenggara Pemilu yang jauh dari kata profesional, tidaklah sedikit.
Baik dari aspek svaluasi perekrutan penyelenggara Pemilu dari pusat sampai ke daerah tak luput dari segudang masalah. Sampai pada tahapan kerja-kerja rekapitulasi hasil pemilihan umum. Semua itu menjadi satu kesatuan dari lamanya mereka mengabdi sebagai Komisioner penyelenggara Pemilu. Atas hal tersebut, membatasi waktu anggota KPU dan Bawaslu di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota menjadi solusi yang konkrit. Menyelamatkan indonesia dari defisit berkepanjangan.
Usul dari sejumlah politisi yang juga mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, pegiat sosial politik menandakan bahwa menetapkan masa kerja KPU dan Bawaslu hanya menjadi 2 tahun dianggap krusial. Kalau tidak ditempuh jalan ini, maka selalu ada pemantik kehaduhan dan meredupnya kualitas demokrasi. Kita semua semakin kerepotan nantinya. Karena tidak sedikit Komisioner KPU dan Bawaslu di daerah tidak mampu menjalankan amanah, tidak menjaga integritasnya.
Kualitas demokras yang digadang-gadang, dan menjadi cita-cita bersama kita semua malah tidak kunjung terwujud. Yang ada malah malapetaka. Konflik horizontal bahkan terjadi dari tiap Pemilu juga Pilkada, sialnya yang menjadi biang masalahnya adalah ketidaknetralan penyelenggara Pemilu. Fakta ini tidak boleh ditutup-tutupi lagi. Harus ada terobosan, perbaikan atas kelemahan demokrasi yang akrab kita temukan di tahun-tahun politik.
Jalan tengah untuk membatasi masa kerja KPU dan Bawaslu Provinsi, Kabupaten/Kota menjadi 2 tahun cukuplah beralasan. Dari sisi anggaran, ini relevan untuk menunjang efisiensi anggaran. Menghentikan gejolak konflik kepentingan yang diakibatkan dari kecurangan yang disinyalir kerap dilakukan penyelenggara Pemilu. Tak hanya itu, ikhtiar ini dapat menumbuhkan kembali citra penyelenggara Pemilu yang jelek saat ini untuk kembali lebih baik lagi.
Bahkan kalau mau jujur, lantaran status KPU dan Bawaslu daerah yang permanen, bukan Badan Ad Hoc mendorong banyak pihak memburu posisi tersebut. Niat menjadi penyelenggara Pemilu kian bergeser. Bukan lagi bertujuan mengabdi pada bangsa dan negara. Melainkan untuk memperkaya diri. Mencari pekerjaan. KPU dan Bawaslu di daerah kini menjadi ladang atau lahan pekerjaan baru. Gratifikasi marah terjadi disini.
Akibat yang mengemuka ke publik adalah tidak sedikit orang saling sikut, saling suap, melakukan skandal, intervensi, dan intimidasi dilakukan ketika proses seleksi (perekrutan) Komisioner KPU dan Bawaslu di daerah. Sedihnya lagi, ada dugaan skandal sex menyelimuti proses seleksi penyelenggara Pemilu. Segeralah kita hentikan ini. Problem yang ada bukan hanya tanggung jawab satu dua pihak, tetapi tanggung jawab kolektif.
Seperti kata peribahasa, lebih baik mencegah daripada mengobati. Ini menjadi penting untuk kita menangani, menyikapi kisruh politik yang berkepanjangan. Semula dari penentuan tim seleksi (Timsel) KPU dan Bawaslu di daerah dipenuhi praktik titip-menitip. Saling mengamankan, mengkondisikan dilakukan. Alhasil, Komisioner KPU dan Bawaslu yang terpilih di daerah tidak bisa leluasa bekerja. Mereka dibayang-bayangi intervensi, balas budi, tukar tambah kepentingan.
Mereka tidak merdeka. Bekerja dengan penuh beban, tekanan, dan kerap dihegemoni pihak yang menjadikan mereka sebagai Komisioner (Anggota) KPU atau Bawaslu di daerah. Sebuah benang kusut yang menambah beban bagi demokrasi kita untuk tumbuh sehat. Kekusutan itu perlu dicarikan solusinya. Perlu ada exit strategy. Tidak boleh kita apatis memandang penyimpangan nilai-nilai demokrasi yang kian canggih akhir-akhir ini. Â
Efek yang paling nyata adalah, politik uang, rekayasa, dan kecurangan dalam Pemilu atau Pilkada tak mampu ditindak para penyelenggara Pemilu. Ya, karena mereka terpilih (terseleksi) dengan titipan beban yang tidak sedikit. Di pundak mereka kompromi politik, konspirasi politik, dan ''konsensus'' disisipkan. Para Komisioner yang telah terlanjur membawa label berintegritas (integritas) malah terpeleset, masuk angin sejak awal.
Saat terpilih memang integritas mereka sudah layak dipertanyakan. Deal politik, penggunaan uang untuk menjadi Komisioner tak jarang dilakukan. Bahkan bukan lagi menjadi rahasia umum, mereka sowan, namanya disounding kemana-mana, dan mereka meminta suaka kepada pengurus partai politik, atau orang-orang yang dianggap kuat, serta memiliki koneksi (relasi) ke elit partai politik. Sejak menjadi calon Komisioner KPU atau Bawaslu, mereka berkeliling, melakukan tawaf demi memuluskan cita-citanya menjadi Komisioner.
Semua cara-cara tolol ini harus dihentikan. Kita mengharapkan Komisioner yang benar-benar berintegritas, mandiri, profesional, tidak punya beban kepada siapapun ketika bekerja. Para Komisioner KPU dan Bawaslu dari pusat sampai ke daerah kedepan bukan lagi dititip partai politik. Bukan agen ganda yang kelak merusak marwah demokrasi. Bukan orang-orang yang menjadi pemerkosa demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H