Untuk itu, efisiensi anggaran menjadi perhatian serius. Negara akan menghemat, kemudian program Makan Siang Bergizi Gratis yang diberikan Rp.10.000 per anak dapat terlaksana dengan baik. Yang program makan siang bergizi gratis sebesar Rp.71 Triliun, jumlah ini yang telah disetujui DPR RI. Presiden Prabowo Subianto juga mengakui bahwa untuk program Makan Siang Bergizi, sebenarnya mau ditetapkan Rp.15.000 per anak.
Namun karena keterbatasan anggaran, maka hanya ditetapkan menjadi Rp.10.000 per anak. Artinya penghematan di penyelenggara Pemilu dapat menutupan kekurangan, dan memungkinkan program prioritas Presiden Prabowo terimplementasi dengan sukses. Jika kita flashback, problem yang dilahirkan akibat kinerja penyelenggara Pemilu yang jauh dari kata profesional, tidaklah sedikit.
Baik dari aspek svaluasi perekrutan penyelenggara Pemilu dari pusat sampai ke daerah tak luput dari segudang masalah. Sampai pada tahapan kerja-kerja rekapitulasi hasil pemilihan umum. Semua itu menjadi satu kesatuan dari lamanya mereka mengabdi sebagai Komisioner penyelenggara Pemilu. Atas hal tersebut, membatasi waktu anggota KPU dan Bawaslu di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota menjadi solusi yang konkrit. Menyelamatkan indonesia dari defisit berkepanjangan.
Usul dari sejumlah politisi yang juga mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, pegiat sosial politik menandakan bahwa menetapkan masa kerja KPU dan Bawaslu hanya menjadi 2 tahun dianggap krusial. Kalau tidak ditempuh jalan ini, maka selalu ada pemantik kehaduhan dan meredupnya kualitas demokrasi. Kita semua semakin kerepotan nantinya. Karena tidak sedikit Komisioner KPU dan Bawaslu di daerah tidak mampu menjalankan amanah, tidak menjaga integritasnya.
Kualitas demokras yang digadang-gadang, dan menjadi cita-cita bersama kita semua malah tidak kunjung terwujud. Yang ada malah malapetaka. Konflik horizontal bahkan terjadi dari tiap Pemilu juga Pilkada, sialnya yang menjadi biang masalahnya adalah ketidaknetralan penyelenggara Pemilu. Fakta ini tidak boleh ditutup-tutupi lagi. Harus ada terobosan, perbaikan atas kelemahan demokrasi yang akrab kita temukan di tahun-tahun politik.
Jalan tengah untuk membatasi masa kerja KPU dan Bawaslu Provinsi, Kabupaten/Kota menjadi 2 tahun cukuplah beralasan. Dari sisi anggaran, ini relevan untuk menunjang efisiensi anggaran. Menghentikan gejolak konflik kepentingan yang diakibatkan dari kecurangan yang disinyalir kerap dilakukan penyelenggara Pemilu. Tak hanya itu, ikhtiar ini dapat menumbuhkan kembali citra penyelenggara Pemilu yang jelek saat ini untuk kembali lebih baik lagi.
Bahkan kalau mau jujur, lantaran status KPU dan Bawaslu daerah yang permanen, bukan Badan Ad Hoc mendorong banyak pihak memburu posisi tersebut. Niat menjadi penyelenggara Pemilu kian bergeser. Bukan lagi bertujuan mengabdi pada bangsa dan negara. Melainkan untuk memperkaya diri. Mencari pekerjaan. KPU dan Bawaslu di daerah kini menjadi ladang atau lahan pekerjaan baru. Gratifikasi marah terjadi disini.
Akibat yang mengemuka ke publik adalah tidak sedikit orang saling sikut, saling suap, melakukan skandal, intervensi, dan intimidasi dilakukan ketika proses seleksi (perekrutan) Komisioner KPU dan Bawaslu di daerah. Sedihnya lagi, ada dugaan skandal sex menyelimuti proses seleksi penyelenggara Pemilu. Segeralah kita hentikan ini. Problem yang ada bukan hanya tanggung jawab satu dua pihak, tetapi tanggung jawab kolektif.
Seperti kata peribahasa, lebih baik mencegah daripada mengobati. Ini menjadi penting untuk kita menangani, menyikapi kisruh politik yang berkepanjangan. Semula dari penentuan tim seleksi (Timsel) KPU dan Bawaslu di daerah dipenuhi praktik titip-menitip. Saling mengamankan, mengkondisikan dilakukan. Alhasil, Komisioner KPU dan Bawaslu yang terpilih di daerah tidak bisa leluasa bekerja. Mereka dibayang-bayangi intervensi, balas budi, tukar tambah kepentingan.
Mereka tidak merdeka. Bekerja dengan penuh beban, tekanan, dan kerap dihegemoni pihak yang menjadikan mereka sebagai Komisioner (Anggota) KPU atau Bawaslu di daerah. Sebuah benang kusut yang menambah beban bagi demokrasi kita untuk tumbuh sehat. Kekusutan itu perlu dicarikan solusinya. Perlu ada exit strategy. Tidak boleh kita apatis memandang penyimpangan nilai-nilai demokrasi yang kian canggih akhir-akhir ini. Â
Efek yang paling nyata adalah, politik uang, rekayasa, dan kecurangan dalam Pemilu atau Pilkada tak mampu ditindak para penyelenggara Pemilu. Ya, karena mereka terpilih (terseleksi) dengan titipan beban yang tidak sedikit. Di pundak mereka kompromi politik, konspirasi politik, dan ''konsensus'' disisipkan. Para Komisioner yang telah terlanjur membawa label berintegritas (integritas) malah terpeleset, masuk angin sejak awal.