Tahun Pemilu 2024 akan tiba. Kini gerbang kontestasi demokrasi untuk menyeleksi kepemimpinan nasional di republik Indonesia mulai dibuka. Para bakal calon Presiden telah di-endorse. Para elit politik mulai mematok harga atas kader-kader andalan yang diusung. Tentu untuk kepentingan menang.
Penggalangan dilakukan, tukar tambah kepentingan, kompensasi politik menjadi pendekatan yang kerap dilakukan. Tidak ada yang musykil dalam politik. Lawan bisa berubah menjadi kawan. Begitu juga sebaliknya. Ranah politik itu cair, dinamis, bahkan sering membuat gila. Memang politik punya tabir sendiri.
Ada sebagian politisi yang dalam kasusnya memiliki kesiapan relatif matang, tapi kalah dalam pertarungan politik. Sebagiannya tidak, mereka memenangkan pertarungan dari meminta-minta ibah para elit politik. Dengan modal membangun kompromi, dan siap menjadi babu para pemilik modal.
Sudah seperti itulah wajah, dan implementasi politik. Aktor politik yang bisa dikatakan telah surplus modal sosial, namun miskin dalam mengoperasionalkan visi, ide, atau gagasan yang dicanangkan itu. Hasilnya tidak menggembirakan. Mereka kalah dalam kompetisi politik.
Tantangan besar dari praktek politik yang liberal, ialah tidak adanya kepastian. Pemimpin berintegritas dan punya capital sosial belum tentu terpilih. Ada disparitas. Cela itulah yang memaksa politisi, calon pemimpin yang diidolakan rakyat harus berkonspirasi dengan cukong.
Inilah proses ''benchmark''. Realitas tersebut tidak dapat disangkal. Dari figur yang baik, dibandingkan dengan figur terbaik, begitu juga seterusnya dari visi yang baik menuju visi yang terbaik. Warga pemilih (konstituen) harus dicerahkan. Jangan biarkan alam pikiran mereka digerogoti kaum kapitalis.
Preferensi berbeda pilihan terhadap Capres dan Cawapres 2024 juga turun mewarnai. Harus ada batas propaganda yang dilakukan politisi untuk membujuk rakyat memilih kandidat yang mereka usung. Jangan berlebihan membangun narasi kebencian, memproduksi hoax, menyerang pribadi lawan politiknya.
Karena rakyat akan gamang pikirannya. Pada titik inilah distingsi diperlukan. Guna menjegal polarisasi di tengah-tengah rakyat kita perlukan alat filter. Jangan dianggap tidak memberi dampak kerusakan kicauan politisi tersebut. Apalagi mereka yang menjadi juru bicara, mesin pembangun opini publik dari masing-masing kandidat paslon Capres tidak terdidik dan melampaui batas.
Baik yang tampil di Televisi, siaran web atau siniar (Podcast). Diminta untuk jangan berlebihan mengagitasi publik. Tatanan sosial yang teratur akan terobok-obok bila para juru bicara ''politisi'' sesuka hati menyampaikan pikirannya secara liar dan brutal. Lagi-lagi harus ada batas etika.
Bila kita membaca konstelasi Pilpres 2024, para utusan parpol yang didaulat atau diutus bicara di publik adalah mereka yang terseleksi. Para politisi terbaik. Argumen, analisis, dan pengalaman lapangan mereka yang luar biasa. Dari sisi kualitas, tak perlu lagi diragukan. Kita rakyat kecil hanya mengingatkan.
Jangan offside. Poles, buat branding, angkat kandidat anda sebaik mungkin agar publik terpikat dan memilihnya. Tapi, ingat jangan melampaui kemampuannya. Batasi mengarang bebas, membangun pemahaman seolah-olah kandidat yang di-drive itu berkemampuan bak seorang Nabi.
Begitu juga di sisi yang lain. Tanpa sadar para juru bicara akhirnya mengobral murah kandidatnya. Sebab, dari mulut juru bicara ''public speaking" memberi pengaruh signifikan. Utamanya bertujuan membuat orang terpesona, tertarik dan mengikuti akan yang disampaikan. Efek buruknya, memantik kebencian.
Kita berharap pengelolaan isu diperhatikan. Termasuk mendistribusikannya ke publik. Jika juru bicara tidak cermat, maka yang dilakukannya akan menampar, memukul mundur kandidat yang tengah diperjuangkannya itu. Perhatikan agar tidak mengangkat tema-tema yang "relatable".
Salah satu cara yakni mengurangi political show, yang cenderung membangun citra "palsu. Kerjakan apa yang bisa dilakukan kandidat Capres. Belajar untuk tampil selaras. Bagaimanapun itu, banyak contoh dalam praktek politik kita pernah mengajarkan terkait political show yang berlebihan, tidak berimbang. Akhirnya memakan diri sendiri.
Ada politisi yang mundur di tengah jalan saat memimpin. Kasus di depan mata yakni para Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang gagal menepati janji kemudian cekcok. Alhasil, salah satu dari mereka memilih melepas jabatan. Lucky Hakim, Wakil Bupati Indramayu. Ada juga Irwan Fikri, Wabup Agam, Sumbar.
Politisi harus piawai menempatkan diri. Jubir misalnya, mesti menggunakan alur berpikir atau visi besar yang digunakan kandidat yang dijagokannya sebagai clue. Dengan begitu akal sehat publik dapat terjaga. Kepercayaan akan terus didapat dari rakyat.
Sekarang publik mulai cerdas membaca diksi politik dan pesan politisi. Tidak mudah lagi rakyat ditipu. Seperti pada acara dialog ''Talk Show''. Yang disiarkan di Televisi, terbukti relatif memberi warna dan kontribusi pada persepsi publik. Itu sebabnya, penting disatu sisi stakeholder terkait mengambil peran literasi politik dan diseminasi informasi.
Dalam realitas lainnya, pendukung Capres diminta untuk tidak sporadis menyerang lawan politiknya masing-masing. Baik itu yang strong voters maupun undecided voters ''swing voters'', tak boleh saling menghantam. Bangun iklim politik yang sportif dan juga konstruktif. Ayo jalankan supremasi hukum, dan tegakkan etika politik.
King Maker, Pemain Tengah, Pemain Belakang, dan Chiliders
Praktik politik menempatkan politisi pada beberapa lapis ''layer''. Dari jenis pemilih juga begitu, ada irisan dan kelasnya masing-masing. Para politisi itu ada yang menjadi king maker ''pembuat raja'' atau pemain utama, pemain tengah, pemain belakang, dan chiliders (pemandu sorak). Ada benang kusut.
Tautan kepentingan tumbuh subur di kelasnya masing-masing. Alot rebutan kepentingan, baik sebagai king maker hingga menjadi budak politik atau politisi pengangguran yang nasibnya akan ditentukan elit politik. Di ruas-ruas jalur tersebut pertarungan kepentingan bertengger.
Belum lagi kepentingan itu di-breakdown ke lapangan. Tantangannya sudah pasti berbeda dan makin luas ruang garapan, tarik menarik kepentingan. Para politisi dipastikan tidak akan pernah merasa damai, tidak merasa aman dengan situasi atau status yang didapatkannya. Selalu ada ancaman kepentingannya diganggu. Saling gerogoti kepentingan terjadi di tengah politisi.
Kondisi tersebut terus berpengaruh sampai ke basis-basis pemilih. Bagaimana petugas partai, tim sukses merawat simpul-simpul suara di lapangan untuk menguatkan dukungan terhadap calon Presiden, calon Wakil Presiden yang diperjuangkan.
Mereka di satu sisi juga butuh survive. Mereka membutuhkan penyangga dan keseimbangan, jangan sampai ditelikung kawan sendiri di tengah perjuangan. Luar biasa, tidak mudah ternyata menjadi politisi. Di tengah-tengah upaya menjaga posisi, mengambil momentum untuk melompat naik kelas, ada saja ancamannya.
Hanya berdiam diri bisa saja disikut. Kalau tak ditinggalkan gerbong, potensi untuk dituduh dan difitnah kawan sendiri begitu terbuka. Belum lagi, bagaimana politisi tersebut mengkapitalisasi kekuatannya untuk mengalahkan rivalnya. Sampai di titik mana politisi itu tak diintai dan bebas dari ancaman?
Mungkin sampai raganya berada di dalam kuburan. Fitnah, saling hasut, memuji, dan saling menjatuhkan sudah seperti ''tradisi'' dalam politik kita di Indonesia. Padahal itu penyakit. Itu harus dijauhkan dari pergaulan politisi kita. Kepalsuan dalam praktek politik memang tidak sedikit.
Para aktor politik yang berbagi tugas untuk melahirkan kemenangan bersama juga seharusnya solid dalam memperjuangkan isu-isu kerakyatan. Dan meluruskan niatnya untuk memajukan negara. Bukan sekedar menargetkan kekuasaan. Lantas, setelah itu mereka mementingkan isi perutnya sendiri.
Ketika ada pemimpin yang dilahirkan dari king maker, itu berarti dia tak bebas dari intervensi dan balas jasa. Di indonesia kita sangat sulit melepas dari alur tersebut. Hampir semua pemimpin kita dilahirkan dari pengaturan, kemahiran seorang king maker. Ikatan dan dominasi king maker amat kuat.
Dampak buruknya akan lahir beban di masa-masa mendatang. King maker dalam tafsir tertentu penting dan diperlukan. Ia bisa berperan sebagai mentor dalam melahirkan keberhasilan pembangunan kelak. Pada sisi lainnya, menjadi beban. Mereka yang mengambil peran sebagai sebagai king maker tentu mengejar posisi untuk mendapatkan privilege "hak istimewa".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H