Jangan offside. Poles, buat branding, angkat kandidat anda sebaik mungkin agar publik terpikat dan memilihnya. Tapi, ingat jangan melampaui kemampuannya. Batasi mengarang bebas, membangun pemahaman seolah-olah kandidat yang di-drive itu berkemampuan bak seorang Nabi.
Begitu juga di sisi yang lain. Tanpa sadar para juru bicara akhirnya mengobral murah kandidatnya. Sebab, dari mulut juru bicara ''public speaking" memberi pengaruh signifikan. Utamanya bertujuan membuat orang terpesona, tertarik dan mengikuti akan yang disampaikan. Efek buruknya, memantik kebencian.
Kita berharap pengelolaan isu diperhatikan. Termasuk mendistribusikannya ke publik. Jika juru bicara tidak cermat, maka yang dilakukannya akan menampar, memukul mundur kandidat yang tengah diperjuangkannya itu. Perhatikan agar tidak mengangkat tema-tema yang "relatable".
Salah satu cara yakni mengurangi political show, yang cenderung membangun citra "palsu. Kerjakan apa yang bisa dilakukan kandidat Capres. Belajar untuk tampil selaras. Bagaimanapun itu, banyak contoh dalam praktek politik kita pernah mengajarkan terkait political show yang berlebihan, tidak berimbang. Akhirnya memakan diri sendiri.
Ada politisi yang mundur di tengah jalan saat memimpin. Kasus di depan mata yakni para Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang gagal menepati janji kemudian cekcok. Alhasil, salah satu dari mereka memilih melepas jabatan. Lucky Hakim, Wakil Bupati Indramayu. Ada juga Irwan Fikri, Wabup Agam, Sumbar.
Politisi harus piawai menempatkan diri. Jubir misalnya, mesti menggunakan alur berpikir atau visi besar yang digunakan kandidat yang dijagokannya sebagai clue. Dengan begitu akal sehat publik dapat terjaga. Kepercayaan akan terus didapat dari rakyat.
Sekarang publik mulai cerdas membaca diksi politik dan pesan politisi. Tidak mudah lagi rakyat ditipu. Seperti pada acara dialog ''Talk Show''. Yang disiarkan di Televisi, terbukti relatif memberi warna dan kontribusi pada persepsi publik. Itu sebabnya, penting disatu sisi stakeholder terkait mengambil peran literasi politik dan diseminasi informasi.
Dalam realitas lainnya, pendukung Capres diminta untuk tidak sporadis menyerang lawan politiknya masing-masing. Baik itu yang strong voters maupun undecided voters ''swing voters'', tak boleh saling menghantam. Bangun iklim politik yang sportif dan juga konstruktif. Ayo jalankan supremasi hukum, dan tegakkan etika politik.
King Maker, Pemain Tengah, Pemain Belakang, dan Chiliders
Praktik politik menempatkan politisi pada beberapa lapis ''layer''. Dari jenis pemilih juga begitu, ada irisan dan kelasnya masing-masing. Para politisi itu ada yang menjadi king maker ''pembuat raja'' atau pemain utama, pemain tengah, pemain belakang, dan chiliders (pemandu sorak). Ada benang kusut.
Tautan kepentingan tumbuh subur di kelasnya masing-masing. Alot rebutan kepentingan, baik sebagai king maker hingga menjadi budak politik atau politisi pengangguran yang nasibnya akan ditentukan elit politik. Di ruas-ruas jalur tersebut pertarungan kepentingan bertengger.
Belum lagi kepentingan itu di-breakdown ke lapangan. Tantangannya sudah pasti berbeda dan makin luas ruang garapan, tarik menarik kepentingan. Para politisi dipastikan tidak akan pernah merasa damai, tidak merasa aman dengan situasi atau status yang didapatkannya. Selalu ada ancaman kepentingannya diganggu. Saling gerogoti kepentingan terjadi di tengah politisi.