Ada uang barulah politisi itu dipilih. Resiko yang dimunculkan dari cara memilih rakyat kepada politisi yang demikian adalah sikap ingkar. Saling menghianati, saling memanfaatkan. Politisi memanfaatkan rakyat, dan sebaliknya. Politisi secepatnya merubah kondisi merusak konstruksi demokrasi ini.
Resonansi politik pasti makin terasa ketika Pemilu 2024 tiba. Dimana kita merasa situasi politik uang sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Bukan musuh bersama semua pihak, baik politisi, penyelenggara Pemilu, akademisi, serta rakyat umumnya. Itu berarti kita secara sadar mau menggadaikan demokrasi.
Kemelut lainnya yaitu sebagian besar politisi yang terjun ke ranah politik hanya bertujuan memperbaiki nasib dan mengumpulkan uang. Bukan dijadikan sebagai ladang pengabdian. Menjadi calon Anggota Legislatif, calon Kepala Daerah, hingga calon Presiden ditempatkan sebagai kesempatan alih profesi.
Atau juga ajang ''berjudi'', adu mujur, bukan benar-benar berniat untuk mengabdikan diri bagi rakyat. Semangat itulah yang mengarahkan politisi pada ruang persaingan yang terbuka dan luas. Seolah tanpa batasan etika dan aturan main. Yang tertanam dalam pikirannya adalah bagaimana menang.
Tidak siap kalah, melainkan hanya siap menang. Belum lagi, politisi yang terbiasa memelihara barisan perbudakan dan menjadikan status politiknya sebagai modal untuk gaya-gayaan. Menaikkan strata sosial. Politik menjadi ajang balas dendam. Tidak ada lagi ketulusan, tidak ada lagi pengabdian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H