demokrasi di atas panggung yang sejuk, sportif, produktif, dan mencerahkan. Harapan tentang tatanan politik yang penuh nuansa pendidikan, warisan kebaikan selalu dinanti publik. Berhentilah meracuni pikiran rakyat dengan politik tipu-tipu. Politik yang penuh dengki.
BAGAIMANA menghadirkanPerilaku yang demikian tidak sedikitpun memberi ruang integrasi nilai-nilai politik. Malah dampak yang dilahirkan nantinya adalah polarisasi sosial. Perjuangan kepentingan politik seyogyanya didasarkan atas bangunan demokrasi yang kokoh. Yang induknya dari kepentingan rakyat. Lalu siklusnya ke rakyat juga.
Nyala api hasutan politik harus dimatikan. Demokrasi mengajarkan kita tentang kewajaran kemanusiaan. Bukan sikap berlebihan atau melampaui batas. Kenyataan yang kita temukan di panggung politik kekinian masih belum memenuhi harapan kita. Yang ada hanyalah kekecewaan, kesedihan.
Karena proses memilih pemimpin secara demokratis ditafsir seperti panggung sayembara politik yang tanpa batas aturan. Di negeri ini regulasi silih berganti, bahkan menumpuk. Namun lagi-lagi itu barulah sebatas tekstual. Aktualisasinya masih buruk, memprihatinkan. Konstruksi demokrasi masih rapuh.
Tidak berlebih ditarik kesimpulan sementara bahwa konstruksi demokrasi kita saat ini berdiri di atas bangunan yang rapuh. Fundamen kejujur dan adil dalam praktek demokrasi yang dicerminkan melalui politik praktis sudah mulai sukar kita temukan. Tidak menggeneralisir bahwa semua politisi pembohong.
Tapi, praktek kejujuran yang sejatinya dicontohkan para politisi menjadi seperti barang mewah, barang antik yang mulai sulit kita temukan dalam interaksi politik. Sedangkan, dari kebutuhan literasi politik rakyat membutuhkan keteladanan dalam praktek politik yang itu layak ditunjukkan politisi.
Janganlah politisi kita bertengkar pada ruang yang simbolik. Mempertengkarkan Pancasila, anti Pancasila. Agama atau anti Agama. Itu tema dan pemandangan yang tidak relevan lagi dengan kemajuan politik kita hari ini. Rakyat harus diberi tontonan yang lebih mendalam lagi.
Bukan sekedar perang verbal. Melainkan ditunjukkan semua argumentasi, teori, dan kemampuan retoris itu dalam tindakan. Politisi hadir memberi pelajaran untuk tidak korupsi. Bagaimana menjadi teladan dalam kerja-kerja populis. Mengabdi untuk rakyat, tegak lurus menjalankan aturan.
Tampil menjadi sumber inspirasi. Terdepan dalam kerja-kerja kemanusiaan, membela atau berpihak pada sikap jujur dan adil. Bukan malah menghidangkan penampilan rakus, penyalahgunaan kewenangan. Merampas, bahkan memangsa rakyat sendiri.
Dalam perspektif rakyat, kebanyakan mereka yang sudah pasrah menjemput momentum politik, mereka berkesimpulan semua politisi adalah pelaku kebohongan. Tidak ada politisi yang jujur, adil, dan tulus, ikhlas. Persepsi buruk yang menempatkan politisi sebagai pembual tentu merugikan citra politik.
Inilah tugas terberat bagi politisi. Karena tidak semua politisi berkarakter seperti itu. Ada politisi yang menghalalkan segala cara untuk meraih apa yang diinginkan. Walau tidak semua bermental seperti itu. Kalau kita menelusuri, masih terdapat politisi yang berkata jujur, berpegang pada moral, juga integritas.
Tak perlu malu kita mengakui kelemahan kita dalam menjalankan nilai-nilai demokrasi. Rapuhnya konstruksi demokrasi kita tergambarkan dalam memudarnya kesadaran kolektif untuk saling memberi dukungan terhadap praktek kebaikan berpolitik. Literasi demokrasi untuk politik sehat juga diabaikan.
Pemilih lebih nyaman menerima menjamu para politisi yang merusak demokrasi. Ketimbang politisi yang penuh dengan gagasan pembangunan, kaya akan pengalaman memimpin. Karena pikiran pemilih telah terdoktrin, dan terbiasa santun, akrab jika berinteraksi melalui cara-cara politik transaksional.
Sedihnya, banyak kasus di depan mata menjadi pelajaran bersama. Masih tidak insyaf menjadi pemilih, yang mengutamakan pemberian dari politisi abal-abal. Yang setelahnya mereka (konstituen) diabaikan. Rakyat menjadi alat tukar tambah. Seharusnya rakyat belajar dari proses destruksi demokrasi seperti itu. Â Â
 Tantangan Krusial Bagi Politisi
Seperti ada penyakit menular yang tengah menggerogoti politisi kita. Dan serangannya di awali dari mindset. Kemudian tersebar ke tindakan para politisi. Situasi ini bukan lagi fenomena, melainkan paradoks yang terefleksi dalam perilaku politisi yang menganggap uang sebagai segalanya.
Politik dimaknai secara sempit. Bukan sekedar kepentingan, kekuasaan, melainkan dipersepsikan sebagai harta kekayaan. Orang yang terjun di ruang-ruang politik ''dituntut'' harus kaya materi (duit). Seolah adagium tak ada uang abang ditendang menjadi paten, permanen dalam politik kita.
Itu dianggap sebagai modal satu-satunya. Padahal tidak, politik tidak sesederhana dan tidak sesempit itu. Politik adalah soal kepekaan, kemanusiaan, keberpihakan. Politisi diharusnya punya bekal, atau memiliki modal kepedulian, kecintaan yang tinggi pada rakyat. Bukan mengkultuskan kekayaan.
Apalagi mengkultuskan diri sendiri dan keluarga. Lalu dalam konteks yang lebih luas, menjadikan rakyat sebagai alat. Rakyat dimanfaatkan demi kepentingan politik. Ini yang sebetulnya sungguh-sungguh membahayakan. Cara pandang seperti ini yang harus dikoreksi, perlu ditata ulang.
Politisi modern tidak boleh merasa mereka dalam posisi aman. Terbebas dari kompleksitas persoalan. Tidak. Yang ada malah problem datang bergantian, rakyat yang mulai tertular pola pikir materialistik mereka rela menjadi budak dari politisi berduit. Harga diri direndahkan juga dianggap biasa.
Bagi mereka yang penting mendapatkan uang atau materi. Bahkan berkali-kali politisi tertentu melecehkan mereka pun mereka terima dengan canda tatawa, penuh senyuman. Merasa bahwasanya politisi tersebut adalah orang baik, dermawan. Kebaikan diukurnya dari uang disaat itu juga.
Sebelum rakyat berbenah, secara etik, politisi harus terlebih dahulu sadar. Kemudian, maju beberapa langkah untuk membenahi kerusakan ini. Kerusakan yang bermuara dari cara pandang. Akhirnya, dihampir semua tempat, jika momentum politik tiba, rakyat selalu berharap disogok.
Ada uang barulah politisi itu dipilih. Resiko yang dimunculkan dari cara memilih rakyat kepada politisi yang demikian adalah sikap ingkar. Saling menghianati, saling memanfaatkan. Politisi memanfaatkan rakyat, dan sebaliknya. Politisi secepatnya merubah kondisi merusak konstruksi demokrasi ini.
Resonansi politik pasti makin terasa ketika Pemilu 2024 tiba. Dimana kita merasa situasi politik uang sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Bukan musuh bersama semua pihak, baik politisi, penyelenggara Pemilu, akademisi, serta rakyat umumnya. Itu berarti kita secara sadar mau menggadaikan demokrasi.
Kemelut lainnya yaitu sebagian besar politisi yang terjun ke ranah politik hanya bertujuan memperbaiki nasib dan mengumpulkan uang. Bukan dijadikan sebagai ladang pengabdian. Menjadi calon Anggota Legislatif, calon Kepala Daerah, hingga calon Presiden ditempatkan sebagai kesempatan alih profesi.
Atau juga ajang ''berjudi'', adu mujur, bukan benar-benar berniat untuk mengabdikan diri bagi rakyat. Semangat itulah yang mengarahkan politisi pada ruang persaingan yang terbuka dan luas. Seolah tanpa batasan etika dan aturan main. Yang tertanam dalam pikirannya adalah bagaimana menang.
Tidak siap kalah, melainkan hanya siap menang. Belum lagi, politisi yang terbiasa memelihara barisan perbudakan dan menjadikan status politiknya sebagai modal untuk gaya-gayaan. Menaikkan strata sosial. Politik menjadi ajang balas dendam. Tidak ada lagi ketulusan, tidak ada lagi pengabdian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H