Tak perlu malu kita mengakui kelemahan kita dalam menjalankan nilai-nilai demokrasi. Rapuhnya konstruksi demokrasi kita tergambarkan dalam memudarnya kesadaran kolektif untuk saling memberi dukungan terhadap praktek kebaikan berpolitik. Literasi demokrasi untuk politik sehat juga diabaikan.
Pemilih lebih nyaman menerima menjamu para politisi yang merusak demokrasi. Ketimbang politisi yang penuh dengan gagasan pembangunan, kaya akan pengalaman memimpin. Karena pikiran pemilih telah terdoktrin, dan terbiasa santun, akrab jika berinteraksi melalui cara-cara politik transaksional.
Sedihnya, banyak kasus di depan mata menjadi pelajaran bersama. Masih tidak insyaf menjadi pemilih, yang mengutamakan pemberian dari politisi abal-abal. Yang setelahnya mereka (konstituen) diabaikan. Rakyat menjadi alat tukar tambah. Seharusnya rakyat belajar dari proses destruksi demokrasi seperti itu. Â Â
 Tantangan Krusial Bagi Politisi
Seperti ada penyakit menular yang tengah menggerogoti politisi kita. Dan serangannya di awali dari mindset. Kemudian tersebar ke tindakan para politisi. Situasi ini bukan lagi fenomena, melainkan paradoks yang terefleksi dalam perilaku politisi yang menganggap uang sebagai segalanya.
Politik dimaknai secara sempit. Bukan sekedar kepentingan, kekuasaan, melainkan dipersepsikan sebagai harta kekayaan. Orang yang terjun di ruang-ruang politik ''dituntut'' harus kaya materi (duit). Seolah adagium tak ada uang abang ditendang menjadi paten, permanen dalam politik kita.
Itu dianggap sebagai modal satu-satunya. Padahal tidak, politik tidak sesederhana dan tidak sesempit itu. Politik adalah soal kepekaan, kemanusiaan, keberpihakan. Politisi diharusnya punya bekal, atau memiliki modal kepedulian, kecintaan yang tinggi pada rakyat. Bukan mengkultuskan kekayaan.
Apalagi mengkultuskan diri sendiri dan keluarga. Lalu dalam konteks yang lebih luas, menjadikan rakyat sebagai alat. Rakyat dimanfaatkan demi kepentingan politik. Ini yang sebetulnya sungguh-sungguh membahayakan. Cara pandang seperti ini yang harus dikoreksi, perlu ditata ulang.
Politisi modern tidak boleh merasa mereka dalam posisi aman. Terbebas dari kompleksitas persoalan. Tidak. Yang ada malah problem datang bergantian, rakyat yang mulai tertular pola pikir materialistik mereka rela menjadi budak dari politisi berduit. Harga diri direndahkan juga dianggap biasa.
Bagi mereka yang penting mendapatkan uang atau materi. Bahkan berkali-kali politisi tertentu melecehkan mereka pun mereka terima dengan canda tatawa, penuh senyuman. Merasa bahwasanya politisi tersebut adalah orang baik, dermawan. Kebaikan diukurnya dari uang disaat itu juga.
Sebelum rakyat berbenah, secara etik, politisi harus terlebih dahulu sadar. Kemudian, maju beberapa langkah untuk membenahi kerusakan ini. Kerusakan yang bermuara dari cara pandang. Akhirnya, dihampir semua tempat, jika momentum politik tiba, rakyat selalu berharap disogok.