Mohon tunggu...
Muhammad Suryadi R
Muhammad Suryadi R Mohon Tunggu... Lainnya - Founder Lingkar Studi Aktivis Filsafat (LSAF) An-Nahdliyyah

Tall Less Write More

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

NU dari Sudut Pandang Pemula

18 Maret 2021   00:44 Diperbarui: 18 Maret 2021   01:04 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : NU Online

Siapa yang tidak mengenal NU ?. Dapat dipastikan semua orang pasti kenal dengan nama NU. NU terkenal sebagai organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang memiliki jutaan pengikut dan penggemar seluruh mayapada, setidaknya menurut hasil riset yang dikeluarkan oleh LSI Denny JA pada tahun 2019. 

Tidak tanggung-tanggung hasil riset tersebut menunjukkan angka yang besar sebanyak 49,5% menggeser Muhammadiyah yang memiliki pengikut sebanyak 4,2 %.

NU dalam perjalanannya telah memberikan kontribusi yang begitu besar. Perjuangan NU tidak hanya berhenti pada perjuangan menyebarkan panji-panji keislaman, tetapi yang lebih besar itu bahwa NU ikut mendirikan republik atau NU sendiri yang telah mendirikan republik yang bernama NKRI ini. 

Fatwa Resolusi Jihad K.H Hasyim Asy'ari telah menjadi inspirasi lahirnya gerilya pemberontakan melawan antek-antek imperialisme-kolonialisme bagi seluruh masyarakat Indonesia. 

Hubbul Wathon Minal Iman telah menjadi dasar perjuangan Islam Kebangsaan dalam merebut dan mempertahankan kedaulatan NKRI yang dilucuti tentara NICA dan sekutunya waktu itu.    

Jika berbicara NU maka kita akan berbicara tentang pesantren. Sejak dulu pesantren telah menjadi tempat berkumpulnnya masyarakat dari berbagai lapisan untuk belajar bukan hanya agama, tetapi juga ilmu-ilmu alam dan sosial kemasyarakatan. Banyaknya masyarakat yang berguru ke pesantren menjadikan pesantren meemiliki banyak pengikut. 

Jumlah itu semakin bertambah seiring besarnya kebutuhan masyarakat akan ilmu-ilmu agama utamanya Fiqhi. Pesantren sebagaimana diketahui adalah lembaga pendidikan yang telah hidup lebih lama jika dibandingkan umur republik ini. Bahkan, tidak berlebihan jika pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan asli pribumi.

NU sangat identik dengan pesantren. Bahkan NU adalah pesantren itu sendiri. Pola kehidupan Kiai dan Santri telah terejawantah dalam batang tubuh organisasi Kebangkitan Ulama ini, baik secara kepemimpinan ataupun dari sistem pengkaderan. 

Perjalanan NU dari dulu hingga kini selalu sama. Kepesantrenan dan ke-NUan selalu berjalan beriringan. Gus Dur seperti dikutip dari Islam Tradisional Yang Terus Bergerak karya K.H Husein Muhammad, menjelaskan bahwa pesantren adalah subkultur yang di dalamnya terdiri dari tiga elemen yakni pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh negara, kitab rujukan diambil dari berbagai abad, dan sistem nilai yang dianut. (Husein Muhammad; 2019).

Tiga kategori elemen yang dimaksudkan Gus Dur itu, menurut penulis adalah pola organisasi yang dimiliki NU. NU sendiri adalah organisasi independen yang tidak terafiliasi dengan organisasi pemerintah atau lembaga apapun. Di berbagai pesantren yang dimiliki NU, kitab gundul masih menjadi kitab rujukan para kiai dan santri, meski di NU sendiri kitab-kitab ataupun tafsir modern telah banyak digunakan. Dari sitem nilai, NU hingga kini masih mempertahankan tradisi sowan dan segala bentuk penghargaan kepada Kiai.

Pesantren mengajarkan suatu sistem nilai yang mana itu tidak dimiliki oleh pesantren-pesantren di luar NU. Sistem nilai itu adalah sistem kode etik moral; akhlak. 

Akhlak ini merupakan karakteristik kesantrian yang ditempa selama bertahun-tahun selama mondok di pesantren. Akhlak tersebut berupa adab kepada Kiai dan orang lebih tua ketimbang santri. Menghargai orang berilmu termasuk salah satu adab yang lekat dalam tubuh pesantren ataupun santri itu sendiri. Adab berikutnya, yang ini merupakan adab yang sangat penting, yaitu kesederhanaan. Meminjam definisi Nur Khalid Ridwan, Kesederhanaan adalah adalah budaya perlawanan atas sikap berlebihan, materialistis, dan koruptif. (Nur Khalid Ridwan; 2019)

Ach Dhofir Zuhry dalam Peradaban Sarung menjelaskan dengan sangat apik bahwa pesantren tidak mencetak ilmuan menara gading dan tidak pula mencetak intelektual picisan. Kiai mengajarkan bahwa pada dasarnya hidup itu adalah sederhana, bahkan lebih sederhana dari yang kita bayangkan. (Ach Dfir Zuhry; 2018). 

Dan ciri khas yang terakhir adalah Guyon. Guyon merupakan istilah yang disematkan kepada Kiai-kiai atau Santri NU. Sebab, guyon ini telah menjadi ciri khas NU. Beberapa dekade berlalu, humor telah lekat dalam diri setiap Kiai NU. Guyon dan humor adalah cara Kiai NU menyudahi ketegangan akibat perdebatan-perdebatan yang menyangkut persoalan fiqhi ataupun masalah sosial, politik, budaya, baik itu dalam kehidupan keseharian hingga di arena Muktamar sekalipun.

Jika menjelaskan NU---sebagai seorang pemula dalam menulis tentang NU---, maka NU yang dipahami adalah organisasi kemasyarakatan yang berciri khas pesantren. Sebab, pendiri-pendiri NU sendiri adalah Kiai dan Ulama yang berasal dari pesantren. Tokoh-tokoh figur NU dari level Pengurus Besar hingga Ranting mayoritasnya berasal dari kalangan pesantren. 

Meski, ada juga di NU yang berlatarbelakang bukan pesantren tetapi watak pemikirannya berciri khas pesantren. Pun, tak dapat dipungkiri juga bahwa saat ini kader-kader NU banyak diisi oleh pengurus ataupun kader dari kalangan profesional, akademisi bahkan ilmuan. Meski demikian, ragam individu yang telah mengisi NU saat ini adalah potensi besar untuk eksistensi NU itu sendiri.

Dalam buku Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil menjelaskan posisi NU. NU sebagai kekuatan strategis dalam masyarakat mau tidak mau harus berkompromi dengan mengadakan penyesuaian-penyesuaian agar mampu bertahan. (Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil; 2010). 

Senada dengan itu, penulis berkeyakinan tidak ada soal jika NU saat ini banyak diisi oleh kalangan akademisi dan ilmuan, selama identitas dan ciri khas ke-NUan itu tetap lestari. Orang-orang NU yang berlatarbelakang akademisi dan ilmuan itu---meski tidak semuanya--- adalah Gus-Gus berlatarbelakang pesantren. 

Dalam pengertian, banyaknya orang NU dari kalangan akademisi ataupun ilmuan tidak serta merta memudarkan karakteristik kepesantrenan di tubuh NU. Adanya  Kiai dan tradisi NU adalah dua dari sekian banyaknya faktor sulitnya karakteristik kepesantrenan memudar di tubuh NU.

Selain pesantren, keterbukaan atau inklusivitas adalah modal NU berikutnya. Inklusivitas atau keterbukaan merupakan fondasi agar NU bisa maju. Keterbukaan NU terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, ide-ide modernitas atau liberalisme sekalipun harus diadaptasi dengan mengadopsi nilai-nilainya yang relevan dengan kebutuhan NU. 

"Apa yang tidak berlaku seluruhnya jangan dibuang sebagiannya" merupakan kaidah yang sering dikutip Gus Dur sebagai ide dalam merumuskan pentransformasian NU. 

Al-muhafazhatu ala al qadim shalih wal al akhdu bi al jadidi al ashlah. Kaidah ini kaidah lainnya yang menjadi dasar NU dalam menghadapi tantangan modernitas, arus liberalisme hingga hantaman gelombang teknologi informasi seperti saat sekarang ini. Kaidah ini pula yang menjadikan NU lebih fleksibel sehingga tetap bisa leading di berbagai zaman.

Saat ini, Kiai-kiai di NU telah melakukan banyak melakukan gebrakan untuk memajukan NU. Gebrakan ini disebut sebagai program strategis NU. Ada banyak program strategis NU tapi yang penulis ambil hanya dua. Pertama. Di bidang akademik, NU mendirikan banyak Universitas dan Perguruan Tinggi untuk pemerataan warga Nahdliyyin di bidang pendidikan tinggi. 

Sektor pendidikan harus menjadi basis untuk memanfaatkan potensi besar jama'ah Nahdliyyin yang banyak itu. Di samping itu, santri-santri dan anak-anak muda NU digenjot untuk belajar ke luar negeri. Melalui program beasiswa, anak-anak muda NU dapat mempelajari ilmu pengetahuan yang ada di Barat (Eropa) ataupun dari Timur (Cina, Jepang, Korea) dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang ada di NU.

Kedua. Di bidang ilmu pengetahuan, kader-kader muda NU telah terjun melakukan banyak riset di bidang sains dan teknologi. Upaya ini dilakukan semata-mata untuk mendorong NU dapat menguasai sains dan teknologi. 

Kini, berkat program strategis NU di bidang sains dan teknologi, telah banyak kader-kader NU yang terlibat dalam dunia riset bahkan menentukan dalam dunia riset. Ilmuan-ilmuan yang bekerja dalam pentas nasional banyak dari kalangan NU. 

Dari sisi teknologi, anak-anak muda kini banyak bergelut pada bisnis startup, usaha micro-digital, hingga bekerja di bidang software developer. Hasilnya kita bisa rasakan hari ini. NU kini telah memiliki aplikasi database NU; KartaNU, aplikasi NU Online, bahkan aplikasi dakwah bernama Dakwah Digital; DakwahNU.

Semua ini adalah langkah strategis bagaimana memajukan organisasi dan menjadikan NU tetap dapat survive menghadapi berbagai tantangan zaman. Dengan menggunakan pendekatan pendidikan, sains, ataupun perangkat teknologi, tugas NU mendakwahkan Islam ramah bukan marah-marah, Islam merangkul tidak suka memukul, Islam terpuji bukan mencaci (Islam rahmatan lil alamin) akan lebih mudah dan cepat tersampaikan. Olehnya itu, kunci menghadapi era serba cepat ini adalah keterbukaan (open minded) dan NU sudah melakukan itu. Tanpa keterbukaan, mustahil NU bisa semaju seperti sekarang. Itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun