Mohon tunggu...
Ernita Desyanti
Ernita Desyanti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bundoku

..hanya Insan Sederhana, namun ada..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Siluet Pagi Hadirkan Kekuatan Sejati Dari Ketulusan Hati

22 Desember 2024   06:05 Diperbarui: 22 Desember 2024   06:05 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa kecil, tinggal seorang perempuan bernama Nana, yang memiliki dua anak, Aisyah dan Hadi. Kehidupan mereka sederhana, namun penuh dengan kasih sayang. Nana seorang ibu muda yang kuat dan sabar, yang bekerja keras setiap hari untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Suaminya yang telah wafat beberapa tahun lalu, meninggalkan mereka dengan segala bentuk cerita namun penuh tantangan.

Setiap pagu Nana bangun lebih awal dari yang lain. Ia mempersiapkan semua kebutuhan dan sarapan pagi anak-anaknya ke sekolah, sebelum beraktivitas. Setiap hari ia membersihkan semua yang kotor dan memastikan semua kebutuhan mereka terpenuhi sebelum ia berangkat bekerja di ladang.

Perempuan tanggub ini tak pernah mengeluh, meskipun tubuhnya lelah. Baginya, melihat anak-anaknya bahagua adalah kebahagiaan terbesar  yang ia miliki.

Aisyah, putrinya yang masih berusia belasan tahun, sering memperhatikan ibunya yang bekerja tanpa henti. Setiap pulang dari sekolah, Aisyah dan Hadi berganti pakaian dan langsung menuju ladang milik keluarga ibunya, di mana Nana menghabiskan waktu hingga sore menjelang.

Meski demikian, Nana selalu menyempatkan diri untuk memberikan pelukan hangat dan kata-kata penyemangat. Aisyah tau betul bahwa ibunya adalah pahlawan dalam hidupnya dan bagi hidup Hadi, adiknya. Semenjak kepergian bapaknya, seolah waktu telah membuat mereka memahami kehidupan yang harus dilalui. Tanpa suara sang waktu selalu memberi pengalaman dan pemahaman bagi diri mereka.

Suatu pagi, setelah sarapan, Aisyah duduk bersama ibunya di beranda rumah mereka yang sederhana. Ia memandang ibu dengan penuh rasa hormat dan kekaguman. 

"Ibu, kenapa ibu selalu terlihat ceria dan kuat? Bahkan ketika ibu lelah, ibu tetap tersenyum?" tiba-tiba Aisyah bersuara, mengusir hening diantara mereka.

Nana tersenyum tipis dan merangkul Aisyah. Sementara saat itu suasana alam menebarkan rona persahabatan yang hakiki, menemani mereka di sela rasa letih yang merongrong asa, memaksa jiwa untuk tetap tegar dan kokoh. 

"Semua ini karena kasih sayang untuk kamu dan adikmu, Aisyah. Melihat senyummu dan canda tawa kamu dan adikmu, melihat kalian bertumbuh, sehat dan pintar adalah kebahagiaan terbesar bagi ibh. Kekuatan yang ada ini dari Illahi," Nana meyakinkan anaknya dengan suara lembut. Di sekitar mereka Hadi sedang asyik sendiri, di ladang mereka. Dalam hati Nana berharap, "panen nanti in sya Allah akan menguntungkan dan dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya," kata batinnya.

Aisyah mendengarkan ibunya sambil mengangguk. Lalu beranjak menuju Hadi yang sedari tadi sibuk dengan rutinitas di ladang, membantu ibunya.

~~~

Hari-hari berlalu, dan kehidupan mereka tetap berjalan dengan penuh kasih sayang dan perjuangan. Paman Aisyah juga ikut membantu ibunya di ladang. Mengerjakan apa yang ia bisa.

Namun suatu hari, Aisyah mendapati ibunya terjatuh saat bekerja di ladang. Hari itu pamannya tidak bisa datang karena sedang sakit. Nana tak mampu bangkit, tubuhnya kelelahan setelah bertahun-tahun bekerja tanpa henti. 

Dengan cemas Aisyah dan Hadi berusaha membantu ibunya berdiri, mereka duduk sejenak di bawah sebatang pohon. Aisyah menyodorkan segelas air putih untuk ibunya. Nana pun mulai berkeringat dan terasa kekuatan dari dalam dirinya muncul kembali, walau masih sedikit pusing.

Setelah beberapa saat, Aisyah dan Hadi membawa ibu mereka ke rumah. Sepanjang perjalanan mereka memegang tangan Nana erat-erat. Dengan perlahan dan sabar Aisyah dan Hadi membantu ibu mereka. Sesekali langkah mereka terhenti, beristirahat, karena keadaan ibu yang mengharuskan duduk sejenak, untuk menghilangkan rasa pusing yang menyerang.

Seharian Nana terbaring lemah di tempat tidur. Adiknya, Paman Aisyah datang membawakan obat dan beberapa vitamin untuk Nana. Baru tiga hari tidak ke ladang, Nana merasa seolah waktu berjalan sangat pelan, berkali-kali Nana memperhatikan jarum jam di dinding rumahnya.

Aisyah duduk di sisi ibu, tak tahu harus berbuat apa demi bisa membantu ibunya segera sembuh dan sehat lagi. Ia ingin berbuat, tapi ia merasa tak cukup kuat. Hadi, sang adik hanya diam di sudut ruangan, merasa bingung dan takut. Mereka berusaha mengambilkan makan, air minum atau apa saja yang ibu inginkan, untuk ibu dan menemani ibunya yang terlelap sepanjang hari agar segera pulih.

Nana membuka matanya perlahan. Melihat Aisyah yang duduk di sampingnya, ia meraih tangan anaknya dan memeluk dengan lembut. Mengetahui ibunya terbangun, Hadi bangkit dan mendekat. 

"Gimana keadaan ibu sekarang, apakah masih terasa pusing?" kata Hadi sambil memegang tangan ibunya.

"Alhamdulillah sudah tidak pusing lagi Hadi, hanya mungkin masih perlu istirahat," jawab Nana. 

Sambil memperbaiki selimut, Hadi berkata, "Syukurlah, Bu. Sebaiknya ibu banyak istirahat dan penenangan ya." Nana tersenyum mendengar kata-kata Hadi dan mengangukkan kepalanya. Sementara Aisyah mulai merasa iba melihat kondisi ibu dan meneteskan air mata.

"Aisyah, jangan menangis, ibu baik-baik, ini hanya karena kelelahan saja," Nana menenangkan.

Aisyah mencoba menahan air mata yang sudah terlanjur membasahi pipinya. Dengan tersenyum Aisyah berkata, "Ia, Bu. Aku ingin membantu tapi tidak bisa. Ibu harus kuat dan segera sembuh ya."

Nana mengusap kepala Aisyah. "Ibu tahu Aisyah dan Hadi sudah berusaha dan banyak membantu selama ini. Kekuatan ibu tidak hanya ada pada tubuh, tapi pada cinta yang selalu kita bagu. Jangan pernah merasa sendiri, kita selalu punya satu sama lainnya," ujar Nana walau masih lemah.

"Kita sepatutnya bersyukur, Allah menyayangi kita. Ada rumah, ladang untuk kita, Aisyah dan Hadi bisa memohon pada-Nya." pungkas Nana dengan mata berkaca, haru.

Setelah beberapa hari istirahat, Nana mulai pulih kembali. Meski tubuhnya lemah, semangatnya tidak surut. Ia kembali bekerja di ladang, meskipun Aisyah dan Hadi sering meminta untuk beristirahat lebih banyak dan tidak memaksankan diri bekerja seharian di ladang. Aisyah lebih mengerti pengorbanan ibunya. Kesemangatan ibunya.

Di tengah kesibukannya, Nana selalu menyempatkan waktu untuk berbicara dwngan anak-anaknya. Ia mengajari Aisyah tentang kehidupan, tentang menghargai, tentang bersyukur, dan juga tentang bagaimana menghadapi kesulitan. Tentang pentingnya memiliki hati yang oenuh kasih. 

"Kekuatan sejati," kata Nana, "bukan berasal dari tubuh yang kuat saja, tetapi dari ketulusan hati yang selalu memberi."

Aisyah tercenung dan merenungi dengan dalam makna kalimat tersebut, mencoba memahami maknanya. Ia tahu bahwa meskipun hidup penuh tantangan, ia akan selalu memiliki cinta dukungan dari ibu dan adiknya. Bahka ketika Nana tak lagi bisa bekerja keras seperti dulu, ia sadari ibu akan selalu mengajarkan nilai-nilai yang tak ternilai.

Beberapa minggu kemudian, saat musim panen tiba, Nana merasa lebih baik. Ia kembali ke ladang sendirian. Seusai jadwal sekolah, seperti biasa Aisyah dan Hadi langsung menuju ladang mereka. Menemani dan membantu ibu. 

Namun kali ini Aisyah lebih siap. Ia membantu ibu dengan senyuman, merasa kuat karena kasih sayang dan perhatian diberikan ibunya 

"Kekuatan sejati bukan berasal dari tubuh yang kuat saja, tetapi dari ketulusan hati yang selalu memberi"

Puisi Untuk Ibu;

"Cinta Yang Tak Terbatas"

Ibu, kau yang selalu bangun lebih awal

Menyusuri hari dengan langkah yang teguh,

Dalam keheningan pagi yang penuh harap,

Ia memberi tanpa pernah meminta kembali


Di balik lelah yang tak terucap

Ada hati dengan segenap cinta,

memenuhi jiwa dan asa yang membara

Seperti matahari yang terbit setiap pagi

memberikan cahayanya yang cemerlang

Ia menyinari jalan kami dengan kasih.


Ibu, engkau adalah kekuatan yang tak terlihat

Meski tubuhmu lelah, jiwamu tak pernah rapuh

Semangatmu menggelora menemani kami

Cintamu adalah pelita dalam kegelapan

Yang menerangi kami untuk terus melangkah.






Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun