"Arya, tunggu sebentar, saya mau menyerahkan undangan untukmu," Aisha menyodorkan sesuatu yang Arya kira buku kecil tadi. Tertulis besar-besar di tengah atas, undangan pernikahan. Tak perlu ia membukanya, Arya sudah bisa memastikan nama siapa yang tertera di dalamnya.
"Arya, perkenalkan ini suami saya, kami menikah seminggu yang lalu, dan kami berencana melaksanakan resepsi pernikahan hari Ahad ini. Semoga kamu bisa datang ya nanti. Saya mengundang seluruh teman-teman satu angkatan kita," Aisha menggandeng tangan laki-laki itu, yang ternyata adalah suaminya.
"Fahri" sambil tersenyum suami Aisha mengulurkan tangannya untuk berjabatan.
"Arya," jawabnya bergetar menyambut uluran tangan suami Aisha. "Selamat ya atas pernikahan kalian. Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinaah. Insya Allah kalo tidak ada halangan saya akan datang ke acara resepsi besok. Oh, ya mohon maaf, saya pamit karena ada keperluan. Assalamu'alaykum." Tanpa menunggu balasan lagi, Arya langsung kembali menaiki Yamaha R1nya dan menekan gasnyaa kuat-kuat meninggalkan pasangan yang baru saja menikah itu.
Sungguh, hatinya sakit sekali. Ada rasa marah bercampur kecewa bergejolak di dadanya. Dengan kecepatan tinggi, ia melarikan motor setianya tersebut ke arah Tawangmangu, tempat dimana kedua orang tuanya memilki sebuah villa di sana.
Sesampainya di halaman vila. Ia memarkir motor di carport halaman depan dan segera berlari ke arah belakang villa. Dari kejauhan tampak pemandangan perbukitan yang menghijau di sertai dengan kabut tipis. Tawangmangu memang merupakan daerah pariwisata yang terkenal dengan daerahnya yang dingin dan berbukit2. Mirip daerah Puncak di Bogor.
Arya, berteriak sekeras-kerasnya melepaskan segala rasa yang tertahan dalam hatinya. Hatinya sakit. Tapi ia tau, ia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Selama ini penyebab perubahan dirinya hanya ia sendiri dan Allah yang tau, dan Ustadz saat ia berkonsultasi dulu. Semuanya ia simpan rapat-rapat, karena ia merasa belum waktunya untuk memberitahukan kepada siapa pun. Di saat ia merasa, sudah sampai waktunya ternyata takdir berkata lain.
Sungguh, walau sakit tak terperi, ia tidak menyalahkan siapa pun. Ia hanya ingin menumpahkan semua rasa sakitnya tersebut lewat teriakannya. Ah semoga itu bukan berarti bahwa tanda dia tidak ikhlas akan semua kejadian ini.
Ingin rasanya ia menangis sejadi-jadinya. Walau menangis memang bukanlah suatu larangan, bahkan bagi seorang laki-laki seperti dirinya, Arya sudah bertekad tidak akan meneteskan sebutir air matapun. Karena pantang bagi dirinya, menangisi seseorang yang bukan haknya, seseorang yang belum ia miliki secara halal.
Hatinya memang sakit, untung logikanya masih bisa bekerja dengan baik. Ia tau, butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka hatinya itu. Tapi, ia sadar sepenuh hatinya, bahwa ada takdir yang terbaik yang telah Allah sediakan untuk dirinya sepanjang ia berusaha menggapainya di jalan-Nya yang lurus.
Aisha, merupakan jalan yang Allah berikan padanya untuk menggapai hidayah yang dua bulan terakhir ini ia rasakan. Walau pada akhirnya, ia tidak bisa memilikinya,sungguh ia bersyukur bahwa ia masih diberi kesempatan untuk merasakan nikmatnya hidayah yang Allah karuniakan tersebut. Nikmat besar yang tidak akan ia sia-siakan... Arya hanya bisa berdoa dalam hati,' Selamat menempuh hidup baru saudaraku shalihah, semoga Allah berikan banyak kebaikan untuk dirimu aamiin... '