“Dinda jangan begitu ... ojo mungkur ... jangan membelakangi Kanda begitu. Aku sangat berkuasa di Hastina ini, apapun masalahnya dapat aku selesaikan dengan cepat. Namun kalau menghadapi masalah seperti ini, jagad ini seakan gonjing, dunia gelap seperti tidak ada sinar meneranginya. Semua orang di dunia ini kisruh, nggak ada yang bener, tidak ada yang bener !!! Ada orang dimarahi istri kok nggak ada yang membantu. Penjaga gerbang taman tidak ada yang berani mengingatkan kanjeng ratu. Heeh ... kalian sedang apa di sana !?”
Dan kemarahan Sang Kurupati beralih kepada orang-orang disekitarnya. Dengan ketakutan penjaga gerbang menyembah seraya menjawab gemetar
“Ham ... ham .. hamba di sini, Sinuwun. Hamba sudah sedari kemarin berjaga disini !”
“Kalian tahu kalau aku bertengkar, gustimu mau pergi dari sini kok tidak dihalangi !!! Tak tendang kamu !!! Cepat kembali ke tempatmu !”
Sasaran kemarahan beralih kepada yang lain. Si juru taman sudah ndeprok bersimpuh, badannya seakan menyusut karena ketakutan, wajahnya ditundukan dalam dalam tidak berani menengadah
“Siapa kamu ?”
“Kula truna semi, juru taman, Sinuwun”
“Kerjaanmu apa ?”
“Di taman ini hamba berkewajiban menyirami dan menyiangi bunga bunga agar selalu tampak indah, segar dan mengeluarkan harum mewangi, Sinuwun”
“Tidak perlu ! Semua kembang tidak berguna disini ... kalau perlu aku injak injak nanti ! Kamu goblog ya, ada kejadian seperti ini malah berdiam diri saja. Kamu senang ya kalau nDaramu ini ditinggal sama kanjeng ratu Banuwati !”
Dan tanpa menunggu jawaban juru taman, Duryudana kembali mencari sasaran pelampiasan kemarahan dan ketidakberdayaannya