“Daripada melihat runtuhnya negara Astina akibat angkara murka paduka, sekarang juga lebih baik segera pulangkan saya ke Mandaraka !.”
Dhadha muntab lir kinetab,
duka yayah sinipi,
jaja bang mawingo wingo
oooo ….
Netro kocak ngondar-andir
Idepnya mangala cakra
wadananira mbranang
eee
Dada serasa ditebah mekar,
amarah tersulut berkobar,
napsu bangkit membakar,
mata melebar menebar ancaman,
alis mengkerut nafsu ikut,
wajah memerah marah.
“Kamu nantang ?!”
Dan .... kembali Banuwati larut dalam kejadian yang entah berapa kali telah berulang. Banuwati telah mengerti apa yang tengah berkecamuk dalam dada suaminya. Banuwati telah faham betul bagaimana sebenarnya sikap Duryudana kepada dirinya. Telah dilihatnya sinar mata cemas yang terbaca dari mata suaminya, padahal sebelumnya kentara begitu merah mengabarkan amarah. Meskipun kata katanya masih keras dan slalu berseberangan namun sedikit nada kekawatiran telah cukup bagi Banuwati mengambil keputusan untuk melanjutkan ‘drama’ penuh kepura puraan ini.
“Bukankan Paduka sudah merelakan saya untuk kembali ke Mandaraka ?!”
“Okeee .... saya malu kalau tidak menuruti apa kemauanmu. Dulu saya minta baik-baik, sekarangpun akan saya pasrahkan juga dengan baik baik”
“Baiklah, saya mohon pamit, Sinuwun”
Banuwati membalikan badannya dan melangkah menuju gapura taman. Namun, secepat kilat Duryudana telah meloncat dan berdiri menghalangi jalan Banuwati
“Kowe arep nyang endi ! Kamu mau pergi kemana ?!
“Sudah ... tidak perlu lagi ditanya !”