Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Grevillea (29)

14 Juli 2016   09:59 Diperbarui: 14 Juli 2016   10:03 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

              Semakin dekat dengan jarak rumah, semakin resah pula perasaan Hesty. Betapa tidak, ia sudah memutuskan untuk menjual rumahnya, tanpa sepengetahuan Edo. Rumah yang mereka miliki itu adalah hasil jerih-payah mereka berdua, selama tujuh tahun mereka cicil, ketika ia juga masih bekerja. Mereka dengan ketat mengencangkan ikat pinggang setiap harinya, demi mendapatkan rumah tersebut. Konsekuensi logis itu mereka jalani dengan susah-payah mengatur perekonomian keluarga.

              Oleh sebab itu, keputusan untuk menjual rumah itu memang amat berat bagi Hesty, yang tidak lain untuk biaya pengobatan Edo. Ia tidak mau lagi menghadap Mulyadi, bermohon-mohon, menambah kejatuhan harga dirinya. Hesty tidak mau melihat gaya Mulyadi yang pongah dan arogan itu merasa sudah berada di atas langit. Untuk menegakkan harga diri itu, ternyata memang mahal.

              Sehari sebelum kepulangan Edo itu, Hesty sengaja datang menemui Mulyadi di kantornya. Ia disambut hangat oleh Mulyadi, sebab Hesty dikiranya akan bermohon-mohon lagi untuk meningkatkan jumlah hutangnya.

              Seperti biasa, sambutan terhadap Hesty luar biasa istimewanya. Setelah menuangkan minuman fresh drink ke dalam gelas, Hesty ditawarinya mau makan  dimana  siang itu. Hesty bersikap tenang, seolah tak ada konflik bathin yang luar biasa dengan mantan atasannya ini. Waktu Mulyadi berbasa-basi menanyakan keadaan Edo, ia acuh saja, pura-pura tidak mendengar.

              “Begini . . . Pak Mulyadi! Kedatangan saya kemari ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas kebaikan bapak terhadap saya. Uang yang Bapak pinjamkan  pada saya itu sangat berarti bagi saya. Semoga Tuhan Yang Maha Melihat dan Mendengar dapat membalaskannya, sebagai amal kebaikan bapak.” Terstruktur sekali kalimat yang diucapkan Hesty, namun dada berguncang, suaranya gemetar.

              Mulyadi seperti orang kena hipnotis demi mendengar kata-kata Hesty yang tegas dan penuh wibawa itu.

              “Dan kedatangan saya kemari . . . Pak! Ingin mengembalikan uang bapak yang saya pinjam itu. Ini uangnya, Pak! Terima kasih atas segalanya. Permisi!”

              Hesty langsung meninggalkan ruangan kantor Mulyadi. Pria yang tampak berwajah tulus itu masih terpaku, berdiri dengan mata terperangah, seperti orang kehilangan akal. Ia tidak menyangka sama sekali Hesty akan bersikap begitu ekstrim. Diam-diam dalam hatinya, ia kagum dengan Hesty. Wanita berhati baja, gumamnya dalam hati.

              Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, hati Hesty terasa sangat plong, rongga kepalanya begitu lega. Ia sudah ‘memainkan’ sebuah drama pendek yang paling mengesankan dalam hidupnya. Sebuah drama yang menyiratkan makna betapa pun beratnya, harkat-martabat, dan harga diri itu harus diperjuangkan. Lebih-lebih ia adalah seorang wanita, yang selamanya dianggap makhluk lemah oleh umumnya kaum pria.

              Melalui Nana, Hesty menjual rumah itu tiga hari yang lalu,  ditaksir oleh seseorang, yang disapa Pak Bermawi. Dan pada hari itu juga, orang ini langsung memberi tanda jadi dengan jumlah lima puluh persen dari harga rumah itu. Karena uang itu sangat dibutuhkan, termasuk untuk melunasi biaya rumah sakit dan sekaligus untuk mengembalikan pinjamannya itu kepada Mulyadi.

              Hesty sadar keputusan untuk menjual rumah itu adalah keputusan berat, bahkan ia merasa bersalah. Salah tidak meminta izin suami untuk menjual rumah. Kata-kata apa nanti yang akan disemburkan suaminya manakala tahu dengan perbuatannya ini, ia akan menerimanya sepenuh hati. Ia akan mengatakan, bahwa semua itu untuk keperluan perawatan rumah sakit. Jauh lebih baik dimarahi habis-habisan oleh sang suami, ketimbang dirayu oleh lelaki hidung belang berkarakter serigala berbulu domba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun