Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Grevillea (29)

14 Juli 2016   09:59 Diperbarui: 14 Juli 2016   10:03 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

29. Keputusan Berat

Kelang seminggu, persis hari Rabu berikutnya, atas saran dr. Agustina, yang langsung diiyakan oleh Hesty, oleh pihak menejemen Edo diperbolehkan pulang. Beban biaya pengobatan dan perawatan yang sudah sangat membengkak. Dokter Agustina yang bersimpati kuat terhadap Hesty, tahu persis dengan kondisi kliennya itu. Akan tetapi  Edo masih diharuskan tetap melakukan kontrol medis dua kali dalam sebulan.

              Edo berobat jalan menurut anjuran dokter selama paling tidak enam bulan. Selama itu pula ia tidak diperbolehkan melakukan akfifitas apa pun, Edo harus total beristirahat. Penyakit gangguan paru-parunya, yang disebabkan oleh berbagai senyawa kimia, sudah sangat kronis, akibat dari masa lalunya yang berat penuh kelam, dan diperparah oleh kebiasaan mengosumsi alkohol beberapa bulan terakhir ini, terseret oleh gaya hidup mantan kekasihnya, Mery.

              Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit itu, dalam sebuah mobil carteran,  perasaan Hesty kembali berkecamuk. Edo yang duduk di sampingnya, tenang-tenang saja, tidak tahu apa yang ada dalam benak istrinya. Hesty memang menyembunyikan beban beratnya ini, mengingat kondisi suaminya yang membutuhkan ketenangan.             

              Tanpa ia sadari, rupanya Edo menangkap isyarat dari sikap-tindak, dan gelagatnya. Keresahan hati Hesty dapat ditangkap oleh Edo, meskipun mereka dalam sebuah mobil, yang tengah berada dalam kemacetan dan kesemerawutan yang luar biasa. Mereka seolah sangat menikmati suasana khas ibukota itu.

              Jumlah kendaraan bertambah terus setiap harinya, tidak diimbangi dengan bertambahnya sarana jalan raya. Ibukota dalam kurun waktu puluhan tahun ke depan akan semakin semerawut, jika pembangunannya hanya untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi semata. Tanpa memedulikan aspek kemanusiaan dan sosial-kultural. Pertumbuhan ekonomi naik, tapi tingkat kesejahteraan rakyat kecil sama macetnya dengan lalu-lalang kendaraan, begitu terlintas dalam benak Hesty menyimak kesulitannya dalam pembiayaan suaminya ini.

              “Ada apa, Hes!”

              “Nggak Mas, nggak ada apa-apa.”

              “Ratri . . . baik-baik saja kan?”

              “Iyya Mas . . . baik-baik saja.”

              Edo merasakan ada kejanggalan dari rithme suara Hesty. Tapi ia tidak mau memperpanjang pembicaraan, sebentar lagi mereka akan sampai di rumah. Toh, di rumah lebih leluasa membicarakan segala hal, pikirnya.

              Semakin dekat dengan jarak rumah, semakin resah pula perasaan Hesty. Betapa tidak, ia sudah memutuskan untuk menjual rumahnya, tanpa sepengetahuan Edo. Rumah yang mereka miliki itu adalah hasil jerih-payah mereka berdua, selama tujuh tahun mereka cicil, ketika ia juga masih bekerja. Mereka dengan ketat mengencangkan ikat pinggang setiap harinya, demi mendapatkan rumah tersebut. Konsekuensi logis itu mereka jalani dengan susah-payah mengatur perekonomian keluarga.

              Oleh sebab itu, keputusan untuk menjual rumah itu memang amat berat bagi Hesty, yang tidak lain untuk biaya pengobatan Edo. Ia tidak mau lagi menghadap Mulyadi, bermohon-mohon, menambah kejatuhan harga dirinya. Hesty tidak mau melihat gaya Mulyadi yang pongah dan arogan itu merasa sudah berada di atas langit. Untuk menegakkan harga diri itu, ternyata memang mahal.

              Sehari sebelum kepulangan Edo itu, Hesty sengaja datang menemui Mulyadi di kantornya. Ia disambut hangat oleh Mulyadi, sebab Hesty dikiranya akan bermohon-mohon lagi untuk meningkatkan jumlah hutangnya.

              Seperti biasa, sambutan terhadap Hesty luar biasa istimewanya. Setelah menuangkan minuman fresh drink ke dalam gelas, Hesty ditawarinya mau makan  dimana  siang itu. Hesty bersikap tenang, seolah tak ada konflik bathin yang luar biasa dengan mantan atasannya ini. Waktu Mulyadi berbasa-basi menanyakan keadaan Edo, ia acuh saja, pura-pura tidak mendengar.

              “Begini . . . Pak Mulyadi! Kedatangan saya kemari ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas kebaikan bapak terhadap saya. Uang yang Bapak pinjamkan  pada saya itu sangat berarti bagi saya. Semoga Tuhan Yang Maha Melihat dan Mendengar dapat membalaskannya, sebagai amal kebaikan bapak.” Terstruktur sekali kalimat yang diucapkan Hesty, namun dada berguncang, suaranya gemetar.

              Mulyadi seperti orang kena hipnotis demi mendengar kata-kata Hesty yang tegas dan penuh wibawa itu.

              “Dan kedatangan saya kemari . . . Pak! Ingin mengembalikan uang bapak yang saya pinjam itu. Ini uangnya, Pak! Terima kasih atas segalanya. Permisi!”

              Hesty langsung meninggalkan ruangan kantor Mulyadi. Pria yang tampak berwajah tulus itu masih terpaku, berdiri dengan mata terperangah, seperti orang kehilangan akal. Ia tidak menyangka sama sekali Hesty akan bersikap begitu ekstrim. Diam-diam dalam hatinya, ia kagum dengan Hesty. Wanita berhati baja, gumamnya dalam hati.

              Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, hati Hesty terasa sangat plong, rongga kepalanya begitu lega. Ia sudah ‘memainkan’ sebuah drama pendek yang paling mengesankan dalam hidupnya. Sebuah drama yang menyiratkan makna betapa pun beratnya, harkat-martabat, dan harga diri itu harus diperjuangkan. Lebih-lebih ia adalah seorang wanita, yang selamanya dianggap makhluk lemah oleh umumnya kaum pria.

              Melalui Nana, Hesty menjual rumah itu tiga hari yang lalu,  ditaksir oleh seseorang, yang disapa Pak Bermawi. Dan pada hari itu juga, orang ini langsung memberi tanda jadi dengan jumlah lima puluh persen dari harga rumah itu. Karena uang itu sangat dibutuhkan, termasuk untuk melunasi biaya rumah sakit dan sekaligus untuk mengembalikan pinjamannya itu kepada Mulyadi.

              Hesty sadar keputusan untuk menjual rumah itu adalah keputusan berat, bahkan ia merasa bersalah. Salah tidak meminta izin suami untuk menjual rumah. Kata-kata apa nanti yang akan disemburkan suaminya manakala tahu dengan perbuatannya ini, ia akan menerimanya sepenuh hati. Ia akan mengatakan, bahwa semua itu untuk keperluan perawatan rumah sakit. Jauh lebih baik dimarahi habis-habisan oleh sang suami, ketimbang dirayu oleh lelaki hidung belang berkarakter serigala berbulu domba.

              Dalam pada itu, betapa kagetnya Hesty, ketika beberapa belas meter dari jarak rumahnya, ia melihat tetangganya, telah berkumpul di depan rumahnya. Sebagian besar para tetangganya itu, merupakan anggota kelompok pengajian. Hesty aktif di dalamnya. Tapi, Sejak Edo sebulan lebih berada di rumah sakit, selama itu pula ia absen mengikuti kegiatan. Ia sama sekali tidak mengira sikap tetangganya akan seperti itu. Hesty bangga dengan jama’ah kelompok pengajiannya. Rupanya tidak semua orang di ibukota ini ‘cuek’. Mereka ingin menyambut kedatangan Hesty dan Edo.

              Mobil van carteran mereka berhenti. Sebelum turun Edo sempat bertanya kepada Hesty.

              “Mereka itu tamu kita kan, Hes?”

              “Ya, Mas! Mereka itu tetangga dan handai tolan kita.”

              Hesty melihat Nana dan Ratri sudah berada di depan pintu, kemudian beberapa orang para tetangga, dan rekan Nana. Ratri, putri mungil berumur empat tahun  kurang itu, dengan rasa kangen berat terhadap sang ayah, langsung terhambur dari tangan Ninda, sang pengasuh.

              “Papa pulang . . . Papa pulang . . . !”

              Edo langsung menyambarnya, lalu menggendongnya, dan menciumi kedua pipinya. Hesty menyaksikannya dengan rasa haru campur senang. Ada titik-titik air bening yang keluar perlahan dari kedua kelopak matanya. Cepat sekali ia usap dengan jari jempolnya. Nana langsung memeluknya.

               

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun