- WASIAT KARTINI I
Telah kuterima wasiatmu
Seberkas cahaya yang langka di duniaku
Dunia gelap yang menyekapmu dan juga aku
“Habis gelap, terbitlah terang”
Sebaris kalimat kau tulis di sampul merah jambu
Yang terus berkumandang sebagai warisan untuk anak cucu
Terimakasih pahlawanku
Kata itu begitu sesak menghimpit dadaku
Menggema di sanubariku, mengaliri sekujur tubuhku
Seandainya zamanmu tak cepat berlalu
Dan zamanku tak datang terlambat
Tentulah kan kuhirup wangi tubuhmu
2. WASIAT KARTINI II
Menari-nari di pelupuk mata
Tentang seorang perempuan berjari pena
Meliuk-liukkan kata untuk menyebarkan berita
Kisah penderitaan yang dialami oleh kaumnya
Tertulislah berlembar-lembar surat
Yang ia tujukan kepada para sahabat
Pelampiasan dari kepedihan yang begitu sarat
Terbelenggu oleh tradisi yang begitu kuat
Seperti dinding-dinding tinggi yang menjadi sekat
Yang mengungkungnya atas nama adat
Namun semua itu tak sedikitpun mengendurkan semangat
Jiwa raganya tak pernah merasa penat
Memperjuangkan nasib kaumnya agar bermartabat
Apa yang ia lihat
Baginya begitu menyayat
“Perempuan tak dianggap berharkat
Perempuan tak layak memiliki derajat
Kebodohan terus menerus menjadi sahabat
Ketakberdayaan kerap kali membuat perempuan sekarat”
Wahai kaumku yang aku cintai
Ingatkah kau salah satu surat ibu kita RA Kartini
Yang begitu gigih memperjuangkan emansipasi
Kepada nyonya Abendon beliau menulis kalimat ini
„Kita bisa menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”
Alangkah dahsyatnya jika terus kita hayati
Sebagai bekal kita melanjutkan cita-cita Kartini
Untuk mencerdaskan seluruh perempuan di negeri ini
Tanpa harus melupakan kodrat Ilahi
3. WASIAT KARTINI III
„Bagi saya hanya ada dua keningratan. Keningratan fikiran (fikroh) dan keningkatan budi pekerti (akhlak). Tidak ada manusia lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada orang yang membanggakan keturunannya. Apakah berarti sudah beramal shaleh orang yang bergelar macam Graaf atau Baron? Tidaklah dapat dimengerti oleh pikiranku yang picik ini ....“ sepenggal surat yang ditujukannya kepada sahabatnya Stella Zee Handelaar, menunjukkan betapa luasnya cara pandang Kartini terhadap lingkungan di sekitarnya. Dia tidak hanya pandai dalam ilmu sosial tetapi dia juga pandai dalam memahami ajaran agamanya.
4. RUH CITA-CITA KARTINI
Seperti ruh yang ditiupkan
Dan kemudian menghidupkan raga yang mati
Itulah cita-cita Kartini
Tak terpengaruh oleh ruang dan waktu
Dia terus menyusup di antara tulang-tulang dan sendi
Bersemayam di dalam hati, memacu detak jantung
Mengembangkan paru-paru
Dan mengalirkan darah dan udara ke seluruh tubuh
Menghidupkan kembali jiwa-jiwa yang mati suri
Dari para perempuan-perempuan yang selama ini terdiskriminasi
Dirampas haknya tanpa berani melawan
Berdiam diri membiarkan cita-cita mereka dikebiri
Dan hanya pasrah ketika doktrin yang mengatasnamakan kodrat
Mengungkung dan menyembunyikannya
Di balik sekat-sekat ruang yang begitu terbatas
Dapur, sumur, kasur, itulah tempat kerjanya
Masa depan adalah sesuatu yang gelap
Tanpa pendidikan dan pengetahuan sebagai penerangnya
Lalu datang cahaya emansipasi
Mengumandangkan cita-cita Kartini
Mensetarakan perempuan dengan laki-laki
Dalam hak dan kewajiban sebagai manusia
Yang berakal dan berbudi pekerti
Atas dasar hadits Nabi
Tholabul ‚ilmi fariidlatun ‚alaa kulli muslimin wa muslimatin
Bahwa mencari ilmu adalah kewajiban bagi laki-laki dan perempuan
Sungguh mulia perjuangan Kartini
Mengangkat derajat perempuan ke tempat yang mulia
Karena dari rahimnyalah terlahir generasi muda penerus bangsa
5. DIA YANG TERBARING DAMAI
Jasadnya telah dimakan bumi
Tangannya tak bisa lagi mengangkat pena
Jemarinya tak bisa lagi menulis deretan kata
Mulutnya tak bisa lagi meneriakkan semangat emansipasi
Kaki-kakinya tak bisa lagi berlari untuk mendobrak tradisi
Yang mengungkung kaumnya hingga menjadi pihak yang termarjinalisasi
menjadi korban dari sistem kapitalisasi
yang tak berdaya menghadapi berbagai diskriminasi
Tetapi siapa yang tak tahu cita-citanya yang begitu fenomenal
Mendobrak tradisi dan budaya yang sangat feodal
Yang memandang kedudukan perempuan ibarat sandal
Dan menganggap perempuan sebagai kaum yang bebal
Dia, Kartini, mati muda dengan mewariskan banyak hal
Cita-cita dan semangat juangnya akan terus kekal
Dia Kartini, telah terbaring damai
Senyum bahagianya terus terkembang
Karena perjuangannya terus menerus disemai
Hingga seluruh dunia menjadi terang
(Puisi adalah kebebasan jiwa untuk mengungkap semua yang dirasa)
Sparrstraße 2, 13353 Berlin, setengah jam menuju hari kelahiran RA Kartini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H