Masih muda, meski garis wajahnya terlihat lelah. Kuperkirakan umurnya belum genap 30 tahun.Â
"Assalamu'alaikum, pak" kata pemuda berbaju koko itu sopan dengan segaris senyum di bibir keringnya.Â
"Wa'alaikum salam" jawabku masih asik memainkan keybord laptop. Hari ini beberapa pekerjaan terpaksa kuselesaikan di rumah. Ruang tamu kontrakanku sekaligus meja kerjaku langsung tembus menghadap jalan. Lalu lalang orang lewat tak jarang bertemu pandang langsung denganku. Begitu juga dengan pemuda yang sekarang kupersilahkan masuk ini.Â
"Saya dari Pengurus Pesantren Yatim Piatu bermaksud memohon keikhlasan bapak untuk menyisihkan sebagian rizky demi membantu biaya pembangunan Masjid di tempat kami" ucap pemuda itu lurus tanpa titik koma. Bisa kupastikan itu kalimat hafalan.
 "Oh iya, tunggu sebentar ya, dik" jawabku tanpa memandangnya. Seperti biasa naluri kemanusiaanku berbenturan dengan idealismeku yang terlanjur berlapis mengeras.Â
"Bisa lihat isi surat permohonannya? Itu yang di map sepertinya lengkap?" tanyaku kemudian.Â
"Silahkan pak, ini ada daftar donatur tetap kami dan para penyumbang sebelum bapak. Yang lembar foto copy itu surat tugas saya. Dan ini foto foto situasi dan kegiatan pesantren kami". Jelas pemuda itu sambil membuka map kumal berisi kertas kertas yang sebagian di laminating.Â
"Oke. Mmmm... Pondok Pesantren Yatim Piatu Nurul Iman Desa Tirtareja Kuningan Jawa Barat" ucapku sengaja meng-eja tulisan kop surat di lembar surat tugasnya. Kulirik sekilas pemuda itu yang masih berhias senyum berharap sesuatu.Â
"Ini daftar sumbangan yang bisa bapak isi sendiri sebagai bukti laporan saya ke Panitia pencari dana. Berapapun jumlahnya kami terima dengan senang hati"Â
"Baik, saya ada sedikit rizky 20 ribu, tolong ditulis saja, tapi saya boleh mengajukan beberapa pertanyaan kan?" lanjutku mulai serius ke persoalan idealis.Â
"Oh boleh saja, dengan senang hati pak" jawabnya tak kalah serius begitu mendengar jumlah nominal yang aku sebutkan.Â
"Berapa hari sekali kamu pulang ke Pesantren itu?"Â
"Tidak tentu pak, kadang seminggu sekali. Paling lama 10 hari"Â
"Trus selama nggak pulang kamu tidur dimana?"Â
"Ya dimana saja,pak. Kadang di masjid, pos ronda atau emperan toko" jelas pemuda itu tetap serius.Â
"Istilahnya Musyafir gitu ya?" kataku tak lagi seserius sebelumnya. Satu hal yang tidak masuk akal kucatat. Logikaku mengatakan bahwa seorang yang bepergian jauh dan menginap selalu membawa perbekalan, minimal tas berisi pakaian. Yang kulihat pemuda itu hanya membawa 1 tas kerja berisi map dan entah kertas kertas apa lagi
"Berapa ongkos dari Jakarta ke Kuningan kalo sekali jalan?" lanjut tanyaku.Â
"Naik Bis sekitar 30 ribu. Oper bis kecil ke desa 5 ribu, sambung ojek lagi 10 ribu, pak"Â
"Jadi sekitar 50 ribu sekali jalan ya? Pulang pergi jadi 100 ribu" sahutku menyimpulkan hitungan matematikanya.Â
"Ya segitu lah kira kira pak"Â
"Lalu kira kira lagi nih, sehari rata rata dapet dana donatur berapa duit?" tanyaku masih bergaya serius.Â
"Alhamdulillah 30 sampai 50 ribu dapet pak?" jawabnya dengan nada merendah. Namun aku tahu jumlahnya bisa lebih dari yang dia katakan.Â
"Baik. Sekarang saya mau simpulkan jawaban dan pertanyaan kita tadi. Taruh kata sebulan kamu pulang ke Pesantren 4 kali, ongkosnya jadi 400 ribu. Buat makan kamu selama di Jakarta berhubung musyafir cukup 2 kali sehari saja jadi 20 ribu, sebulan kali 30 jadi 600 ribu. Kebutuhan lain lain taruh kata 100 ribu sebulan. Jadi total biaya musyafirmu sebulan 1 juta 100 ribu"Â
"Maksud bapak gimana?" potong dia seraya menatapku.Â
"Bentar dulu, saya belum selesai berhitung. Kalo pendapatan kamu antara 30 sampai 50 ribu jika di rata rata jadi 40 ribu, maka sebulan kamu dapet duit 1 juta 200 ribu. Dipotong biaya Musyafir jadi yang kamu setor ke Pesantren tinggal sisa 100 ribu" kalimat terakhir kupertegas dengan membalas tatapan matanya. Beberapa saat bola matanya berusaha menghindar, tak kuikuti kemana dia membuang pandangan. Sesaat kemudian dia berdiri dengan tegas.Â
"Maksud bapak saya ini pura pura cari sumbangan untuk pesantren,gitu"Â
"Bukan mulut saya yang bilang begitu lho. Saya cuma menyampaikan logika matematikanya saja. Anda pasti lebih tahu kenyataannya seperti apa. Lebih baik atau justru lebih buruk yang saya sampaikan?" jawabku cepat.Â
"Kalau bapak gak ikhlas nyumbang ya gak usah ngasih gak papa, saya datang dengan sopan malah bapak menuduh saya bohong. Saya Lillahi ta'alla melakukan ini demi Pesantren yang saya cintai" sahut pemuda itu yang dari nada bicaranya sudah berbau emosional.Â
"Ha ha ha... tenang mas. Gak usah pake emosi, santai saja kita ngobrolnya. Saya cuma bertanya yang intinya apakah anda merasa nyaman menjalani hidup dengan cara seperti ini. Sekarang lupakan hitungan matematika tadi. Anda masih muda, penampilan sopan dan religius. Anda pasti punya cita cita. Setidaknya berkeluarga punya istri anak dan rumah. Anda yakin dengan menjalani kerja seperti ini hidup anda akan lebih baik dari sebelumnya?" kalimatku mengalir berlawanan dengan arus emosi pemuda itu. Kulihat sejenak dia mulai membuang pandangan sambil sesekali menunduk.Â
"Saya permisi saja pak, ini nama bapak sudah saya tulis beserta nominal sumbangannya, bapak jadi kasih uangnya atau tidak?" suara pemuda itu masih ketus meski tidak se-emosi sebelumnya.Â
"Oh pasti, ini uangnya" sahutku segera. Aku serahkan lembar 20 ribu sambil mengajaknya berjabat tangan.Â
"Ini uang untuk kamu semua, karena saya sebenarnya tidak berminat menyumbang Pesantren. Uang ini sekarang menjadi hakmu. Terserah kau pergunakan sesukamu" Kamipun berjabat tangan dengan perasaan getir.Â
"Cintailah diri kamu sendiri sebelum kamu mencintai nama Pesantren di daftar sumbangan tadi" nasihat terakhirku berusaha mengusik fikiran bimbangnya. Diapun segera beranjak sambil mengucap kata basa basi selamat siang yang sudah kutebak tanpa Assalamu'alaikum seperti awal datang tadi. Masih kupandangi kepergiannya, hingga sebelum hilang di ujung tembok tetangga dia sempat menengok sekilas ke arahku lagi, entah apa yang difikirkannya tentunya buan ingin berterima kasih.Â
Ruangan tamu sepi lagi, kunyalakan laptop yang sengaja kumatikan monitornya. Di sebelah gelas minum aku ambil koran minggu pagi yang baru separoh kubaca. Di halaman tengah baru sadar ternyata penuh iklan lowongan pekerjaan aneka profesi. Sesungguhnya banyak aktifitas yang masih membutuhkan tenaga kerja. Persaingan hanya terjadi ketika kita menginginkan nilai yang lebih baik dari pada sebelumnya. Seorang office boy yang membaca lowongan pekerjaan akan mencari profesi lain menjadi staff. Seorang Sales mencari lowongan Supervisor.Â
Seorang Managerpun masih menginginkan lowongan profesi Direksi sekiranya ada. Dan seorang pengangguran selayaknya mencoba profesi apapun yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Masih sempat kuingat juga tadi pagi di tempat cucian motor ada iklan "Dibutuhkan : Tenaga Tukang Cuci. Syarat : Rajin dan bertanggung jawab". Kembali kuingat pemuda "musyafir" tadi. Rajin sudah pasti, teruji dengan ketekunannya berkeliling dari rumah ke rumah. Tanggung jawab itu mungkin yang masih menjadi tanda tanya besar siapapun. Sambil iseng kubuka google map. Ketik alamat lengkap Pesantren di Kuningan tadi. Tak terlacak dengan sukses.Â
Dahono Prasetyo
Depok Feb 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H