"Baik. Sekarang saya mau simpulkan jawaban dan pertanyaan kita tadi. Taruh kata sebulan kamu pulang ke Pesantren 4 kali, ongkosnya jadi 400 ribu. Buat makan kamu selama di Jakarta berhubung musyafir cukup 2 kali sehari saja jadi 20 ribu, sebulan kali 30 jadi 600 ribu. Kebutuhan lain lain taruh kata 100 ribu sebulan. Jadi total biaya musyafirmu sebulan 1 juta 100 ribu"Â
"Maksud bapak gimana?" potong dia seraya menatapku.Â
"Bentar dulu, saya belum selesai berhitung. Kalo pendapatan kamu antara 30 sampai 50 ribu jika di rata rata jadi 40 ribu, maka sebulan kamu dapet duit 1 juta 200 ribu. Dipotong biaya Musyafir jadi yang kamu setor ke Pesantren tinggal sisa 100 ribu" kalimat terakhir kupertegas dengan membalas tatapan matanya. Beberapa saat bola matanya berusaha menghindar, tak kuikuti kemana dia membuang pandangan. Sesaat kemudian dia berdiri dengan tegas.Â
"Maksud bapak saya ini pura pura cari sumbangan untuk pesantren,gitu"Â
"Bukan mulut saya yang bilang begitu lho. Saya cuma menyampaikan logika matematikanya saja. Anda pasti lebih tahu kenyataannya seperti apa. Lebih baik atau justru lebih buruk yang saya sampaikan?" jawabku cepat.Â
"Kalau bapak gak ikhlas nyumbang ya gak usah ngasih gak papa, saya datang dengan sopan malah bapak menuduh saya bohong. Saya Lillahi ta'alla melakukan ini demi Pesantren yang saya cintai" sahut pemuda itu yang dari nada bicaranya sudah berbau emosional.Â
"Ha ha ha... tenang mas. Gak usah pake emosi, santai saja kita ngobrolnya. Saya cuma bertanya yang intinya apakah anda merasa nyaman menjalani hidup dengan cara seperti ini. Sekarang lupakan hitungan matematika tadi. Anda masih muda, penampilan sopan dan religius. Anda pasti punya cita cita. Setidaknya berkeluarga punya istri anak dan rumah. Anda yakin dengan menjalani kerja seperti ini hidup anda akan lebih baik dari sebelumnya?" kalimatku mengalir berlawanan dengan arus emosi pemuda itu. Kulihat sejenak dia mulai membuang pandangan sambil sesekali menunduk.Â
"Saya permisi saja pak, ini nama bapak sudah saya tulis beserta nominal sumbangannya, bapak jadi kasih uangnya atau tidak?" suara pemuda itu masih ketus meski tidak se-emosi sebelumnya.Â
"Oh pasti, ini uangnya" sahutku segera. Aku serahkan lembar 20 ribu sambil mengajaknya berjabat tangan.Â
"Ini uang untuk kamu semua, karena saya sebenarnya tidak berminat menyumbang Pesantren. Uang ini sekarang menjadi hakmu. Terserah kau pergunakan sesukamu" Kamipun berjabat tangan dengan perasaan getir.Â
"Cintailah diri kamu sendiri sebelum kamu mencintai nama Pesantren di daftar sumbangan tadi" nasihat terakhirku berusaha mengusik fikiran bimbangnya. Diapun segera beranjak sambil mengucap kata basa basi selamat siang yang sudah kutebak tanpa Assalamu'alaikum seperti awal datang tadi. Masih kupandangi kepergiannya, hingga sebelum hilang di ujung tembok tetangga dia sempat menengok sekilas ke arahku lagi, entah apa yang difikirkannya tentunya buan ingin berterima kasih.Â