Deg!.
Tiba-tiba suara seseorang terdengar berteriak. Sangat keras, dan terdengar sedang tersiksa karena tidak hanya kata "tolong" saja yang diteriakkan. Bu Vivi! Aku yakin dengan suaranya. Tapi bukankah suara percakapan mereka di lantai bawah tidak terdengar hingga lantai atas? Kenapa sekarang terdengar? Terlebih suara minta tolong di rumahnya sendiri?
Bulu kudukku terasa berdiri karena merinding. Penasaran dengan apa yang tengah terjadi di lantai satu rumah ini. Dengan hati-hati, mataku berusaha menyapu keadaan seluruh ruangan rumah. Tanganku tidak lagi memegang kamera.
Brak! Brak!
Dua orang laki-laki terlihat memukul Pak Anton bergantian di lantai satu dekat meja tamu. Sedangkan istrinya, bu Vivi terlihat sudah ambruk di lantai tak sadarkan diri. Posisi mata terbuka, bajunya robek di beberapa sisi lengan, dan genangan cairan merah berkeliaran liar, perlahan dari tubuhnya menuju lantai keramik di sekitarnya.
Buru-buru aku menarik tubuh agar tak terlihat lagi. Tanganku menutup mulut agar tidak berteriak karena kaget dan syok. Suaraku berhasil tertahan, aku tidak berteriak dan tidak membuat dua orang jahat itu curiga. Namun air mataku tak terbendung dan jatuh dengan deras.
Aku takut ..., takut.
Perlahan-lahan dengan tubuh gemetaran. Aku berusaha menjauhkan diri dari setiap sisi yang dapat dilihat dari lantai satu. Aku yakin mereka berbahaya, karena salah satu di antaranya membawa benda tajam. Dan bu Vivi .... Bu Vivi telah dibunuh oleh mereka.
Jantungku berontak tak karuan setelah sadar akan situasi yang tidak pernah aku bayangkan. Salah sedikit saja bertindak, nyawaku akan melayang karena di hadapanku adalah para pembunuh yang sedang melangsungkan pekerjaannya. Tapi siapa aku?Â
Siapa aku?
Aku hanyalah penjual jasa foto produk paruh waktu.