"Kamu kenapa, Aurel! Aku tidak akan menyalahkanmu karena kematian Niken. Aku tahu kamu tidak bersalah. Tapi kumohon jangan lari menghindariku! Jangan takut denganku!" Suaraku lantang berteriak sambil berlari mengejar sahabatku, Aurel.
Isak tangis telihat dari kedua matanya saat berlari. Namun sama sekali dia tidak mempedulikanku. Aku terus mengejarnya.
"Aurel ...! Kumohon, jangan berlari! Aku tahu kamu sedih, Niken mati di sampingmu dan kamu tidak bisa apa-apa bukan? Aku tahu itu! Aku yakin kamu telah berusaha mencegah tapi gagal. Kumohon jangan lari dariku Aurel!"
Kumohon jangan lari Aurel, hanya kamu sahabat satu-satunya yang kumiliki saat ini. Kumohon.
Pohon-pohon di sekitar kami mulai lebat. Semakin rindang dan semakin menghalangi mataku melihat arah Aurel berlari.
Napasku terasa sesak dan peluh menjalari seluruh tubuh. Namun aku tetap mengejar Aurel. Dia tetap berlari menghindar. Mungkin Aurel syok dengan keadaan. Kamu tenanglah Aurel.
Teriakan-teriakan yang kulakukan memanggil Aurel sia-sia. Dia tetap berlari dan jarak kami semakin jauh. Sedangkan pohon-pohon semakin lebat.
Apa ini? Tebing? Saat aku menerjang dedaunan yang lebat terlihat tebing yang tinggi. Sedangkan di sebalahnya adalah jurang. Pasti Aurel berlari ke arah tengah-tengah antara tebing dan jurang.
Aku masih kuat, harus kuat, aku terus berlari di jalan satu-satunya yang ada di depanku.
Aurel ..., kamu akan baik-baik saja. Aku akan membawamu pulang dan menemanimu. Tak akan kubiarkan dirimu menderita karena kamu adalah sahabat berarti buatku.
Setelah beberapa waktu berlari ..., aku dihadapkan dengan jalan buntu. Tidak ada jalan lain yang bisa dilewati karena tebing di sebelah kanan sangat tinggi. Sedangkan jurang di kiri terlihat sangat curam dan dalam.
Aurel! Dia menangis di sana! Merunduk di sisi tebing ..., Aurel bersedih.
Buru-buru tubuhku mendekat memeluk Aurel yang kesepian, ia menggigil dan menangis. Rasa lega akhirnya tiba setelah sekian lama merindu. Kupeluk erat-erat tubuhnya yang terlihat tak terurus dan tak berdaya.
"Kamu tidak apa-apa, Aurel? Apa kamu terluka? Apa kamu sudah makan?" ucapku pelan sambil mengatur nada napas paru-paruku.
"Lepaskan! Lepaskan aku! Tasya! Pergi dari sini!" Aku sedikit kaget, Aurel menolak dan terlihat jengkel. Namun aku tahu dia tengah bersedih.
"Kamu tenang saja, kamu sudah aman Aurel. Aku akan menjagamu."
Suara Rudi dan yang lain mulai datang di belakang kami.
"Tinggalkan aku! Pergilah kamu dasar menyebalkan! Aku tak ingin melihatmu lagi!" Nadanya kerus, wajahnya merah dan terlihat tak terkontrol. Sedangkan tubuhku didorong dengan kedua tanyannya, ambruk.
Sakit. Kepalaku menghantam batu. Sedikit pusing dan nyeri.
"Tenanglah Aurel. Aku datang untuk menyelamatkanmu. Kamu akan baik-baik saja bersamaku," ucapku sambil menahan perih di sebelah telinga, sakit.
"Tenangkan dirimu Aurel," kata Ardi.
Namun Aurel tetap terlihat marah dan dia justru meraih kerahku saat posisiku belum tegak berdiri. Sedikit sulit bernapas. Tubuhku terdesak kasar olehnya.Â
Namun ekspresi muka Aurel kali ini lebih tenang daripada sebelumnya. Ia mencoba mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Dan kedua matanya mulai mau manatapku.
"Kenapa kamu tetap mencariku padahal Niken telah kubunuh?"
"Bohong! Kamu bohong! Sama sekali tidak lucu!" Jantungku bereaksi dan segera mungkin aku menangkis perkataannya.Â
Aurel menatap kedua mataku. Sebelum akhirnya mendorongku jatuh.
"Kamu bohong Aurel ..., ayo kita pergi dari sini. Kita pulang dan kamu akan tena-"
"Diam! Pergilah dari sini!" teriaknya.
"Tidak Aurel, aku tidak percaya dengan perkataanmu. Kamu bisa menjelaskannya saat pulang nan-" Lagi-lagi Aurel memotong perkataanku.
"Kamu tidak tahu rasa sakit yang kurasakan saat bersama Niken!"
Perasaan apa ini ..., sungguh. Aku tidak mengerti dan tubuhku terasa semakin berat.
"Wanita itu iblis berkedok manusia! Dia tega mempedayaku terus-terus dan terus! Bahkan dia selalu menindasku! Merebut lelaki idamanku! Menjadikan aku pesuruhnya! Dia bukan temanku!"
"Aku tidak percaya Aurel. Sungguh, kamu bohong kan? Bukankah kita bertiga adalah sahabat yang akan selalu bersama ...."
"Itu dulu saat kecil. Saat dia baik. Namun sifatnya berubah seiring waktu! Dia selalu melarang ini melarang itu! Dia mengekangku dan membuatku tak bisa apa-apa! Mulutnya selalu merendahkanku! Kamu tahu rasa tersiksa direndahkan sepanjang waktu?! Tasya?"
"Tapi kamu bisa bilang kepadanyan bukan membunuhnya! Semua yang kamu ucapkan tidak benar kan?" Aku mendekatkan wajahku. Menatapnya. Namun ekspresi yang tak kuharapkan keluar dari wajah Aurel.
"Pergi dari sini!"
Aurel berteriak marah dan mendorong tubuhku untuk ketiga kalinya. Lemas kurasakan. Bahkan kali ini aku tak dapat berdiri dan berkata lagi.
"Tasya! Kamu tidak apa-apa?! Aku bantu berdiri."
"Kami telah mencurigaimu, Aurel. Kamu harus ikut bersama kami dan mempertanggungjawabkan semua yang telah kamu perbuat," ucap Ardi.
"Tidak, Ardi! Tunggu! Aurel tidak bersalah! Kumohon bantu dia," suaraku terasa berat. Di dalam kepalaku campur aduk dan tubuhku semakin tak berdaya.
***
Teman? Apa sebenarnya yang dimaksud teman?Â
Sahabat? Apa makna sahabat sesungguhnya?Â
Apakah mereka orang-orang yang tega menyakiti satu sama lain? Menyakiti hati seseorang terus menerus saat berada di sampingnya? Hingga membuat orang lain frustasi dan melakukan hal yang di luar batas maklum?
Apakah mereka orang-orang yang akhirnya dengan rasa tak berdosa melenyapkan nyawa orang lain? Apakah itu teman sesungguhnya?
Tak ada lagi teman milikku.
Tak ada.
Aku sendirian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H