Setelah beberapa waktu berlari ..., aku dihadapkan dengan jalan buntu. Tidak ada jalan lain yang bisa dilewati karena tebing di sebelah kanan sangat tinggi. Sedangkan jurang di kiri terlihat sangat curam dan dalam.
Aurel! Dia menangis di sana! Merunduk di sisi tebing ..., Aurel bersedih.
Buru-buru tubuhku mendekat memeluk Aurel yang kesepian, ia menggigil dan menangis. Rasa lega akhirnya tiba setelah sekian lama merindu. Kupeluk erat-erat tubuhnya yang terlihat tak terurus dan tak berdaya.
"Kamu tidak apa-apa, Aurel? Apa kamu terluka? Apa kamu sudah makan?" ucapku pelan sambil mengatur nada napas paru-paruku.
"Lepaskan! Lepaskan aku! Tasya! Pergi dari sini!" Aku sedikit kaget, Aurel menolak dan terlihat jengkel. Namun aku tahu dia tengah bersedih.
"Kamu tenang saja, kamu sudah aman Aurel. Aku akan menjagamu."
Suara Rudi dan yang lain mulai datang di belakang kami.
"Tinggalkan aku! Pergilah kamu dasar menyebalkan! Aku tak ingin melihatmu lagi!" Nadanya kerus, wajahnya merah dan terlihat tak terkontrol. Sedangkan tubuhku didorong dengan kedua tanyannya, ambruk.
Sakit. Kepalaku menghantam batu. Sedikit pusing dan nyeri.
"Tenanglah Aurel. Aku datang untuk menyelamatkanmu. Kamu akan baik-baik saja bersamaku," ucapku sambil menahan perih di sebelah telinga, sakit.
"Tenangkan dirimu Aurel," kata Ardi.