Mohon tunggu...
Khoirul Muttaqin
Khoirul Muttaqin Mohon Tunggu... Wiraswasta - IG: @bukutaqin

Halo 🙌 Semoga tulisan-tulisan di sini cukup bagus untuk kamu, yaa 😘🤗

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bagaimana Keadaanmu?

2 April 2022   07:00 Diperbarui: 2 April 2022   07:20 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku dan Rudi duduk di teras rumah untuk sarapan. Kali ini, mulutku melahap pecel lele meski sudah lima tahun selalu menghindarinya. Namun hari ini berbeda. Kesehatan lebih penting daripada apapun, karena kami akan pergi ke toko cabang lima. Tempat Niken dan Aurel bekerja yang sangat jauh dari sini. Lagipula tidak ada toko sarapan yang buka di subuh buta.

"Menurutmu, kita harus berangkat sepagi ini?"

"Ya," balasku tanpa ragu. "Jangan mengulur-ulur waktu," tambahku. 

Perjalanan panjang yang membosankan pun terasa sangat lama. Hampir dua jam aku hanya berdiam diri dibonceng Rudi. Pemandangan yang ada hanyalah pohon-pohon cemara dan beberapa perumahan. Aurel juga sama sekali tidak menjawab teleponku. Sejauh ini, hanya gelisah yang aku rasakan.

Ingin rasanya segera sampai dan menemui Aurel di sana. Menanyakan kabarnya, dan menanyakan penyebab kematian Niken.

Tiga kilometer lagi kami akan sampai di cabang lima. Penyelidikan yang dilakukan masih belum menghasilkan kesimpulan. Namun yang jelas, Niken berpulang dan Aurel hilang.

Tubuhku menekan Rudi lumayan hebat. Aku membiarkannya daripada kehilangan keseimbangan. Lagipula, kenapa tiba-tiba Rudi berhenti?

"Hei-"

"Tasya, kamu baik-baik saja?" Rudi memotong ucapanku. Lalu menambah perkataannya "Pegang tubuhku erat-erat! Kita dapat masalah."

Nada suaranya membuatku takut. Buru-buru mataku menyapu situasi. Di depan kami, terlihat tiga orang dengan parang yang tajam di tangan mereka.

"Begal?!" 

"Ya."

"Serius? Pada situasi seperti ini?"

"Cepat pegang tubuhku! Tidak ada waktu lagi!" Rudi meneriakiku.

Kupegang rudi erat-erat, hingga detak jantung kami terasa saling berpacu. Aku takut! Kami takut terjadi sesuatu yang menakutkan.

"Berhentilah, kalian sudah dikepung! Kami hanya meminta sedikit uang saja!" ucap salah seorang di antara begal itu.

Tanpa peduli menjawab, Rudi memutar motornya 180 derajat lalu pergi menjauh. Suara mesin motor terdengar keras. Beserta teriakan tidak terima para begal-begal di depan kami. 

Mereka mengejar!

Dalam waktu yang singkat, ketenangan kami direnggut paksa. Terlebih para begal yang tadi menghadang juga tidak menyerah begitu saja.

"Jika kita bisa keluar dari hutan ini, kita aman," kata Rudi setengah berteriak, dengan postur tubuhnya seperti pembalap.

Mulutku tak sanggup menjawab perkataan Rudi. Rasa takut telah berenggut seluruh tubuhku. Bergetar, lemas, oeluh di mana-mana. Hanya berpegangan saja yang saat ini bisa kulakukan secara sadar.

"Sial! Dua orang memghadang di depan!" Rudi memaki keadaan.

Aku membuka mata dan melihat arah depan. Dua orang dengan benda tajam menghadang! Satu di kanan dan satu di kiri. Terlebih, berada di sebelah tikungan. Aku masih ingat, di balik pagar tipis itu adalah jurang yang sangat dalam.

"Mau tidak mau kita harus memperlambat motor! Kalau terus melaju, kita menabrak begal itu dan menabrak pembatas jalan. Kita selamat dari begal, tapi nyawa kita tetap melayang! Tapi menyerah pada begal hanya membiarkan mereka membunuh kita!" 

"Aku takut! Aku takut! Rudi!" Jantungku terus berdegup kencang. Gigi dalam mulutku berkemelatuk tanpa kendali.

"Pegang tubuhku erat-erat! Tidak ada waktu berpikir lagi!" Rudi berteriak lagi.

Sedangkan aku memegang tubuhnya semakin erat. Takut dengan yang akan terjadi selanjutnya. Bahkan aku tak berani melihat kejadian berikutnya lagi. Mataku terpejam dan mulutku berteriak saat kami semakin dekat.

Kami dikepung lima begal!

Hanya teriakan-teriakan yang ku dengar setelah itu. Beriringan dengan itu pula, pergantian laju motor Rudi yang mendadak pelan dan mendadak cepat juga terasa. Membuat tubuhku seakan didorong dengan paksa. Namun mataku tak mampu melihat kekejaman yang terjadi.

***

Darah ... darah menyelimuti tangan kiri Rudi ... dan motor yang kami kendarai terlihat ambruk ....

Tempat ini ...?

Dan gelap kembali menyelimutiku.

***

Setelah tersadar, aku sudah berada di sebuah kamar. Dindingnya terlihat terang. Berwarna putih dengan beberapa gambar bunga melati sebagai hiasan.

Pintu terbuka dan seorang laki-laki terlihat masuk.

"Bagaimana keadaanmu? Kamu tidak apa-apa, Tasya?" ucapnya menenangkanku. Simpul senyumnya menghilangkan rasa takut. Meski tidak semuanya, ini lebih baik. Terlebih, pakaian yang ia kenakan, aku mengenalinya.

"Rudi di mana?" tanyaku.

"Dia ada di kamar sebelah. Perkenalkan, aku Ardi. Kepala toko di cabang lima."

"Aku Tasya."

"Keluarlah. Makan dan minum agar tubuhmu kembali segar. Rudi juga barusaja kuminta untuk makan," ucapnya.

Kantor ini memiliki bau yang sama dengan tempatku bekerja. Kardus dan plastik adalah bau yang dominan meskipun samar-samar tercium. Hal itu terjadi karena bau kardus dan plastik sedikit terhapus AC.

Tubuhku sudah terasa lebih baik. Namun, tidak banyak hal yang ingin aku lakukan saat ini. Mungkin aku harus menenangkan diriku dulu. Pikirku.

"Apa yang terjadi, Rud?" tanya Ardi.

"Kami dihadang oleh begal."

"Maaf, aku tidak bisa membantumu," kata Ardi.

"Tidak apa-apa, bukan salahmu," ucap Rudi. "Mereka menyerang dari dua arah. Untung saja kami bisa meloloskan diri di tikungan karena tiba-tiba sebuah truk melintas dan kami tidak harus mengatasi mereka berdua."

"Truk?"

"Ya, karena truk itu aku bisa tetap melaju melarikan diri. Namun berada di tikungan dengan kecepatan tinggi memang situasi yang tidak menguntungkan."

"Apa yang terjadi?"

"Meski kami hanya berhadapan satu begal saja, dia membawa senjata parang yang panjang dan tajam. Aku harus memperlambat kecepatan dan hanya bisa menahan begal itu dengan kaki kiri. Saat begal itu berdiri dan menunggu waktu untuk mengayunkan senjatanya. Kakiku sedikit meleset, begal itu pintar. Sehingga yang awalnya parang itu mengarah pada leherku, mengarah ke lenganku. Namun ini lebih baik," kata Rudi.

"Beristirahat setelah ini. Tanganmu sudah diperban dan akan segera pulih," kata Ardi. 

"Anu ..., bagaimana dengan kabar Aurel?" ucapku.

"Tentang Aurel, aku benci mengatakannya," jawab Ardi.

"Kenapa?" 

"Kami masih belum menemukannya. Ini adalah hal aneh. Karena jika dipikir, apa mungkin Aurel menjadi sandra agar toko kita memberi mereka uang yang banyak?"

"Itu berarti Aurel belum mati bukan? Niken baik-baik saja?" tanyaku.

"Kemungkinannya Aurel masih hidup. Kita berdoa saja. Sambil mencari cara menemukannya."

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun