Saat sampai di lokasi, ia terlihat baru saja diborgol seorang polisi. Di dalam rumah. Semua orang menatap dengan tatapan iba. Mungkin hanya aku yang menatap tajam, tidak tega jika Neko tetap terlihat baik-baik saja setelah semua yang dilakukan.
"Kenapa kamu tega melakukan ini?! Ha?!" ucapku lantang setelah dekat dengannya. "Neko sialan! Berkhianat! Pembunuh! Tak bisa dipercaya! Pembohong! Kecewa! Pergi! Sialan! Pengecut! Bajingan! Pembohong! Pendusta! Pembunuh!" Aku memukulinya dengan keras dan sekuat tenaga. Tak peduli dengan orang-orang lain. Hanya ingin agar Neko babak-belur.
Kepalanku menghantam dadanya, tangannya, wajahnya, mulut, pipi. Entah. Aku melayangkan dengan penuh emosi. Semoga pukulanku sempat mengenai matanya hingga buta.
Tak ada orang lain yang marah pada Neko? Ha? Hanya memandang Neko? Dan bahkan mereka menahanku menghajar pembunuh ini? Sial.
Betapa tak adil dunia ini. Orang yang benar-benar membunuh hanya diganjar borgol. Semua diam setelah Neko diborgol?
"Clara itu egois! Kamu harus sadar karena dipermainkannya!" Suara Neko terdengar tajam.
Buru-buru aku menebas perkataannya.
"Kamu yang harusnya lebih dewasa! Kalau merasa disakiti, ngomong! Bukan diam seolah tak ada apa-apa. Tapi setelahnya, kamu membunuh..!!" Sambil berkata-kata, aku melayangkan pukulan bertubi-tubi padanya lagi.
Mata ..., mata ..., mata ..., buta ...!Â
Jiwaku hancur. Pedih, dan gelap. Sudah tak punya apa-apa lagi selain kecewa dan rasa marah. Bahkan tak ada lagi bersemangat untuk melanjutkan hidup.Â
Semakin lama memukul Neko, tenagaku seolah melemah, lemas. Tubuhku semakin goyah. Pada kenyataannya, rasa kesepian terasa lebih sakit daripada apapun. Menjalar ke seluruh sendi di tubuh dan membuatku lumpuh.