Mohon tunggu...
Teguh Perdana
Teguh Perdana Mohon Tunggu... Editor - Menulis dan Berbagi Cerita

Berbagi Kata Berbagi Cerita

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Banjar hingga Gunung Kidul, Teori Hidup yang Fana dan Kepingan Rindu

31 Desember 2021   22:12 Diperbarui: 2 Januari 2022   02:15 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu lalu (25/12/2021), setelah mengumpulkan segala rasa sedih dari segala penjuru akhirnya saya memberanikan diri kembali ke Yogyakarta. Dengan segala macam rasa rindu dan ribuan keping kenangan, saya jajakan kembali kaki ini setelah 8 jam berkendara. 

Meski telah saya tinggalkan selama hampir 6 bulan lamanya, segala macam penjuru seolah masih menyapa. Dekapanya saat saya datang memang tidak sehangat dulu. Entah saya yang terlalu menikmati ribuan celah rindu atau memang saya yang terlalu meromantisasi keadaan.

Bagi saya, kedatangan kali ini bukan saja untuk melihat segala rekaan kejadian yang telah berlalu. Lebih dari itu, saya pun rindu bertemu teman-teman lama di lembaga yang bisa dibilang membuat saya bisa bertahan hidup hingga saat ini dari menulis. 

Desember ini, lembaga yang saya cintai ini memiliki agenda perubahan pengurus. 

Ritual ini memang agenda wajib tahunan. Selain sebagai salah satu cara regenerasi, agenda ini juga terkadang membuat kami dapat kembali saling bertemu dan berbagi tawa. 

Pada kesempatan yang sempit, saya lebih sering berkeluh kesah perihal hidup pada teman yang saya anggap lebih paham atas berbagai hal yang telah atau tengah saya lalui.

Agenda tahunan ini juga sedikit berubah bentuk sejak adanya Pandemic. Peserta tidak perlu datang jauh-jauh ke tempat musyawarah. Cukup gunakan smartphone, unduh aplikasi rapat daring, dan bergabung. 

Sesederhana dan senyaman itu agenda tersebut dua tahun belakangan ini. Meski demikian, saya tetap menganggap teknologi tersebut tidak dapat menggantikan sepenuhnya rasa saat kita datang secara langsung. 

Melihat rekan-rekan yang lebih muda, semangat yang membara, dialektika yang berubah, dan berbagai macam hal lainya yang niscahya tidak bisa didapatkan dari sekedar setor muka di aplikasi rapat daring.

Dialog-dialog kritis juga kerap kali terjadi. Dialog yang menjadi arena pertarungan pemikiran baru dan pemikiran lama. Dialog yang acap kali membantu saya menyandingkan dan membandingkan relevansi pola pikir antara anggota lama dan anggota baru. 

Dalam kesunyataan tersebut, perspektif-perspektif baru juga bermunculan, perspektif yang tidak saja dapat membantu lembaga ini menjadi lebih baik, namun juga membuka cakrawala keilmuan saya yang dangkal.

Tahun ini, lembaga yang teramat saya cintai ini dipimpin oleh seorang wanita. Saya harap hal tersebut dapat berpengaruh pada banyak hal. 

Terserah apa saja perubahan tersebut, yang terpenting para pengurus tetap hidup dan dapat menjalani kehidupan. Tetap semangat membuka pandangan baru diantara banyak pemikiran kolot kampus dan berani menikmati indahnya berproses.

***

Sego berkat dan teori kehidupan yang layu
Setelah menghadiri agenda tahunan lembaga yang saya cintai tersebut, saya bertolak menuju Gunung Kidul. Tempat di mana saya menghabiskan waktu menikmati kesedihan kala itu. 

Menertawakan banyak hal meski tidak ada hal yang lucu, karena selucu-lucunya yang saya lihat, masih lebih lucu apa yang saya lakukan dahulu kala terpuruk.

Bagi saya, Gunung Kidul semenarik tempat favorit lainya; Wates. Meski ada perbedaan kontur tanah, saya rasa hal tersebut tidak berdampak banyak hal. 

Keduanya selalu indah, memberikan ribuan kehangatan, dan menjamin saya memiliki pemikiran yang lebih segar dari sebelumnya. Kelokan, tanjakan, dan bising truk pengangkut bahan pokok adalah tambahan lain yang membuat rona daerah ini semakin menarik.

Seperti biasa, tujuan saya ke Gunung Kidul adalah untuk menemui rekan sepenanggungan dan sepersedihan. Padahal pada kenyataanya sih, dia yang selalu menanggung kesedihan saya dulu mhehe~

Saya berangkat di waktu yang sangat nanggung kemarin, antara pagi dan siang. Panasnya cukup lumayan, bahkan ketika saya tiba di tempatnya. Saat tiba, saya langsung membuka percakapan. 

Saya sedikit lupa percakapan apa yang saya mulai. Saya hanya ingat disuguhi sego berkat dan bermacam makanan lain. Padahal saat saya menemuinya, saya hanya memberikan sekotak es krim utang rasa dahulu.

Jika ditanya bagaimana rasanya sego berkat, akan saya bilang nikmat. Pandangan yang sangat subjektif. Saya akan menggambarkanya seperti ini; rasa manis khas Yogyakarta, pedasnya ranjau (cabai-red) dan nasi yang pulen seolah mengembalikan energi yang hilang akibat perjalanan. 

Bihun dan bahan lainya juga cukup menyatu dengan rasa awal yang ingin ditonjolkanya. Terlebih jika setelah selesai makan meminum es teh lemon, saya kira itu kenikmatan duniawi yang bisa dirasakan sesaat. Bagi yang penasaran rasa dari sego berkat aslinya seperti apa, saya akan cantumkan petunjuk arahnya disini.

Sego Berkat, dok: Pribadi
Sego Berkat, dok: Pribadi

Selesai menyantap sego berkat, saya berbincang kembali. Mengungkap teori kehidupan yang fana dengan ujung pangkal yang kadang kita arahkan ke konspirasi, hingga mencoba membahas teori marketing Philip Kotler yang ujung pangkalnya pada teori pernikahan. Ada satu pandangan baru yang saya dapat. Begini; jika menikah ada tiga pondasi utama yang harus dipenuhi yaitu sex, money, love.

Pada perbincangan tersebut teman saya mengungkapkan bahwa jika salah satu hal tersebut tidak terpenuhi imbas paling awal adalah kegaduhan rumah tangga dan akhirnya adalah perpisahan. 

Tapi pada perbincangan tersebut, kami meyakini bahwa mental adalah dimensi lain yang perlu diperhatikan saat memutuskan untuk menikah.

Saya tidak mengikuti pembahasanya sampai akhir, sebab mata saya telah tidak bisa diajak bertahan menahan kantuk. Saya pun pamit tidur terlebih dahulu dan menemui ragam bunga tidur hingga kumandang Shubuh berbunyi.

***

Senin (27/12/21) handphone saya berdering beberapa kali. Saya sudah mafhum bahwa itu adalah notifikasi dari kantor. Senin itu memang saya dapat cuti bersama karena ada perayaan Natal di hari Sabtunya. Namun, karena pekerjaan tengah padat akhirnya saya ditawari untuk lembur.

Hal demikian memang acap kali terjadi. Meski pada dasarnya kantor saya sepenuhnya memberlakukan kebijakan Work From Home (WFH) dan menjadikan setiap karyawanya sebagai digital nomad. 

Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan tawaran tersebut. Di samping untuk menambah penghasilan, saya jadikan hal tersebut sebagai pengalaman dan tahu rasanya seperti apa bekerja sambil bermain.

Dua jam setelah saya mengerjakan pekerjaan kantor, saya akhirnya bertolak menuju Gua Ngingrong. Teman saya bercerita bahwa tempat tersebut merupakan salah satu Jalan Geriliya Jenderal Soedirman. Pemandangan di Gua Ngingrong juga cukup meneduhkan mata. 

Kanan kirinya masih hijau oleh pohon dan rumput yang tumbuh liar. Selain itu, jika pandangan kita sedikit cermat maka akan melihat lafadz Allah di dinding sebelah kirinya. 

Di penghujung jalan sebelum menuju bawah Gua, kami berhenti sejenak. Memotret diri dengan beberapa gaya dan berbincang singkat disambi dengan tawa simpul.

Gua Ngingrong, dok: Pribadi
Gua Ngingrong, dok: Pribadi

Tujuan saya selalu memotret diri di tempat yang saya singgahi adalah untuk menyimpan kenangan secara digital. Kenangan-kenangan yang tidak akan lekang oleh waktu dan terkikis oleh zaman. 

Kenangan yang akan selalu membawa saya pada suasana yang sama, sebab saya tidak tahu kapan akan kembali ke situ. Bisa jadi, akan ada banyak hal yang terus berubah. Namun satu yang pasti, kenangan digital tidak akan berganti.

***

Selepas dari Gua Ngingrong, kami menuju ke Kali Suci. Teman saya yang berkata bahwa ini adalah wisata minat khusus. Saya kira, hal tersebut wajar tersemat padanya. Saat menuju ke sungai utama kami harus menapaki tangga menuju ke bawahnya. 

Waktu yang dihabiskan untuk perjalanan tersebut sekitar 10-15 menit. Saat tiba, saya memang langsung tertegun. Bukan karena ada sampah di atas tebing sisa banjir, namun karena pemandanganya yang cukup memukau.

Airnya yang jernih, udaranya yang sejuk, pohon yang rindang serta diselingi oleh beberapa kicauan burung membuat suasana yang tercipta cukup romatis. Raungan para pengunjung lain yang tengah menjajal wahana air juga cukup membuat kami berbagi gelak tawa. Dengan berbagai macam hal tersebut juga, kami setidaknya cukup lama berhenti di Kali Suci.

Kali Suci, dok: Pribadi
Kali Suci, dok: Pribadi
***

Jam tangan saya telah menunjukan pukul 10.00 WIB. Kami akhirnya sepakat untuk kembali ke rumah. Namun, tantangan utama sebelum mencapai rumah adalah naik menuju tempat di mana kami memarkirkan motor. 

Naik dari dasar Kali Suci menuju ke tempat parkir memang membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Sebagai perokok, saya benar-benar merasakan lelahnya jalan menanjak yang diselingi dengan kelokan. Untungnya, hati saya gembira kala itu sehingga perjalanan tidak terasa.

***

Sekembalinya ke rumah teman, handphone saya kembali berdering. Betul, lagi-lagi itu adalah notifikasi dari kantor. Bukan lagi ditanya progress pekerjaan, tapi langsung diberi tenggat waktu terakhir pengumpulan.

Saya rasa, hal tersebut merupakan tanda bahwa harus segera kembali pulang menuju Banjar. Kembali ke kamar saya yang direka-reka agar nyaman bekerja dan bercumbu kembali bersama laptop yang saya juluki sebagai black panther berjam-jam (julukan terinspirasi dari seseorang yang sangat berjasa bagi kehidupan saya).

***

Kepulangan di luar jadwal membuat saya melewatkan banyak hal. Ihwal bertemu seorang teman hingga alfa-nya saya mengunjungi tempat yang cukup bermakna. 

Meski demikian, dalam perjalanan panjang selama 9 jam dari Gunung Kidul menuju Kota Banjar, saya menyempatkan singgah di beberapa titik di Jalan Deandels.

Jalan ini juga adalah faktor lain yang membuat saya tidak akan pernah melewatkan sesi foto di tempat atau kota mana saja yang saya singgahi. 

Jalan yang selalu membuat saya bernyanyi macam-macam hal dan jalan yang selalu membuat patah ribuan kali. Jalan ini juga yang membuat saya berfikir bahwa "Jika tidak bisa kembali saling rindu dalam rasa dan jiwa, setidaknya tetap bisa saling rindu dalam kenangan bukan?"

***

Perjalanan panjang telah saya lalui. Ratusan rekaman kejadian telah saya simpan. Banjar menyambut saya seperti biasa; sederhana, tenang, dan meneduhkan seperti senyumnya di ujung cakrawala.

Banjar, 31 Desember 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun