Dalam kesunyataan tersebut, perspektif-perspektif baru juga bermunculan, perspektif yang tidak saja dapat membantu lembaga ini menjadi lebih baik, namun juga membuka cakrawala keilmuan saya yang dangkal.
Tahun ini, lembaga yang teramat saya cintai ini dipimpin oleh seorang wanita. Saya harap hal tersebut dapat berpengaruh pada banyak hal.Â
Terserah apa saja perubahan tersebut, yang terpenting para pengurus tetap hidup dan dapat menjalani kehidupan. Tetap semangat membuka pandangan baru diantara banyak pemikiran kolot kampus dan berani menikmati indahnya berproses.
***
Sego berkat dan teori kehidupan yang layu
Setelah menghadiri agenda tahunan lembaga yang saya cintai tersebut, saya bertolak menuju Gunung Kidul. Tempat di mana saya menghabiskan waktu menikmati kesedihan kala itu.Â
Menertawakan banyak hal meski tidak ada hal yang lucu, karena selucu-lucunya yang saya lihat, masih lebih lucu apa yang saya lakukan dahulu kala terpuruk.
Bagi saya, Gunung Kidul semenarik tempat favorit lainya; Wates. Meski ada perbedaan kontur tanah, saya rasa hal tersebut tidak berdampak banyak hal.Â
Keduanya selalu indah, memberikan ribuan kehangatan, dan menjamin saya memiliki pemikiran yang lebih segar dari sebelumnya. Kelokan, tanjakan, dan bising truk pengangkut bahan pokok adalah tambahan lain yang membuat rona daerah ini semakin menarik.
Seperti biasa, tujuan saya ke Gunung Kidul adalah untuk menemui rekan sepenanggungan dan sepersedihan. Padahal pada kenyataanya sih, dia yang selalu menanggung kesedihan saya dulu mhehe~
Saya berangkat di waktu yang sangat nanggung kemarin, antara pagi dan siang. Panasnya cukup lumayan, bahkan ketika saya tiba di tempatnya. Saat tiba, saya langsung membuka percakapan.Â
Saya sedikit lupa percakapan apa yang saya mulai. Saya hanya ingat disuguhi sego berkat dan bermacam makanan lain. Padahal saat saya menemuinya, saya hanya memberikan sekotak es krim utang rasa dahulu.