Mohon tunggu...
Budi Wahyuningsih
Budi Wahyuningsih Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia di SMK Negeri 2 Temanggung dan mendapat tugas tambahan sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum

Hobi memasak, membaca novel petualangan dan misteri, traveling, dan bertanam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Ledhek

25 Maret 2024   21:25 Diperbarui: 25 Maret 2024   21:29 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berjuang demi satu kehidupan adalah kewajiban setiap manusia. Walau kadang hidup yang dijalani tak mudah, penuh hambatan dan rintangan. Di saat-saat tertentu, manusia juga dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tak mudah tetapi harus dipilih demi kelangsungan hidupnya sendiri atau orang-orang di sekelilingnya. Tuhan sudah menuliskan takdir manusia di lauful mahfud, apakah manusia kemudian hanya bisa menerima takdir itu atau sebaliknya menuliskan takdirnya  sendiri lewat usahanya?

Sekitar tahun tujuh puluhan di kaki Bukit Pring Gunung tepatnya di Desa Pagersari cerita ini bermula. Desa yang biasanya sunyi senyap, mendadak ramai oleh hingar bingar suara kendang, calung, bonang, gong, dan saron yang mengiringi tarian seorang ledek. Malam itu, rumah Pak Lurah Warso ramai dipadati penduduk Desa Pagersari yang ingin menyaksikan tanggapan ledek. 

Sudah jadi tradisi jika ada warga yang punya hajat seperti menikahkan dan mengkhitankan anaknya maka tari tayub akan dijadikan hiburan mengisi malam hajatan. Seperti malam itu Pak Lurah punya gawe menikahkan anak sulungnya.

Laras tampil malam itu, saat dia berjalan menuju tempat yang telah disediakan untuk pentas, seluruh warga bersorak-sorai. Bunyi suitan dari mulut lelaki bersaut-sautan. Mata lelaki tua muda melotot menyaksikan kecantikan Laras yang malam itu tampak begitu sempurna. Wajah bulat telur dengan dua pasang mata besar berbulu mata lentik, alis bak bulan tanggal satu menghias paras wajahnya. 

Sederet gigi putih kecil mirip biji mentimun tertata rapi. Seulas senyum selalu terkulum dari bibir tipis kemerahan yang  habis mengunyah pinang.  Sanggul tinggi memamerkan lehernya yang jenjang, dada terbusung oleh kemben yang erat menyencang perut hingga dadanya. Selembar jarit bermotif rejeng membungkus rapi bagian bawah tubuhnya hingga pantatnya yang padat berisi tampak menonjol ke belakang. Seulas sampur merah bermote emas terkalung di lehernya. Pundak kuning langsatnya berkilau tertimpa cahaya pertomaks.

Beberapa laki-laki mendekat ke arah Laras untuk menari bersama. Dengan cekatan tangan para laki-laki itu merogoh saku celananya dan menyisipkan selembar uang ribuan ke dada Laras yang terbusung penuh. Laras tersenyum manja menggoda sambil mengerlingkan matanya. Para laki-laki itu tersenyum puas karena telah memberi uang sawer pada ledek primadona kampung.

Laras menganggap pekerjaannya halal, toh dia tidak bersetubuh dengan mereka, tidak berzina dengan mereka. Wajar saja jika mereka sekedar mencolek pantat atau meraba nakal dadanya. Tapi satu yang  dia tidak pernah sudi, tidur dengan lelaki kambing congek macam mereka.

        "Berapa uang yang kau dapat malam ini, Ning?" tanya Mbok Randu ibu Laras

         "Lumayan Mbok, dapat dua ratus sawerannya, yang dari Pak Lurah seribu. Jadi malam ini aku dapat uang seribu dua ratus," terangnya.

         "Sudah sana istirahat, anakmu sudah tidur semua, besok kamu harus mencari kayu di hutan. Persediaan kayu kita sudah menipis, kalau hujan kita tidak bisa masak, kasihan Putra dan Rizki".

Laras mengiyakan sambil merebahkan tubuhnya di dipan bambu beralas galar. Matanya menerawang, pikirannya melayang ke satu tahun yang lalu saat Parmo masih ada di sisinya. Lelaki kurus yang jadi sandaran hidupnya, yang pada dirinya ditumpahkan segala perasaan cinta, kasih sayang, pengabdian yang tulus, juga kesetiaan. Beban hidup yang berat dan himpitan ekonomi memaksa Parmo meninggalkan istri dan anaknya untuk merantau ke luar Jawa. Sekian tahun berlalu, lelaki itu tak pernah kembali.

             "Andai kamu tidak pergi tentu aku tidak harus dijamah tangan-tangan liar laki-laki hidung belang itu" .... gumam Laras pilu.

             "Tapi aku tak bisa apa-apa yang aku bisa hanya menari. Sebetulnya aku tak mau menjual tubuh dan wajahku, hanya Kang Parmo yang berhak atas tubuh dan hatiku. Mereka hanya bisa menikmati bagian luar diriku tapi tidak hatiku. Maafkan aku Kang....," buliran air bening menetes di pipi yang kemerahan. Lelah atas penderitaan hidupnya Laras pun tertidur.

Pagi hari Laras dikejutkan oleh keadaan anak bungsunya Rizki, badannya panas sekali. Matanya terpejam tak berkata apa-apa. Wajah anak perempuan berumur lima tahun itu pucat pasi. Laras gugup dan bingung, tak tahu harus bagaimana.

                "Mbok,  Rizki sakit, badannya panas. Kalau di bawa ke Mbah Kromo sepertinya tidak akan sembuh. Apa yang harus aku lakukan Mbok. Apa minta tolong Pak Lurah untuk mengantar ke puskesmas? Saya takut terjadi apa-apa pada Rizki," suaranya parau penuh kekhawatiran.

              "Iya Nduk, ayo digendong dibawa ke kecamatan saja. Kasihan dia, mukanya pucat sekali," Mbok Randu mengiyakan.

 Puskesmas yang letaknya 30 km dari desanya, dicapai dengan kurun waktu 1 jam karena jalan yang dilalui sempit dan berkelak-kelok. Daihatsu tua milik juragan Bawor terseok-seok berjalan ke arah Karanganom ibu kota kecamatan. Sesampainya di sana Rizki langsung ditangani seorang mantri, dokter puskesmas belum ada karena pengganti dokter yang lama belum datang.

                "Bu... anak ibu tampaknya terkena tipus, harus dirujuk ke rumah sakit. Kalau dibiarkan saja sakitnya akan tambah parah," saran mantri puskesmas.

                "Iya Pak," Laras berkata gugup.

                "Silakan ini rujukannya," kata Pak Mantri itu penuh perhatian.

Sekitar setengah jam Laras dan rombongannya sampai di rumah sakit kota. Setelah mengurusi administrasi Rizki dimasukkan di bangsal anak. Dengan kesabaran seorang ibu,  ditunggui anak perempuannya tercinta itu.

 Dadanya menjadi sesak ketika ingat suaminya tidak ada saat anaknya sakit. Perempuan paling takut jika anaknya sakit, apalagi harus masuk rumah sakit. Takut anaknya mati, takut tidak bisa membayar ongkos rumah sakit, takut dan ketakutan yang lain yang mungkin bagi sebagian orang hal seperti itu tidak perlu.

Rizki sudah membaik, besok dia diperbolehkan pulang. Ongkos rumah sakit yang harus ditanggung Laras sebanyak tiga ratus ribu rupiah. Ketakutan yang kemarin hadir di pikirannya kini menjadi sebuah kenyataan. Uang sebesar itu ke mana dia harus mencari. Di tengah kegalauan dia putuskan untuk meminta pertolongan Juragan Bawor, orang paling kaya di kampungnya.

                "Tak perlu kau pinjam uang Ras, aku sanggup kalau hanya membayar sebesar itu. Apalagi demi anakmu," ungkap Juragan Bawor.

                "Terima kasih atas pengertian juragan, tatapi saya tidak mau menerima uang itu seta merta. Saya pinjam, besok kalau ada rejeki akan saya lunasi," sahut Laras.

                "Uang segitu tidak sedikit lho Ras, kamu butuh berapa kali tanggapan untuk mengumpulkan uang sebanyak itu. Bukannya aku menghina tapi uang hasil tanggapan dan saweran sekali pentas paling berapa rupiah? Sampai peyot kamu nggak bakalan bisa ngembalikan," kata Juragan Bawor remeh.

Laras terdiam sambil meremas ujung kain kebayanya. Pikirannya kalut, siapa lagi yang bisa menolongnya. Ah..aku salah datang ke tempat ini. Harga dirinya tercabik. Tapi, perempuan seperti dirinya apakah masih perlu harga diri. Bukankah harga dirinya sudah lenyap? Setiap kali dia pentas bukankah  ladang maksiat yang sedang dia gelar. Laras tergugu dalam keragu-raguan. Dipaksakan kalimat bernada menantang keluar dari mulutnya.

                "Kalau begitu apa mau Juragan Bawor? Saya ke tempat ini mau minta pertolongan buka minta dihina," tantang Laras dengan mata berapi-api.

                "Tenang Cah Ayu ..., tidak usah marah. He...he... tapi kamu tambah cantik kalau marah seperti itu. Kaya Srikandi sing arep nantang gelut musuhe, ha....ha...malah membuat saya semakin gemes lho Ras..." ejek Juragan Bawor.

Mulutnya yang terkekeh seperti serigala lapar yang menyeringai menanti buruannya untuk segera dimangsa. Laras bergidik.

                "Ras ... gampang saja. Sudah lama aku ingin menjadikanmu isteri kelimaku. Sayang aku terlalu sibuk dengan urusan penggilingan padi dan kopiku. Aku jadi tak punya waktu untuk melamarmu. Sekarang, engkau datang sendiri ke rumahku. Ibarat ................

                "Kamu penuhi saja keinginanku dan semua masalahmu beres. Bagaimana Ras, setuju dengan pendapatku ta?"

               "Maaf Juragan, status saya saat ini masih isteri Kang Parmo meski sudah bertahun-tahun dia tak pernah memberi khabar. Saya masih menunggunya, saya masih mencintainya.

             "Halah apa yang bisa diharap dari lelaki macam Parmo, sudah pungkring kere lagi"

              "Aku bisa memenuhi semua kebutuhanmu lahir dan batin, nggak usah mikir lama-lama ambil seratus ribu ini, anggap saja sebagai uang muka mas kawin"

Raras semakin terpojok, harga dirinya sudah benar-benar habis ibarat kertas yang terbakar dan terbang terbawa angin. Pertahanan dirinya runtuh,  dia semakin tidak berdaya dengan perkataan Juragan Bawor yang begitu provokatif.

Juragan Bawor mengulurkan tangannya menuntun Raras keluar dari ruang tamu. Raras tidak bisa menolak. Otaknya sudah tidak sanggup berpikir. Seperti kambing congek dia biarkan lelaki itu membawanya pergi entah ke mana. Keputusan yang diambilnya mungkin salah, tapi demi uang sebesar seratus ribu rupiah tubuhnya dihalalkan bagi lelaki brengsek macam Juragan Bawor. Kesetiaan yang selalu dijaga untuk suaminya runtuh.  Ah.... uang telah membeli harga diri dan kesetiaan Laras. Laras terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit, digenggamnya uang seratus ribu itu erat-erat.

Berjuang demi satu kehidupan adalah kewajiban setiap manusia. Walau kadang hidup yang dijalani tak mudah, penuh hambatan dan rintangan. Di saat-saat tertentu, manusia juga dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tak mudah tetapi harus dipilih demi kelangsungan hidupnya sendiri atau orang-orang di sekelilingnya. Tuhan sudah menuliskan takdir manusia di lauful mahfud, apakah manusia kemudian hanya bisa menerima takdir itu atau sebaliknya menuliskan takdirnya  sendiri lewat usahanya?

Sekitar tahun tujuh puluhan di kaki Bukit Pring Gunung tepatnya di Desa Pagersari cerita ini bermula. Desa yang biasanya sunyi senyap, mendadak ramai oleh hingar bingar suara kendang, calung, bonang, gong, dan saron yang mengiringi tarian seorang ledek. Malam itu, rumah Pak Lurah Warso ramai dipadati penduduk Desa Pagersari yang ingin menyaksikan tanggapan ledek. Sudah jadi tradisi jika ada warga yang punya hajat seperti menikahkan dan mengkhitankan anaknya maka tari tayub akan dijadikan hiburan mengisi malam hajatan. Seperti malam itu Pak Lurah punya gawe menikahkan anak sulungnya.

 Laras tampil malam itu, saat dia berjalan menuju tempat yang telah disediakan untuk pentas, seluruh warga bersorak-sorai. Bunyi suitan dari mulut lelaki bersaut-sautan. Mata lelaki tua muda melotot menyaksikan kecantikan Laras yang malam itu tampak begitu sempurna. Wajah bulat telur dengan dua pasang mata besar berbulu mata lentik, alis bak bulan tanggal satu menghias paras wajahnya. Sederet gigi putih kecil mirip biji mentimun tertata rapi. Seulas senyum selalu terkulum dari bibir tipis kemerahan yang  habis mengunyah pinang.  Sanggul tinggi memamerkan lehernya yang jenjang, dada terbusung oleh kemben yang erat menyencang perut hingga dadanya. Selembar jarit bermotif rejeng membungkus rapi bagian bawah tubuhnya hingga pantatnya yang padat berisi tampak menonjol ke belakang. Seulas sampur merah bermote emas terkalung di lehernya. Pundak kuning langsatnya berkilau tertimpa cahaya pertomaks.

 Beberapa laki-laki mendekat ke arah Laras untuk menari bersama. Dengan cekatan tangan para laki-laki itu merogoh saku celananya dan menyisipkan selembar uang ribuan ke dada Laras yang terbusung penuh. Laras tersenyum manja menggoda sambil mengerlingkan matanya. Para laki-laki itu tersenyum puas karena telah memberi uang sawer pada ledek primadona kampung.

Laras menganggap pekerjaannya halal, toh dia tidak bersetubuh dengan mereka, tidak berzina dengan mereka. Wajar saja jika mereka sekedar mencolek pantat atau meraba nakal dadanya. Tapi satu yang  dia tidak pernah sudi, tidur dengan lelaki kambing congek macam mereka.

           "Berapa uang yang kau dapat malam ini, Ning?" tanya Mbok Randu ibu Laras

           "Lumayan Mbok, dapat dua ratus sawerannya, yang dari Pak Lurah seribu. Jadi malam ini aku dapat uang seribu dua ratus," terangnya.

            "Sudah sana istirahat, anakmu sudah tidur semua, besok kamu harus mencari kayu di hutan. Persediaan kayu kita sudah menipis, kalau hujan kita tidak bisa masak, kasihan Putra dan Rizki".

 Laras mengiyakan sambil merebahkan tubuhnya di dipan bambu beralas galar. Matanya menerawang, pikirannya melayang ke satu tahun yang lalu saat Parmo masih ada di sisinya. Lelaki kurus yang jadi sandaran hidupnya, yang pada dirinya ditumpahkan segala perasaan cinta, kasih sayang, pengabdian yang tulus, juga kesetiaan. Beban hidup yang berat dan himpitan ekonomi memaksa Parmo meninggalkan istri dan anaknya untuk merantau ke luar Jawa. Sekian tahun berlalu, lelaki itu tak pernah kembali.

               "Andai kamu tidak pergi tentu aku tidak harus dijamah tangan-tangan liar laki-laki hidung belang itu" .... gumam Laras pilu.

                "Tapi aku tak bisa apa-apa yang aku bisa hanya menari. Sebetulnya aku tak mau menjual tubuh dan wajahku, hanya Kang Parmo yang berhak atas tubuh dan hatiku. Mereka hanya bisa menikmati bagian luar diriku tapi tidak hatiku. Maafkan aku Kang....," buliran air bening menetes di pipi yang kemerahan. Lelah atas penderitaan hidupnya Laras pun tertidur.

Pagi hari Laras dikejutkan oleh keadaan anak bungsunya Rizki, badannya panas sekali. Matanya terpejam tak berkata apa-apa. Wajah anak perempuan berumur lima tahun itu pucat pasi. Laras gugup dan bingung, tak tahu harus bagaimana.

                "Mbok,  Rizki sakit, badannya panas. Kalau di bawa ke Mbah Kromo sepertinya tidak akan sembuh. Apa yang harus aku lakukan Mbok. Apa minta tolong Pak Lurah untuk mengantar ke puskesmas? Saya takut terjadi apa-apa pada Rizki," suaranya parau penuh kekhawatiran.

                "Iya Nduk, ayo digendong dibawa ke kecamatan saja. Kasihan dia, mukanya pucat sekali," Mbok Randu mengiyakan.

Puskesmas yang letaknya 30 km dari desanya, dicapai dengan kurun waktu 1 jam karena jalan yang dilalui sempit dan berkelak-kelok. Daihatsu tua milik juragan Bawor terseok-seok berjalan ke arah Karanganom ibu kota kecamatan. Sesampainya di sana Rizki langsung ditangani seorang mantri, dokter puskesmas belum ada karena pengganti dokter yang lama belum datang.

                "Bu... anak Ibu tampaknya terkena tipus, harus dirujuk ke rumah sakit. Kalau dibiarkan saja sakitnya akan tambah parah," saran mantri puskesmas.

                "Iya Pak," Laras berkata gugup.

                "Silakan ini rujukannya," kata Pak Mantri itu penuh perhatian.

Sekitar setengah jam Laras dan rombongannya sampai di rumah sakit kota. Setelah mengurusi administrasi Rizki dimasukkan di bangsal anak. Dengan kesabaran seorang ibu,  ditunggui anak perempuannya tercinta itu.

Dadanya menjadi sesak ketika ingat suaminya tidak ada saat anaknya sakit. Perempuan paling takut jika anaknya sakit, apalagi harus masuk rumah sakit. Takut anaknya mati, takut tidak bisa membayar ongkos rumah sakit, takut dan ketakutan yang lain yang mungkin bagi sebagian orang hal seperti itu tidak perlu.

Rizki sudah membaik, besok dia diperbolehkan pulang. Ongkos rumah sakit yang harus ditanggung Laras sebanyak seratus ribu rupiah. Ketakutan yang kemarin hadir di pikirannya kini menjadi sebuah kenyataan. Uang sebesar itu ke mana dia harus mencari. Di tengah kegalauan dia putuskan untuk meminta pertolongan Juragan Bawor, orang paling kaya di kampungnya.

                "Tak perlu kau pinjam uang Ras, aku sanggup kalau hanya membayar sebesar itu. Apalagi demi anakmu," ungkap Juragan Bawor.

                "Terima kasih atas pengertian juragan, tatapi saya tidak mau menerima uang itu seta merta. Saya pinjam, besok kalau ada rejeki akan saya lunasi," sahut Laras.

                "Uang segitu tidak sedikit lho Ras, kamu butuh berapa kali tanggapan untuk mengumpulkan uang sebanyak itu. Bukannya aku menghina tapi uang hasil tanggapan dan saweran sekali pentas paling berapa rupiah? Sampai peyot kamu nggak bakalan bisa ngembalikan," kata Juragan Bawor remeh.

Laras terdiam sambil meremas ujung kain kebayanya. Pikirannya kalut, siapa lagi yang bisa menolongnya. Ah..aku salah datang ke tempat ini. Harga dirinya tercabik. Tapi, perempuan seperti dirinya apakah masih perlu harga diri. Bukankah harga dirinya sudah lenyap? Setiap kali dia pentas bukankah  ladang maksiat yang sedang dia gelar. Laras tergugu dalam keragu-raguan. Dipaksakan kalimat bernada menantang keluar dari mulutnya.

                "Kalau begitu apa mau Juragan Bawor? Saya ke tempat ini mau minta pertolongan buka minta dihina," tantang Laras dengan mata berapi-api.

                "Tenang Cah Ayu ..., tidak usah marah. He...he... tapi kamu tambah cantik kalau marah seperti itu. Kaya Srikandi sing arep nantang gelut musuhe, ha....ha...malah membuat saya semakin gemes lho Ras..." ejek Juragan Bawor. Mulutnya yang terkekeh seperti serigala lapar yang menyeringai menanti buruannya untuk segera dimangsa. Laras bergidik.

                "Ras ... gampang saja. Sudah lama aku ingin menjadikanmu isteri kelimaku. Sayang aku terlalu sibuk dengan urusan penggilingan padi dan kopiku. Aku jadi tak punya waktu untuk melamarmu. Sekarang, engkau datang sendiri ke rumahku. Ibarat ................

               "Kamu penuhi saja keinginanku dan semua masalahmu beres. Bagaimana Ras, setuju dengan pendapatku ta?"

               "Maaf Juragan, status saya saat ini masih isteri Kang Parmo meski sudah bertahun-tahun dia tak pernah memberi khabar. Saya masih menunggunya, saya masih mencintainya.

               "Halah apa yang bisa diharap dari lelaki macam Parmo, sudah pungkring kere lagi"

                "Aku bisa memenuhi semua kebutuhanmu lahir dan batin, nggak usah mikir lama-lama ambil seratus ribu ini, anggap saja sebagai uang muka mas kawin"

Raras semakin terpojok, harga dirinya sudah benar-benar habis seperti kertas yang terbakar dan terbang terbawa angin. Pertahanan dirinya runtuh,  dia semakin tidak berdaya dengan perkataan Juragan Bawor yang begitu provokatif.

Juragan Bawor mengulurkan tangannya menuntun Raras keluar dari ruang tamu. Raras tidak bisa menolak. Otaknya sudah tidak sanggup berpikir. Seperti kambing congek dia biarkan lelaki itu membawanya pergi entah ke mana. Keputusan yang diambilnya mungkin salah, tapi demi uang sebesar seratus  ribu rupiah tubuhnya dihalalkan bagi lelaki brengsek macam Juragan Bawor. 

Kesetiaan yang selalu dijaga untuk suaminya runtuh.  Ah.... uang telah membeli harga diri dan kesetiaan Laras. Laras terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit, digenggamnya uang seratus ribu itu erat-erat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun