Rendahnya Literasi Sastra Remaja Indonesia
Ketika remaja disodorkan bacaan sastra macam "Azab dan Sengsara", "Binasa karena Gadis Priangan", "Cinta dan Hawa Nafsu" karya Merari Siregar, "Siti Nurbaya", Â "La Hami", "Anak dan Kemenakan" karya Marah Roesli, "Tanah Air", "Indonesia, Tumpah Darahku", "Kalau Dewi Tara Sudah Berkata", "Ken Arok dan Ken Dedes" karya Muhammad Yamin, "Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan", "Cinta yang Membawa Maut", "Salah Pilih", karya Nur Sutan Iskandar tidak butuh lama bagi mereka untuk segera menutupnya. Banyak alasan yang disampaikan mulai dari bahasa yang sulit dipahami, setting cerita yang tidak akrab dengan kehidupan remaja saat ini, dan alasan lain yang pada intinya mengarah pada ketidaktertarikkan mereka pada bacaan tersebut.
Bisa dimaklumi jika mereka enggan bahkan menolak bacaan tersebut karena saat ini begitu banyak ragam bacaan yang lebih menarik, lebih mudah dibaca, dan lebih dekat dengan kehidupan remaja.Â
Saat ini, bacaan berplatform digital bertebaran di internet seperti NovelToon, Dreame, Innovel, NovelMe, Wattpad, Goodreads, Google Play Books, dan sejenisnya. Berbekal android yang rata-rata dimiliki para remaja, karya di platform ini tentu lebih menarik daripada bacaan konvensional.
Tidak hendak membandingkan dengan negara lain yang telah melek literasi, terbukti bahwa tingkat membaca sastra kita masih di bawah standar. Lembaga Survei Indonesia (LSI), Â menyatakan bahwa jumlah pembaca sastra di Indonesia hanya 6,2 persen.Â
Survei ini dilakukan kepada 1.200 responden dengan populasi publik di atas 17 tahun. Jika tingkat baca sastra orang dewasa saja angkanya hanya sebesar itu bisa diduga tingkat baca satra para remaja kita  tidak jauh dari angka tersebut, bisa jadi lebih rendah.
Masa remaja memiliki rentang usia antara 12 -- 21 tahun (Monks, 1992 dalam Saputra, 2008). Menurut WHO, yang disebut remaja adalah mereka yang berada pada tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa.Â
Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut Menteri Kesehatan RI tahun 2010, batas usia remaja adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin.
Dengan demikian, remaja dalam hal ini adalah mereka yang masih berusia direntang 12-24 tahun dan belum menikah. Dari batasan usia tersebut, sebagian besar remaja Indonesia masih berada di usia sekolah (SMP, SMA, dan Pergururan Tinggi). Â Membumikan sastra pada usia ini tentunya akan lebih mudah jika dilakukan di lembaga sekolah karena dilakukan secara sistematis dan terencana.Â
Pada usia-usia tersebut, anak-anak sudah dapat membaca dan memahami bacaan serta mengenal bacaan yang beragam. Dengan demikian, sekolah perlu membuat program yang mampu mengoptimalkan semua sumber daya sehingga warga sekolah mempunyai ketertarikan dalam membaca sastra.
Gerakan Literasi Sekolah sebagai Upaya Mengenalkan Sastra pada Remaja
Sebenarnya pemerintah sudah mempunyai sebuah program literasi yang sangat bagus yaitu Gerakan Literasi Sekolah, hanya saja pelaksanaan di sekolah masih jauh panggang dari api.Â
Kepala sekolah, guru, pengelola perpustakaan, dan pemangku kepentingan harus mempunyai perhatian terhadap peningkatan membaca peserta didik terutama bacaan sastra. Merekalah yang harus membangun sistem dan membuat regulasi terkait  literasi di sekolah agar dapat berjalan baik.Â
Guru Bahasa Indonesia terutama harus mampu menjadi ujung tombak, menggerakkan semua komponen agar gerakan literasi tidak hanya jadi slogan semata. Pembelajaran sastra harus diberi ruang lebih dengan mengoptimalkan bahan bacaan berbasis sastra dan alokasi waktu yang tersedia.Â
Guru juga harus mampu merencanakan pembelajaran disertai penggunaan media dan metode pembelajaran yang tepat. Dengan demikian, peserta didik dipaksa untuk mengenal, memahami, dan merasakan manfaat sastra sejak dini.
Sebagai gambaran pelaksanaan gerakan literasi di sekolah kami adalah dengan memprogramkan 15 menit membaca buku fiksi yang diarahkan pada buku sastra. Setiap Jumat minggu ke-3, selama 1 jam (60 menit) Â setiap siswa meminjam buku di perpustakaan. Setiap perwakilan kelas mengambil troli berisi buku bacaan fiksi dan sastra untuk dibawa ke kelas dan dibaca oleh semua peserta didik di kelas tersebut.Â
Setelah selesai membaca, siswa mengisi jurnal membaca buku yang berisi nama, kelas, judul buku yang dibaca, halaman terakhir yang dibaca. Setelah menyelesaikan satu buku, siswa membuat laporan membaca buku yang selanjutnya diserahkan kepada guru Bahasa Indonesia untuk dinilai dan direview oleh guru tersebut. Koleksi buku di troli akan diputar atau ditukar dengan troli dari kelas lain setiap sebulan sekali agar peserta didik membaca lebih banyak/beragam buku.Â
Program literasi yang lain adalah mengumpulkan karya peserta didik dalam bentuk portofolio seperti puisi, cerpen, karikatur, pantun, poster, dan sejenisnya. Karya siswa yang layak untuk diterbitkan akan dibukukan menjadi kumpulan puisi, kumpulan cerpen, novelet, kumpulan pantun, dan sejenisnya. Format digital juga bisa dipilih untuk memajang karya peserta didik berupa website sekolah atau blog kelas.
Program ini berdampak signifikan terhadap minat siswa berkunjung dan meminjam buku (fiksi) di perpustakaan. Dari data perpustakaan, diketahui kenaikan pengunjung dan peminjam buku di perpustakaan mencapai hampir 70%. Siswa menjadi lebih senang membaca karena mendapat rangsangan bahan bacaan yang menarik dan bermanfaat bagi mereka.Â
Oleh karena itu, bahan bacaan menjadi sangat penting untuk disediakan. Namun, sayang tidak semua sekolah memiliki dana yang cukup untuk menyediakan bahan bacaan yang bermutu dan bermanfaat bagi peserta didik.
Bahan bacaan digital bisa jadi solusi yang bijak untuk mengatasi masalah keterbatasan bacaan sastra. Library digital atau perpustakaan digital menjadi kebutuhan yang tak bisa dinafikkan lagi, apalagi di masa pendemi covid seperti sekarang ini.Â
Kemudahan akses internet dan seringnya peserta didik (baca: remaja) menggunakan gawai dalam aktivitas keseharian mereka, platform sastra digital harus mulai digiatkan mulai sekarang. Mendekatkan peserta didik kepada sastra akan lebih mudah jika sastra menjadi bagian dan gaya hidup mereka.Â
Sayangnya, platform bacaan digital yang tersedia belum mampu membawa pesan sastra kepada mereka. Membumikan sastra pada remaja milenial tentunya dengan mengemas sastra ke dalam bentuk baru yang dapat mengena jiwa mereka.
Peran Guru dalam Membumikan Sastra pada Remaja
Selain pengemasan bahan bacaan sastra yang menarik dan bergaya milenial, pembelajaran sastra di sekolah merupakan unsur yang dominan dalam membumikan sastra pada remaja.Â
Dalam hal ini, lagi-lagi guru (baca: guru Bahasa Indonesia) punya peran yang strategis. Namun, di masa pendemi covid saat ini mampukah pembelajaran sastra di sekolah menjadi sarana untuk membumikan sastra pada peserta didiknya? Semua itu bergantung pada bagaimana guru mengelola pembelajarannya sehingga pembelajaran sastra menjadi bermakna tidak sekadar menyelesaikan tuntutan kurikulum belaka.
 Pembelajaran sastra bukanlah pembelajaran pengetahuan sastra atau tentang sastra tetapi pembelajaran kompetensi literasi bersastra. Untuk itu, peserta didik membutuhkan modal dasar yaitu kemampuan membaca. Penyediaan bahan baca yang menarik dan pembiasaan peserta didik membaca buku akan mendorong peserta didik senang membaca dan mencintai buku.Â
Setelah mau membaca, peserta didik diajak untuk memahami apa yang dibacanya (karya sastra), menghayati makna karya sastra dengan berperilaku sebagaimana mestinya, berusaha untuk mengkritisi katya sastra yang dibaca, memaknai karya sastra yang dibaca, memberikan penilaian terhadap karyan sastra, mampu mengambil manfaat dari sastra, dan menghargai karya sastra tersebut. Dengan demikian, pembelajaran sastra menjadi bermakna karena mampu memberi dampak atau pengaruh bagi peserta didik.
Guru dapat memanfaatkan internet yang menyediakan beraneka ragam bahan digital. Keanekaragaman bahan ajar di internet tersebut merupakan multimodal dalam membantu guru memelajarkan sastra pada peserta didiknya.Â
Pemanfaatan multimodal ini perlu disikapi dengan cara selektif dan kritis agar multimodal tadi tidak menjadi bumerang bagi guru. Pandai-pandailah menyeleksi bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik peserta didik, perhatikan faktor usia, tingkat keterbacaan, faktor sosial, ekonomi, sosial, dan budaya.Â
Selain selektif, guru juga harus mampu mengkritisi apakah bahan ajar tersebut benar, tidak bertentangan dengan norma hukum, sosial, moral, atau agama. Apakah digunakan idiom tabu kedaerahan atau tidak?Â
Ridwan (2016) menyatakan yang dimaksud dengan idiom adalah bahasa dan dialek yang khas menandai suatu bangsa/daerah, suku, kelompok, dan lain-lain, sedangkan tabu adalah sesuatu yang terlarang atau dianggap suci, tidak boleh diraba dan sebagai (pantangan atau larangan). Idiom tabu adalah suatu bahasa atau dialek yang khas dimiliki oleh suatu daerah dan dianggap suci/baik serta tidak boleh dipermainkan. Â Akibat sesaat yang ditimbulkan oleh penyebutan idiom-idiom tabu kedaerahan adalah rasa risih, jijik, atau kesan tidak sopan.
Hal yang tidak kalah penting dalam upaya membumikan sastra pada peserta didik adalah membimbing peserta didik dalam hal: 1) mengakses karya sastra berupa puisi, drama, cerpen, novel, pantun, dan sejenisnya yang bagus, menyenangkan, dan bermanfaat bagi peserta didik; 2) bagaimana membuat parafrase pusi, sinopsis, analisis tema, amanat, puisi atau prosa; 3) bagaimana memberikan tanggapan atau komentar yang kritis terhadap suatu karya sastra.
 Kreativitas guru diperlukan dalam pembelajaran sastra agar pembelajaran tidak monoton. Pemberian tugas yang variatif dan menantang dapat mendorong siswa untuk kreatif sekaligus mengerjakannya dengan senang hati.Â
Beberapa tugas yang dapat diberikan di anataranya adalah: menonton pertunjukkan atau pentas siswa kemudian memberikan tanggapan, menulis laporan atau pendapatnya tentang karya sastra yang diapresiasi, membuat kliping puisi atau cerpen, menemukan kata-kata sulit pada teks sastra, memberi komentar terhadap puisi atau cerpen, mengubah puisi menjadi lagu, mengubah cerpen menjadi drama, mengubah puisi menjadi cerpen, menulis cerpen berdasar karikatur, dan sebagainya.Â
Pengumpulan tugas dengan media sosial bisa juga dilakukan seperti video pembacaan puisi melalui youtube, puisi melalui Instagram, cetpen melalui blog, dan sebagainya. Hasil penilaian juga dapat disajikan secara kreatif misalnya melalui pemberian like seperti pada media sosial Facebook, melalui surat elektronik, pesan whatsapp, dan sebagainya.
Hal terakhir dari pembelajaran sastra adalah evaluasi atau penilaian. Penilaian pembelajaran sastra harus mencakup tiga ranah yaitu ranah kognitif, afekstif, dan psikomotorik. Ranah kognitif mengutamakan pengetahuan dan kemampuan bernalar, dapat diukur menggunakan tes tertulis atau lisan berupa soal pilihan ganda atau soal uraian.Â
Ranah afektif mengutamakan unsur perasaan atau emosional misalnya melakukan pengamatan saat siswa membacakan puisi, atau saat mengerjakan tugas di kelas. Ranah psikomotorik mengutamakan kemampuan siswa dalam menyelesaikan tugas misalnya hasil menulis puisi atau cerpen, laporan membaca cerpen, membuat musikalisasi puisi, dan sebagainya.
Sebagai penutup, banyak upaya yang dapat dilakukan dalam rangka membumikan sastra pada remaja. Berhasil atau tidaknya bergantung pada peran kita sebagai orang dewasa dalam membimbing dan mengarahkan mereka sehingga mereka mampu membaca, memahami, menghayati, mengkritisi, memaknai, memberikan penilaian, mengambil manfaat, dan menghargai sastra dalam kehidupan mereka sehari-hari. Â Â
Daftar Pustaka
Fazli , Achmad Zulfikar. Survei: Pembaca Sastra Indonesia Hanya 6,2%. medcomid. https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/PNgJ8ZRK-survei-pembaca-sastra-indonesia-hanya-6-2, diunduh tanggal 14 september 2020
Ridwan, Muhammad Mahfud. Kritik Atas Kurikulum dan Buku Ajar Bahasa Arab SD/MI Kelas VI. Jurnal TA'ALLUM, Vol. 04, No. 01, Juni 2016 https://media.neliti.com/media/publications/68138-ID-kritik-atas-kurikulum-dan-buku-ajar-baha.pdf. Diunduh 14 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H