Desa Wonodadi digegerkan dengan desas-desus adanya Pasat Tuyul di tengah hutan di pinggir desa. Masyarakat tak henti memperbincangkan Pasar Tuyul tersebut. Makin hari rumornya makin seru karena penuh bumbu.
"Eh, Kang Narto, benarkah kabar tentang Pasar Tuyul yang di tengah hutan?" tanya Yu Marni, pemilik warteg yang laris manis kepada salah seorang pelanggan.
"Katanya, sih begitu; tapi benar atau tidaknya, aku gak ngerti," sahut yang ditanya sambil mengunyah pisang goreng.
"Apa Yu Marni tertarik untuk pelihara tuyul? Jualannya 'kan sudah laris manis, apa masih kurang kaya?" celetuk seorang pelanggan bernama Mas Parjo sembari menunjukkan jarinya ke kalung emas dan gelang keroncong yang dikenakan Yu Marni
Tampak Yu Marni agak tersipu dan mencoba menjelaskan.
"Ora, Mas, aku cuma penasaran mendengar desas-desus ini." Yu Marni menjawab sembari menghidangkan singkong rebus, jagung rebus, bakwan jagung, dan aneka gorengan di piring sajian. "Semua kekayaanku ini aku peroleh dengan cara halal. Enak bener kalau bisa kaya raya tanpa kerja keras seperti yang aku jalani."
"Jangan iri, Yu. Itu semua cara musyrik yang dibenci oleh Tuhan; dan konon tuyul akan minta disusui setiap hari dari payudara perempuan.
"Heh ...minta disusui?" Yu Marni tersentak kaget.
Mas Parjo yang dari semula menyimak perbincangan, menambahkan komentar yang membuat obrolan makin panas.
"Ada yang bilang kalau lurah kita, Pak Prawiro, itu memelihara tuyul. Makin hari dia makin kaya. Coba pikir, gaji lurah itu berapa, tapi mengapa dia dapat membangun rumah semegah istana, dan katanya, dia pun punya saham di tambang timah!"