Mohon tunggu...
Budi Sutrisno
Budi Sutrisno Mohon Tunggu... Guru - Guru, Best Writer 2023, pemenang berbagai lomba menulis

Saya seorang guru di Jakarta. Memiliki hobi membaca dan menulis. Beberapa tulisan saya berupa puisi, cerpen, dan artikel telah memenangi sejumlah lomba menulis tingkat nasional.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyiangi Lahan Korupsi: Strategi Pemerintah Daerah dalam Menggugurkan Benih-Benih Kecurangan

1 Agustus 2024   09:31 Diperbarui: 1 Agustus 2024   09:32 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Antara

Fakta menunjukkan bahwa korupsi telah terjadi di setiap sektor kehidupan. Mulai dari jumlah kecil sampai dengan triliunan. Mulai dari cara yang kasar sampai dengan modus yang canggih. Tak pelak, timbul narasi bahwa korupsi sudah merupakan bagian dari budaya bangsa. Korupsi juga dinyatakan sebagai tindak kejahatan luar biasa.

Sebab musabab                                                                                          

Seperti upaya mencegah dan mengobati penyakit, kita perlu melakukan diagnosis, mencari tahu apa yang menjadi sebab musabab terjadinya korupsi. Dengan demikian, kita dapat mengupayakan cara yang efektif dan efisien untuk mendapatkan solusinya.

Para ahli mengemukakan sejumlah teori mengenai sebab musabab terjadinya korupsi.Teori ekonomi politik menganggap  bahwa sistem ekonomi politik yang tidak seimbang yang menyebabkan terjadinya korupsi. Hal ini memicu individu atau kelompok tertentu menggunakan kekuasaan politik untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Teori kebudayaan menggarisbawahi peranan nilai-nilai sosial dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma-norma sosial yang toleran terhadap korupsi dan kurangnya nilai-nilai kejujuran dalam budaya tertentu, menjadi penyebab terjadinya korupsi.

Sedangkan teori institusional memandang lemahnya lembaga negara dan sistem hukum  dalam mencegah korupsi dan menindak pelakunya, menjadi faktor penyebab terjadinya korupsi.

Pihak pendukung teori psikologi sosial menganggap korupsi sebagai perilaku yang dipengaruhi oleh faktor psikologis individu, seperti keserakahan, kebutuhan akan kekuasaan, atau tekanan sosial.

Sementara itu, pendukung teori pilihan rasional mengasumsikan bahwa kalkulasi manfaat dan risiko merupakan dasar seseorang melakukan korupsi. Ketika manfaat yang diperoleh itu dianggap lebih besar ketimbang risiko hukuman yang harus ditanggung, maka dilakukanlah tindakan korupsi.      

Sejatinya, tak ada satu teori pun yang secara mutlak dapat menjelaskan seluruh aspek penyebab terjadinya korupsi, mengingat fenomena korupsi itu bersifat kompleks dan multifaset.Menurut hemat penulis, secara umum, fenomena korupsi itu dapat terjadi karena adanya kesempatan, motivasi negatif, dan rasionalisasi. Di tingkat pemerintah daerah, korupsi acapkali terjadi karena lemahnya sistem pengawasan dan rendahnya transparansi dalam pengelolaan anggaran, ditambah lagi dengan timbulnya kolusi antara pejabat pemerintah dan pihak swasta atau individu yang berkepentingan.

Di samping itu, rendahnya kualitas tata kelola pemerintahan---yang mencakup sistem pengadaan logistik untuk publik---ikut memicu terjadinya korupsi.

Pencegahan dan pemberantasan

Jika kita telah mengetahui sebab musababnya, lalu bagaimana cara mencegah dan memberantas korupsi secara efektif?

Penulis berpendapat, bahwa cara yang paling mendasar adalah melalui pendidikan, yang bisa dilaksanakan sejak masa belajar di bangku sekolah sampai setelah menjadi ASN.

Pendidikan merupakan kunci utama untuk membentuk karakter dan nilai nilai moral. Pendidikan antikorupsi yang diberikan sejak dini dapat membentuk generasi yang memiliki integritas dan kesadaran untuk mengharamkan tindakan korupsi.

Untuk itu, pemerintah daerah wajib memasukkan materi tentang karakter antikorupsi ke dalam kurikulum sekolah. Materi ini mengajarkan tentang pentingnya kejujuran dan transparansi. Merekalah yang bakal menjadi pemimpin masa depan yang berintegritas.

Cara kedua untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan menggunakan teknologi blockchain. Transparansi dan keamanan data melalui sistem yang terdesentralisasi dimungkinkan lewat penggunaan teknologi mutakhir ini.                                   

Penggunaan blockchain memungkinkan setiap transaksi yang tercatat tidak dapat diubah atau dihapus. Dengan demikian, teknologi ini dapat menciptakan catatan yang permanen dan mudah diverifikasi. Hal ini dapat meningkatkan upaya transparansi dan memungkinkan pengawasan publik yang lebih efektif terhadap setiap transaksi yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Teknologi canggih ini dapat membuat publik mengakses hasil rekaman setiap transaksi keuangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk  memantau penggunaan anggaran secara real-time, sekaligus mengurangi risiko penyelewengan dana. Bukankah ini merupakan cara pencegahan korupsi yang sangat efektif?

Dalam konteks keamanan, blockchain dapat pula digunakan untuk mengamankan data-data penting pemerintah secara akurat, sehingga peristiwa peretasan data penting dari berbagai instansi pemerintah---seperti yang telah terjadi belakangan ini---tidak terulang lagi. Melek perkembangan teknologi  maju, sangat membantu kita dalam menyelesaikan berbagai masalah penyimpanan data secara tuntas.

Cara ketiga, berupa pengaturan sistem pelaporan dan perlindungan yang baik terhadap pelapor pelanggaran (whistleblower). Dapat dikatakan, pelapor pelanggaran adalah kunci dalam mengungkapkan kasus korupsi. Akan tetapi, mereka sering terintimidasi dan terancam keselamatannya. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus menyediakan dan mengatur sistem pelaporan yang aman dan anonim. Untuk keamanan maksimal, dapat digunakan aplikasi pelaporan korupsi dengan enkripsi yang andal, sehingga identitas pelapor dapat terjaga kerahasiaannya.

Kini kita sampai pada cara keempat, yakni menerapkan upaya audit secara rutin. Audit ini dilakukan oleh lembaga independen untuk membantu mengidentifikasi potensi korupsi dan mengevaluasi efektivitas sistem pengawasan yang ada. Dampaknya sangat positif: akuntabilitas dapat ditingkatkan dan peluang terjadinya korupsi dapat dikurangi secara signifikan.

Dalam hal ini, pemerintah daerah dapat menggandeng lembaga audit independen untuk melakukan pemeriksaan keuangan secara berkala. Kemudian, hasil audit tersebut harus dipublikasikan ke publik sebagai jaminan adanya transparansi.

Berikutnya adalah langkah kelima. Langkah ini berupa pemberian sanksi hukuman yang tegas dan konsisten bagi para koruptor. Hal ini akan memberikan efek jera dan mengurangi keinginan untuk melakukan tindakan korupsi. Pedang Dewi Keadilan jangan sampai terjebak dalam diskriminasi: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kepercayaan masyarakat terhadap KPK, Tipikor, dan Kejaksaan harus dapat ditingkatkan lewat penerapan hukum yang berlaku adil dan tanpa pandang bulu.                                                                                       

Penulis hendak mengemukakan sebuah contoh yang sangat ganjil terkait dengan lemahnya pemberian sanksi hukuman bagi koruptor. Seorang terpidana korupsi yang sudah divonis sejak 2013, baru menjalani hukuman pada bulan Juli 2024. Yang bersangkutan terlibat dalam korupsi pengadaan proyek PT Telkom. Selama 11 tahun jadi terpidana, yang bersangkutan menduduki sejumlah jabatan penting di kementerian. Ironisnya, yang bersangkutan ini adalah mantan deputi KemenPANRB. Pihak penertib justru melakukan pelanggaran berat.           

Dalam hal penerapan hukum secara tegas tanpa pandang bulu, pemerintah daerah---lewat kerja sama dengan lembaga peradilan---harus mampu memastikan bahwa setiap kasus korupsi yang terjadi itu ditangani secara serius, dan pelakunya diganjar hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Sekarang kita sampai pada langkah keenam, yakni pembuktian harta kekayaan pejabat secara terbalik. Langkah ini merupakan salah satu langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi yang efektif. Secara konvensional, kesalahan terdakwa dalam praktik korupsi itu harus dibuktikan oleh penuntut hukum. Akan tetapi, lewat pembuktian harta kekayaan secara terbalik, terduga pelaku korupsilah yang harus membuktikan keabsahan aset dan harta kekayaan yang dimilikinya.

Dalam hal ini, kita dapat mengikuti langkah yang diambil oleh pemerintah Inggris, Australia, dan Italia. Pertanyaan besar yang timbul: jika cara ini efektif, mengapa pemerintah Indonesia tak kunjung menerapkannya?

Penulis menduga, hal ini disebabkan oleh adanya hambatan dari faktor dinamika sosial dan politik. Sudah bukan rahasia lagi, beberapa pejabat---kalau tidak bisa disebutkan berjumlah banyak---diduga terlibat dalam praktik korupsi. Bayangkan saja, untuk menjadi anggota DPR, dikabarkan calon anggota memerlukan biaya miliaran rupiah. Hal inilah yang merupakan pendorong bagi calon anggota DPR atau pejabat lainnya untuk melakukan korupsi, agar setidaknya, bisa mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.

Sejauh yang penulis ketahui, pemerintah telah mengeluarkan peraturan bagi pejabat negara untuk memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (LHKASN).  Menurut hemat penulis, langkah ini tidaklah cukup. Mengapa? Karena pejabat dapat melakukan manipulasi dalam pengisiannya.

Selanjutnya kita bahas langkah ketujuh, berupa langkah menaikkan gaji pejabat. Secara teori ekonomi, langkah ini dapat mencegah/mengurangi tindakan korupsi. Peningkatan gaji diharapkan dapat meningkatkan kinerja ASN. Dengan demikian, dedikasi dapat ditingkatkan.

Akan tetapi, teori acapkali berbeda dengan fakta di lapangan. Mengapa? Karena korupsi sudah menjadi bagian dari sebuah sistem. Di samping itu, bukankah keserakahan itu tak mengenal batas?

Langkah kedelapan yang penting, yakni keteladanan dari para pejabat tinggi yang berada di pemerintahan pusat. Fondasi integritas yang kuat dapat terbentuk lewat keteladanan pemerintah pusat. Pemerintah daerah akan mengikuti teladan pemerintah pusat yang bersih. Terkait dengan hal ini, penulis teringat akan ucapan almarhum Prof. Sahetapy, yang mengatakan bahwa bagian ikan yang busuk lebih dahulu adalah kepalanya, lalu tubuhnya ikut menjadi busuk. Jika kepala baik, maka seluruh anggota tubuh akan menjadi baik pula. Namun, sangat disayangkan, justru ketua KPK sendiri  tersandung dalam kasus korupsi/gratifikasi.

Fenomena kontradiksi

Di bagian awal tulisan ini terdapat narasi yang mengatakan bahwa korupsi adalah tindak kejahatan yang luar biasa. Bahkan, dapat disejajarkan dengan tindakan terorisme. Hal ini didukung dengan indeks persepsi korupsi (IPK) di Indonesia yang sangat memprihatinkan. Skor Indonesia adalah 34 dari 100 berdasarkan acuan dari Tranparency International. Hal ini membuat negeri kita berada pada peringkat 115 dari 180 negara terkorup di dunia.

IPK yang memprihatinkan ini, menurut hemat penulis, disebabkan oleh maraknya korupsi, bukan saja di pemerintah pusat, melainkan juga di pemerintah daerah. Sebagai contoh, penyelewengan dana desa itu tidak saja melibatkan pejabat seperti lurah, tetapi juga pejabat tingkat RT. Kalau dulu, koruptor itu dikenal dengan sebutan penjahat kerah putih, sekarang ini koruptor tidak memerlukan warna kerah lagi.                                                    

Akan tetapi, fakta menunjukkan adanya kesenjangan dalam dunia nyata. Antara realitas sosial dan ketentuan hukum, terdapat jurang yang menganga. Di satu sisi, korupsi itu menggerogoti keadilan, tapi di sisi lain, undang-undang tidak secara eksplisit menyatakan tindakan korupsi sebagai tindak kejahatan yang luar biasa.

Kesenjangan ini terjadi karena dikeluarkannya UU Nomor 1 Tahun 2023---yang  notabene merupakan KUHP baru---yang memiliki implikasi bahwa tindak pidana korupsi itu tidak dikategorikan lagi dalam tindak kejahatan luar biasa, tetapi dinyatakan setara dengan tindak kejahatan seperti pencurian atau penggelapan.

Kesenjangan ini merupakan PR bagi para ahli hukum untuk melakukan pembaruan hukum secara komprehensif.

Akhir kata, penulis percaya bahwa melalui penerapan kedelapan cara yang telah disebutkan di atas, dan kerja sama yang baik dengan semua pihak, penyiangan lahan korupsi secara berkelanjutan---di pemerintah pusat maupun daerah---mampu menggugurkan benih-benih kecurangan, sehingga korupsi tak berkesempatan tumbuh subur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun