Berikutnya adalah langkah kelima. Langkah ini berupa pemberian sanksi hukuman yang tegas dan konsisten bagi para koruptor. Hal ini akan memberikan efek jera dan mengurangi keinginan untuk melakukan tindakan korupsi. Pedang Dewi Keadilan jangan sampai terjebak dalam diskriminasi: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kepercayaan masyarakat terhadap KPK, Tipikor, dan Kejaksaan harus dapat ditingkatkan lewat penerapan hukum yang berlaku adil dan tanpa pandang bulu. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Penulis hendak mengemukakan sebuah contoh yang sangat ganjil terkait dengan lemahnya pemberian sanksi hukuman bagi koruptor. Seorang terpidana korupsi yang sudah divonis sejak 2013, baru menjalani hukuman pada bulan Juli 2024. Yang bersangkutan terlibat dalam korupsi pengadaan proyek PT Telkom. Selama 11 tahun jadi terpidana, yang bersangkutan menduduki sejumlah jabatan penting di kementerian. Ironisnya, yang bersangkutan ini adalah mantan deputi KemenPANRB. Pihak penertib justru melakukan pelanggaran berat. Â Â Â Â Â Â
Dalam hal penerapan hukum secara tegas tanpa pandang bulu, pemerintah daerah---lewat kerja sama dengan lembaga peradilan---harus mampu memastikan bahwa setiap kasus korupsi yang terjadi itu ditangani secara serius, dan pelakunya diganjar hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Sekarang kita sampai pada langkah keenam, yakni pembuktian harta kekayaan pejabat secara terbalik. Langkah ini merupakan salah satu langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi yang efektif. Secara konvensional, kesalahan terdakwa dalam praktik korupsi itu harus dibuktikan oleh penuntut hukum. Akan tetapi, lewat pembuktian harta kekayaan secara terbalik, terduga pelaku korupsilah yang harus membuktikan keabsahan aset dan harta kekayaan yang dimilikinya.
Dalam hal ini, kita dapat mengikuti langkah yang diambil oleh pemerintah Inggris, Australia, dan Italia. Pertanyaan besar yang timbul: jika cara ini efektif, mengapa pemerintah Indonesia tak kunjung menerapkannya?
Penulis menduga, hal ini disebabkan oleh adanya hambatan dari faktor dinamika sosial dan politik. Sudah bukan rahasia lagi, beberapa pejabat---kalau tidak bisa disebutkan berjumlah banyak---diduga terlibat dalam praktik korupsi. Bayangkan saja, untuk menjadi anggota DPR, dikabarkan calon anggota memerlukan biaya miliaran rupiah. Hal inilah yang merupakan pendorong bagi calon anggota DPR atau pejabat lainnya untuk melakukan korupsi, agar setidaknya, bisa mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.
Sejauh yang penulis ketahui, pemerintah telah mengeluarkan peraturan bagi pejabat negara untuk memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (LHKASN). Â Menurut hemat penulis, langkah ini tidaklah cukup. Mengapa? Karena pejabat dapat melakukan manipulasi dalam pengisiannya.
Selanjutnya kita bahas langkah ketujuh, berupa langkah menaikkan gaji pejabat. Secara teori ekonomi, langkah ini dapat mencegah/mengurangi tindakan korupsi. Peningkatan gaji diharapkan dapat meningkatkan kinerja ASN. Dengan demikian, dedikasi dapat ditingkatkan.
Akan tetapi, teori acapkali berbeda dengan fakta di lapangan. Mengapa? Karena korupsi sudah menjadi bagian dari sebuah sistem. Di samping itu, bukankah keserakahan itu tak mengenal batas?
Langkah kedelapan yang penting, yakni keteladanan dari para pejabat tinggi yang berada di pemerintahan pusat. Fondasi integritas yang kuat dapat terbentuk lewat keteladanan pemerintah pusat. Pemerintah daerah akan mengikuti teladan pemerintah pusat yang bersih. Terkait dengan hal ini, penulis teringat akan ucapan almarhum Prof. Sahetapy, yang mengatakan bahwa bagian ikan yang busuk lebih dahulu adalah kepalanya, lalu tubuhnya ikut menjadi busuk. Jika kepala baik, maka seluruh anggota tubuh akan menjadi baik pula. Namun, sangat disayangkan, justru ketua KPK sendiri  tersandung dalam kasus korupsi/gratifikasi.
Fenomena kontradiksi