Dokter Kepala Puskemas mempertanyakan mengapa mahasiswa ilmu politik meneliti pelayanan Kesehatan di Puskesmas. Jawaban yang dapat diberikan bahwa ilmu politik antara lain mempelajari: apa yang dikerjakan pemerintah, dengan cara apa dan apa dampaknya bagi Masyarakat.
Reaksi dokter atas jawaban ini bervariasi. Ada yang menolak jawaban dan menolak wawancara. Â Ada yang bisa menerima jawaban tetapi menolak wawancara. Ada satu dari 17 puskesmas yang memahami jawaban dan bersedia wawancara.
Tiadanya wawancara sesungguhnya, tidak mengganggu hasil riset, karena data yang dibutuhkan kebanyakan data sekunder, pengamatan pelaksanaan pelayanan, dan wawancara pasien. Tujuan riset untuk mengamati bagaimana pelayanan puskemas dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya dan miskin.
Satu-satunya dokter yang bersedia  wawancara kepala Puskesmas Kato Gade. Tanpa ditanya ibu dokter ini menjelaskan ihwal pelayanan Puskesmas. Ada pasien dari keluarga miskin yang mudah tersulut emosi. Ketika datang berobat tanpa membawa dokumen apapun, pas ditanya KTP langsung naik pitam.Â
Demikian juga pasien dari keluarga kaya atau pejabat, maunya hanya minta surat rujukan tanpa mau mengikuti SOP yang ada. Dalam pantauan ibu dokter ini karier selanjutnya cepat melejit.Â
Kasus Puskesmas
Kepala dinas Kesehatan juga menolak memberi komentar atas hasil riset ini karena keberatan dengan judul riset yang mencantumkan kata ‘kasus’. Sejatinya, kata ini berasal dari metode penelitian ‘study kasus’. Penulisan judul terinspirasi buku Masri Singarimbun dan DH Penny: Penduduk dan Kemiskinan Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa.
Studi kasus adalah metode penelitian. Metode ini digunakan untuk menyelidiki dan menganalisis fenomena tertentu, konteks atau situasi dengan mendalam dan detail. Dalam hal ini, ada banyak pelayanan pemerintah atau public services. Kami mengambil satu untuk studi kasus, yaitu Pelayanan Kesehatan di Puskesmas.
Penjelasan ini ditolak, karena menurut pemahamannya kasus sama dengan perkara hukum, Memang dalam konteks hukum, "kasus" merujuk pada suatu perkara atau masalah hukum yang diajukan untuk diselesaikan di pengadilan atau penengak hukum lainnya.
Gagal wawancara yang memerlukan tiga kali / hari usaha. Datang pertama, mohon untuk menghadap. Kedatangan kedua diminta membuat pertanyaan tertulis. Kedatanganketiga permohonan wawancara ditolak.
Gagal wawancara tetapi tidak mengejutkan, karena perilaku birokrasi semacam ini menjadi menu sehari-hari dibangku kuliah. Antara lain dikupas dalam buku pathologi birokrasi atau penyakit pemerintahan. Â