"Lo bisa bantuin nyari apartemen buat gue gak, Bud?" tanya Peter saambil menghirup kopi hitamnya.
Kami berdua lagi berada di sebuah kedai kopi di kawasan Kemang. Udah lama saya gak ketemu Peter dan saya agak surprise juga ketika dia menelpon dan ngajak ngopi. Peter adalah teman saya waktu kami sama-sama ikutan kursus bahasa Jerman di Goethe Institute, Jalan Matraman, Jakarta. Di sana dia jatuh cinta pada Linda, temen sekelas kami. Dan beberapa tahun kemudian dia mengawini perempuan itu.
"Ngapain lo nyari apartemen?" tanya saya sambil mengunyah French fries.
"Gue mau cere sama Linda."
"Hah? Yang bener, Pet? Perasaan hubungan lo sama Linda mesra banget keliatannya." Saya kaget denger ucapannya.
"Sampe sekarang juga baik-baik aja. Tapi kemaren gue iseng-iseng ngebuka HP dia. Dan gue ngeliat chattingan dia sama cowoknya."
"Waduh? Sama cowoknya? Apa isinya?"
Peter gak menjawab tapi menyodorkan HPnya ke saya. Di sana saya ngeliat chattingan sepasang anak Adam yang dicaptured oleh Peter. Maaf! Saya gak bisa posting itu di sini, takut kena undang-undang penyebaran konten pornografi. Hehehehe.... Karena gak kuat untuk membaca sampe selesai, saya kembalikan HP tersebut ke pemiliknya.
"Gue shock banget, Bud. Bini gue itu baik banget sebetulnya. Dan suasana di rumah juga baik-baik aja. Dan seluruh keluarga gue sayang banget sama dia."
"Selama ini gak ada yang aneh dari perilakunya?" tanya saya.
"Gak ada. Semua berjalan seperti biasanya. Dia selalu nyediain sarapan sebelum ke kantor. Nganter anak-anak ke sekolah. Pulang kerja juga gak lebih malam apalagi sampe nginep. Gak pernah. Semuanya normal. Makanya gue gak habis pikir kenapa dia bisa jadi begitu. Kok bisa-bisanya dia pacaran lagi sama orang lain..." kata Peter lagi dengan suara merintih.
"Lo udah ngomong sama Linda soal ini?"
"Belum. Bahkan Linda sendiri belum tau kalo gue udah ngeliat chattingan dia sama cowoknya."
"Ouw, okay! Jadi lo mau pindah ke apartemen sama siapa? Anak-anak lo gimana?" tanya saya.
"Rumah dan seluruh isinya akan gue serahkan ke bini gue. Hak perwalian anak juga gue kasih ke dia. Gue cuma perlu 1 koper buat bawa pakean dan akan sendirian aja tinggal di apartemen." Hati saya teriris-iris ngedenger suara Peter.
Saya prihatin banget mendengar kabar ini. Berita perceraian buat saya selalu terasa lebih tragis daripada berita kematian. Setelah ngobrol panjang lebar, kami pun berpisah. Saya gak ngasih nasihat apapun pada Peter karena saya memang gak jago memberi nasihat. Saya cuma berjanji akan mencarikan apartemen yang cocok buat dia. Itu doang.
Tepat 10 hari kemudian, kami berdua sudah duduk ngopi lagi di tempat yang sama. Kali ini saya yang ngajak karena saya sudah berhasil menemukan apartemen dua kamar yang bagus di daerah Tarogong, deket Hotel Kristal. Kebetulan pemiliknya temen lama sehingga saya dikasih harga yang sangat miring.
"Lupakan soal apartemen, Bud. Sorry gue udah ngerepotin elo," kata Peter.
"Oh? kenapa gak jadi?" tanya saya keheranan.
"Gue gak jadi cere sama Linda."
"Alhamdulillah... apa yang terjadi?" tanya saya lega bercampur penasaran.
"Gue curhat sama Abang gue, Ronald. Omongan dia yang membuat gue mengurungkan niat bercerai."
"Bagus, dong! Apapun yang dikatakan Ronald, gue setuju. Perceraian bukan jalan ke luar yang baik. Perceraian adalah pilihan terakhir dari sekian banyak pilihan yang ada," kata saya sok tau.
Ronald adalah kakak kandung Peter. Hubungan keduanya memang sangat dekat. Umur mereka cuma terpaut dua tahun. Saya juga mengenal Ronald secara pribadi dan orangnya memang asyik dan caranya mengamati masalah sering membuat saya kagum. Dia seringkali mengambil sudut pandang yang gak terpikirkan oleh orang lain.
"Abang gue bilang gini, Bud," kata Peter, "Pet, Linda itu perempuan luar biasa. Sebagai isteri, dia menyediakan sarapan buat lo, dia nyiapin makan siang dan makan malam setiap hari. Dia yang ngatur keuangan dan merencanakan liburan keluarga. Dia yang nemenin lo kalo ada acara kondangan, ngelayat atau outing kantor. Dia juga penyanyi yang hebat di acara pesta keluarga. Dia juga siap melayani suaminya ketika lo butuh kepuasan seksual."
"Wah, dia bilang gitu?" tanya saya tersenyum geli.
"Selain sebagai isteri, dia juga bertindak sebagai ibu. Dia melahirkan kedua anak lo. Dia yang menyusui mereka. Dia yang begadang ketika anak-anak lo rewel nangis di tengah malam. Dia juga bertindak sebagai babysitter. Dia ngurus anak-anak lo dengan telaten. Dia yang beli susu ke supermarket. Dia yang bantuin anak-anak bikin PR. Dia yang ngurusin makanan, pakaian dan buku-buku perlengkapan sekolahnya. Dia yang paling repot ketika anak-anak lo sakit."
Kali ini saya terdiam menunggu Peter menyelesaikan ceritanya.
"Dia juga seorang perawat yang handal. Gue masih inget gimana dia ngurusin lo waktu lo operasi Thyroid dua tahun yang lalu. Dia yang manggil ambulans. Dia yang ngurus BPJS. Dia nginep di rumah sakit nemenin elo. Dia yang ke apotik dan ngantri obat buat lo. Dan dia selalu ngingetin kapan lo harus minum obat dan menyuapkan obat itu ke mulut lo."
Saya mulai terharu mendengar nasihatnya Ronald.
"Dia juga bisa bertindak seperti asisten rumah tangga. Dia yang berbelanja, dia yang mengatur urusan memasak dan kebersihan rumah. Dia yang membeli aqua galon buat persediaan di rumah. Dia yang menyirami tanaman. Dia yang manggil tukang kalo atap ada yang bocor. Dia yang membeli tanaman baru untuk memelihara supaya rumah lo tetep asri."
Saya mulai menangkap arah pembicaraan Ronald.
"Dia juga seorang sekretaris yang hebat. Dia yang bayar uang pembayaran uang sekolah anak-anak. Dia yang ngurus tagihan listrik, tagihan air, telepon dan TV kabel. Dia yang bayar kebersihan sampah buat komplek, dia yang bayar iuran keamanan, dia yang bayar PBB. Pokoknya semua tagihan, dia yang menangani."
Saya masih terdiam.Â
"Terakhir tapi gak kalah penting, dia juga menantu yang hebat. Orangtua kita sayang banget sama Linda. Dan dia juga ipar kesayangan seluruh keluarga," Peter berbicara semakin perlahan.
Saya belum mengatakan sepatah kata.
"Gue gak mau menghalangi kalo lo mau nyerein Linda. Gue cuma mau mengingatkan, apa iya lo sanggup tinggal di apertemen sendirian? Coba bayangin, pas bagun pagi, lo mengetahui bahwa gak ada sarapan yang terhidang di meja makan. Gak ada kopi hitam kesukaan lo yang biasa disediakan Linda. Lo berangkat ke kantor dengan perut kosong."
Saya tetep diem.
"Pas lo pulang kantor, gak ada lagi teriakan anak-anak yang menyambut kedatangan bapaknya. Lo menemukan baju kotor dan kaos kaki berserakan di setiap sudut apartemen karena gak ada yang beresin apalagi mencucinya. Apartemen lo kotor karena gak ada yang nyapu dan ngepel. Dan tiba-tiba lo panik karena tagihan kartu kredit dan tagihan lainnya lupa lo bayar."
Masih diem.
"Ketika lo jatuh sakit, gak ada yang merawat lo. Tiba-tiba lo membutuhkan Linda karena lo gak pernah punya pengalaman sakit sendirian. Lo gak ngerti gimana ngurus BPJS bahkan lo gak tau dokter dan apotik ada di mana di sekitar apartemen. Apalagi kalo sakit lo berat sampe gak bisa bangkit dari tempat tidur. Siapa yang mau ngurus lo?"
Diem berlanjut.
"Lo harus menyadari, kalo nyerein Linda, lo bukan cuma kehilangan isteri. Bukan cuma kehilangan sex partner. Tapi lo juga kehilangan anak-anak, kehilangan perawat, kehilangan sekretaris, kehilangan asisten rumah tangga, kehilangan babysitter... dan keluarga kita kehilangan menantu idaman dan kehilangan ipar idola."
Masih terdiam.
"Kalo lo gak mau berkompromi dan tetep mau cere karena lo yakin akan survive dengan semua kehilangan itu, coba balik pikiran lo ke anak-anak. Mereka masih kecil-kecil dan belum sekuat elo. Apa iya mereka juga kuat kehilangan elo. Apa iya mereka sanggup kehilangan bapaknya..."
Sampe di situ Peter menangis. Tanpa terasa mata saya juga berkaca-kaca. Saya menggenggam tangan Peter erat-erat untuk membantu menguatkan hatinya. Hebat banget omongan kakaknya Peter ini. Dia menggambarkan seluruh masalah dengan detil dan mengingatkan semua risiko yang harus dihadapi oleh Peter kalo bercerai.
Setelah berhasil menenangkan dirinya, Peter berkata dengan suara halus, "Jadi gue memutuskan untuk gak jadi bercerai, Bud."
Kali ini kami berdua terdiam cukup lama. Omongan Ronald begitu dahsyat. Gak ada satu pun celah yang bisa dibantah. Sambil menghela napas panjang, saya bertanya dengan suara hati-hati, "Terus urusan chattingan itu gimana?"
"Selama sikap Linda di rumah gak ada yang berubah, gue akan menutup mata. Gue anggap peristiwa itu gak pernah ada."
"Gue dukung apapun keputusan yang lo ambil." kata saya tersenyum sambil menggenggam tangannya makin erat.
"Kayaknya kopi udah gak cocok sekarang, Bud. Gimana kalo kita ngebir aja?" kata Peter sambil mengusap airmatanya.
"Setuju!!!" sahut saya langsung memanggi waiter dan memesan bir 2 pitcher.Â
Dalam kasus Peter, saya gak ada andil sama sekali dalam menyelamatkan kasusnya. Saya cuma ngedengerin curhat dia aja tanpa pernah ngasih input apapun. Namun, pertemuan dengan Peter membuat saya mendapatkan hikmah yang luar biasa. Nasihat Ronald untuk Peter buat saya sangat bermanfaat dan menjadi bekal saya jika menghadapi masalah serupa.
Betul kata orang bahwa Tuhan telah memberikan kita mulut dan telinga. Ketika membuka mulut, kita memberi ilmu. Ketika mendengarkan, kita mendapat ilmu. Kenapa Tuhan memberikan 2 telinga dan 1 mulut? Secara simbolik Tuhan ingin mengajarkan bahwa kita harus mendengarkan dua kali lebih banyak daripada berbicara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H