Saya bukan tipe orang yang suka nonton film di bioskop. Gak banyak orang tau kalo saya mengidap penyakit Claustrophobia dan Nyctophobia. Saya gak suka berada di tempat gelap di sebuah ruangan tertutup dan yang dilakukan cuma duduk menatap audio visual yang direfleksikan ke sebuah giant screen. No! I hate that.
Film terakhir yang saya tonton di bioskop adalah 'Gone With The Wind' sebuah film percintaan berlatar perang saudara antara Amerika Utara dan Selatan yang berbasis perbudakan. Film ini diproduksi tahun 1939, dibintangi oleh Clark Gable dan Vivien Leigh. Gila! Udah lama banget, yak? Filmnya bagus banget makanya saya mampu juga bertahan di dalam bisokop sekian lama.
Kemaren, berpuluh-puluh tahun kemudian, akhirnya saya datang lagi ke bioskop. Kenapa? Ada dua alasan, pertama, yang ngajak nonton adalah isteri saya. Kedua, isteri saya ngajak nonton film yang berjudul 'Bohemian Rapshody'. Sebuah film yang berkisah tentang group band raksasa dari Inggris, Queen.
Saya fans berat group Band Queen. Saya sangat mengagumi Freddie Mercury dan Brian May. Berbekal ilmu hipnoterapi yang saya peroleh dari teman saya, Asep Herna, saya memberanikan diri masuk ke bioskop selama dua setengah jam di tempat yang gelap. Bismillah....
Okay, sekarang review filmnya, ya? Buat saya film ini serba tanggung. Kreatornya sepertinya bingung sendiri mau menghadirkan lagu-lagu Queen sebagai panglima atau mau menawarkan story yang menarik dari Freddie Mercury.
Dan kebingungan itu membuat, terutama saya sebagai penggemar Queen, jadi gemes. Mau dengerin lagu tapi banyak yang gak dibawakan secara lengkap. Mau menikmati konfliknya tapi kok gak digarap secara serius. Solusi semua konflik terasa asal-asalan dibuatnya. Semua diselesaikan dengan cepat tanpa dramatisasi apapun.
Ada banyak sekali situasi yang sudah dibangun di awal, misalnya konflik Freddie dengan ayahnya. Konflik dirinya sendiri ketika merasa bahwa dia gay. Konflik dengan isterinya sehubungan dengan orientasi sexualnya, Konflik dengan pacarnya yang ternyata hanya membuatnya semakin terperosok dalam jeratan narkoba. Konflik yang paling hebat tentunya ketika Freddie menyadari bahwa dia terkena penyakit aids.Sebuah masalah yang sangat potensial untuk dikembangkan, bukan?
Pokoknya banyak banget konflik yang sangat berpotensi sangat bagus kalo dibuat lebih rinci tapi gak dilakukan. Sayang banget, loh! Apalagi kalo konflik itu digarap dengan dramatisasi. Pasti jadinya super keren.
Di dalam mobil, sepulang dari bioskop, isteri saya tanya, "Menurut lo film tadi bagus gak?"
"Biasalah. Standar!" jawab saya.
"Masa, sih? Buat gue film itu bagus banget!" kata isteri saya lagi.
"Lo tau gak? Rami Malek, aktor yang memerankan Freddie Mercury, keren banget tapi dia cuma bagus sebagai Freddie pas di panggung doang. Ketika di luar panggung, aktingnya lebay. Freddie Mercury gaya dan ngomongnya biasa aja. Gak ada gaya-gaya teatrikal seperti di film itu," sahut saya.
"Kok lo tau, sih? Lo baca di mana?"
"Waktu di Bali gue pernah ketemu sama Freddie." sahut saya sambil membelokkan mobil menuju ke arah komplek rumah kami.
"Hah? Yang bener, lo? Gimana ketemunya? Kok lo gak pernah cerita?" tanya isteri saya surprise banget.
"Waktu itu kita belom saling kenal. Dan gue masih suka mengembara ke mana-mana sendirian."
"Okay, terus ceritanya gimana lo ketemu Freddie Mercury?" tanya isteri saya antusias.
"Lo kan tau gue insomnia. Nah, suatu hari gue lagi di Bali sendirian. Jam 3 malem, abis nongkrong di kafe, gue kelaperan. Akhirnya gue mampir di sebuah restoran kecil di daerah Seminyak. Di sana gue pesen pecel lele 2 ekor sama sepiring nasi."
"Okay, terus?"
"Tiba-tiba ada orang dekil banget nyamperin meja gue..."
"Kalo dekil pasti bukan Freddie, tuh..." selak isteri saya.
"Itu orang nyapa gue, 'Hey, Bro. what you eating. It looks so disgusting," katanya.
"This is pecel lele. Of course, it's disgusting. This fish eat shit," sahut gue
"You're kidding! But it smells good. Can i taste it?" tanyanya lagi.
Gue menatap orang itu dengan lekat. Tampangnya kayak Freddie Mercury. Kumis dan gigi tonggosnya mirip banget. Tapi dekil dan wajah maboknya membuat gue yakin bahwa orang ini pasti salah seorang turis miskin dari australia yang banyak mendominasi daerah Seminyak dan Kuta. Karena kasian, gue mempersilakan dia duduk dan menawarkan pecel lele yang ada di meja.
"Yes, you can. Taste it. If you like it, i'll order two more for both of us."
"Wow, that's very kind of you. Thank you."
"Have a sit, Freddie," kata gue.
Gue becanda aja ngomong gitu tapi tau gak apa yang terjadi? Dia kaget denger omongan gue.
"How do you know my name? You know me?" tanyanya penuh selidik dengan nada setengah membentak.
"Everybody knows your name. You are so famous, Freddie Mercury." Gue terus aja ngebecandain dia.
"Oh, shit! I have been in Bali for 6 days and finally someone recognized me," omelnya.
"I'm your big fan. Even when you're disguised, surely I can recognize you."
Dia duduk dan mencoba pecel lele di meja dan percaya gak? Dia suka banget sama pecel lele itu. Akhirnya kami berdua jadi akrab. Freddy memesan 10 pecel lele lagi.
"Ten? Are you out of your mind?" Gue kaget. Mana ada orang pesen pecel lele langsung 10 biji.
"No worries, Buddy. My treat!" katanya.
Lucunya dia memesan 10 pecel lele buat kami berdua tanpa nasi. Katanya pecel lele itu lebih enak kalo makannya digado. Gue surprise juga karena sambel pecel lele itu pedes banget tapi kok dia suka ya? Kalo Freddie Mercury yang asli pasti gue bisa ngerti karena vocalist utama band Queen itu aslinya orang parsi. Lah ini kan Freddie kawe....
Selesai makan, orang itu memanggil waiter dan membayar semua pesenan kita. Termasuk rokok dan bir yang gue minum juga dia bayarin. Gue sebetulnya gak enak juga sama Australi miskin ini tapi karena dia ngotot ya udah, gue biarin aja dia bayarin semua.
"Buddy, would you do me a favor?" Tiba-tiba Freddie bersuara.
"Yes, Freddie. How can i help you?"
"I am not here! I don't want Brian, John and Roger know where i am."
"Okay, Freddie," sahut gue cuek.
"Keep your mouth shut, especially to media people. Can i trust you?" desak Freddie lagi.
"Don't worry, Freddie. Your secret is safe with me," kata gue lagi.
Sejenak kami berdua terdiam dan asyik dengan pikiran masing-masing. Gara-gara omongannya barusan, gue jadi mikir, jangan-jangan dia Freddie Mercury beneran. Tapi gak mungkin ah. Masa Freddie Mercury dekil begini...
"This pecel lele is so delicious. This is the best food that i've ever tasted in my life..." kata Freddie lagi.
"Bentar-bentar!!!!" Tba-tiba isteri saya menyelak pembicaraan saya sama Freddy.
"Kenapa, sayangku?" tanya saya.
"Itu cerita lo pasti fiktif, kan?"
"Kenapa lo merasa begitu?"
"Lo pasti sekarang lagi kelaperan, kan?"
"Kok, lo tau?"
"Dan lo mau ngajak gue makan pecel lele di City Walk, kan? Hayo ngaku!!!!" kata isteri saya lagi.
Saya menatap isteri saya dengan penuh kasih sayang. Dengan lembut, saya peluk dia lalu mencium pipinya sambil berkata, "Lo tau, gak? Salah satu alasan gue mengawini elo karena lo pinter." kata saya
Gak lama kemudian, kami berdua sudah duduk di warung pecel lele di city walk yang terdapat di dekat komplek rumah kami. Kali ini saya cuma berdua dengan isteri. Tanpa Freddie Mercury.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H