Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Administrasi - Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Insya Allah-nya Siapa?

31 Agustus 2018   01:00 Diperbarui: 31 Agustus 2018   01:23 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
My best friend Pree. dok: Pribadi

'Insya Allah' adalah kata umum yang sering banget kita denger di kehidupan sehari-hari. Menurut guru ngaji saya dulu, 'insya Allah' itu artinya 'kalo Tuhan mengjinkan'. Dengan kata lain 'Insya Allah' adalah janji seseorang untuk melakukan sesuatu.

Misalnya janjian sama temen, kalo kita mengatakan 'Insya Allah,' artinya kita berjanji bahwa kita pasti dateng. Satu-satunya alasan yang memungkinkan kita ga dateng adalah karena Allah ga mengizinkan. Ga mengizinkan di sini maksudnya kalo kita tiba-tiba mati, sakit parah, banjir dan segala hal lain yang datangnya dari Allah.

Tapi di masyarakat luas, entah karena sebab apa, kata 'Insya Allah' ini sering salah diartikan. Kata 'Insya Allah' seringkali dimaknai dengan 'mudah-mudahan.' Sering banget saya denger orang ngomong 'Insya Allah' dengan makna seperti itu. Misalnya suatu hari saya mengundang temen saya, Djito, untuk merayakan hari ulang tahun anak saya.

"Djit, dateng ke ulang tahun Leon ke rumah gue sabtu depan, ya?" kata saya. Djito saya undang karena dia bisa main sulap. Daripada bayar tukang sulap kan mendingan Djito aja bisa disuruh main sulap. Gratis pula hehehe....

Djito terdiam sejenak, kayaknya dia lagi mikir sesuatu. Setelah beberapa saat dia nanya, "Di Cibubur, ya?"

"Iya, di Cibubur. Bisa kan?" tanya saya lagi.

"Gue ga janji ya tapi insya Allah."

"Ga janji kok insya Allah?" tanya saya bingung.

"Abis Cibubur jauh banget, sih. Makanya gue ga janji tapi insya Allah."

"Ga janji kok insya Allah? Ga ngerti gue." Sumpah saya bingung.

"Iya, gue ga janji, Bud. Gue rada males dateng karena rumah lo, udah jauh, macet pula. Tapi siapa tau Tuhan bikin gue ga males, siapa tau Tuhan bikin gue semangat buat dateng, siapa tau Tuhan mengizinkan, kan? Makanya gue bilang Insya Allah."

Heduh! Bete gue! insya Allah kok jadi gitu maknanya. Sebuah kata ternyata bisa dimaknai sendiri oleh siapapun yang menggunakannya.

Hal ini terjadi juga di club pecinta alam saya, PHIDELTA. Ada dua orang temen saya namanya Pree dan satu lagi namanya Amin. Keduanya mempunyai pemahaman sendiri-sendiri dalam memaknai kata 'insya Allah.'

Pree mengartikan kata 'insya Allah' lebih parah dari pemahaman Djito. Buat Pree kata 'Insya Allah' adalah penolakan secara halus. Jadi tiap kali janjian sama Pree dan dia nyautnya 'insya Allah,' semua orang langsung putus asa. Semua tau kalo dia udah mengatakan kata itu, bisa dipastikan bahwa Pree ga bakalan dateng.

Sebaliknya dengan Amin. Kalo dia mengatakan 'insya Allah' berarti dia pasti menepati janjinya. Sehingga kata 'insya Allah' dari Amin mempunyai makna yang berlawanan dengan yang diucapkan Pree. Perbedaan makna ini akibatnya merembet ke temen-temen lainnya. Setiap kali seseorang mengatakan kata 'insya Allah' maka yang lainnya pasti akan meneruskan pertanyaannya, "Insya Allahnya Pree apa Amin?" Hehehehehehe..

Pertanyaan 'insya Allah'nya Pree aatau Amin' sering ditanyakan untuk memastikan apakah orang ini akan menepati janjinya atau tidak. Soalnya sering banget ada yang ingkar janji tapi masih berkelit di antara dua jenis 'insya Allah' itu. Misalnya pernah seorang temen ga nongol di bumi perkemahan di Sukamantri Sukabumi. Pas di kampus anak itu ditegur sama ketua kami.

"Kok lo ga nongol ke Sukamantri?" tegur ketua kami.

"Iya, sorry. Gue ketiduran waktu itu," sahut yang ditanya tanpa merasa bersalah.

"Lo bilang insya Allah akan dateng?" desak Pak Ketua lagi.

"Ga gitu. Maksud gue kan 'insya Allah'nya Pree. Bukan 'insya Allah'nya Amin. Gue emang ga niat pergi waktu itu."

Hehehehe repot, kan? Itu sebabnya pertanyaan 'insya Allah'nya Amin atau Pree' mutlak perlu dilemparkan untuk memaksa orang yang mengatakan kata itu jadi lebih fokus sehingga pertanyaan kita mendapat jawaban lebih pasti

Nah, ceritanya suatu hari saya baru aja lulus kuliah. Ga sampe sebulan diwisuda, saya langsung diterima kerja di AIM Communications. Sebuah biro iklan yang kala itu masih berafiliasi dengan Leo Burnett. Itu adalah pertama kali saya kerja di sebuah advertising agency. Saya dikasih tempat duduk di sebelah seorang Paste Up artist namanya Pak Bambang.

"Anak baru, ya? Siapa nama kamu?" tanya Bambang begitu saya narok pantat di bangku.

"Budiman Hakim. Bapak siapa?" tanya saya balik sambil ngajak salaman.

"Saya Bambang." sahut Pak Bambang seraya menyambut uluran tangan saya.

Pak Bambang orang yang sangat menyenangkan. Dengan sabar dia menerangkan segala pernak-pernik periklanan yang dia ketahui. Bahkan dia juga menjelaskan biro-biro iklan yang ada di Jakarta, siapa tokoh-tokoh yang terkenal di jaman itu sehingga sedikit banyak saya ga terlalu buta pada peta periklanan di tanah air.

"Kalo makan siang biasanya di mana Pak Bambang?" tanya saya. Maklum hari pertama kerja, jadi saya pengen tau tempat makan yang enak.

"Banyak. Di Arthaloka ada kantin. Tempatnya bersih, makanannya enak-enak dan lumayan murah."

"Wah, kedengerannya okay, tuh," kata saya.

"Kalo mau agak mewah, ada juga ayam presto di belakang gedung Chase Plaza. Nah itu baru enak banget," sahut Bambang.

"Kalo gitu ntar kita makan bareng, ya, Pak Bambang? Boleh kan?" tanya saya.

"Insya Allah," jawab Pak Bambang.

"Insya Allahnya siapa?" tanpa sengaja saya melemparkan pertanyaan tolol. Maklum lidah ini udah kebiasaan nyaut gitu kalo denger orang ngomong kata 'insya Allah.' Hehehehehe...

Pak Bambang bingung, dong, ngedenger pertanyaan saya. Ga tahan hatinya untuk bertanya, "Maksudnya?"

"Insya Allahnya Amin apa Pree?" Udah terlanjur saya memutuskan untuk meneruskan pertanyaan andalan lingkungan saya.

Pak Bambang tambah bingung. Dia tanya lagi, "Maksudnya gimana, Mas Bud?"

Hahahahaha..! Ngedenger saya ngakak keras banget, temen-temen di ruangan itu pada nyamperin. Mereka pengen tau apa yang terjadi. Dengan sabar saya ceritakan pada mereka semua bagaimana sejarahnya ada istilah 'insya Allah'nya Amin dan 'insya Allah'nya Pree.' Mereka semua ikut ngakak ngedenger cerita itu.

"Yang namanya Pree pasti ngocol banget ya, Bud?" tanya salah seorang, belakangan saya tau dia adalah seorang visualizer, namanya Pak Hadi.

"Iya, ngocol banget. Kalo yang namanya Amin serius dan relijius." sahut saya.

"Kalo suatu hari Pree atau Amin mampir ke sini, kenalin sama kita, ya, Mas Bud. Penasaran pengen liat orangnya." kata Pak Bambang lagi.

"Insya Allah." sahut saya lagi.

"Insya Allahnya siapa? Amin apa Pree?" Hampir serempak tiba-tiba semua orang menanyakan hal itu.

"Huahahahahahahaha..." semua orang ngakak tanpa bisa ditahan lagi.

Dan keanehan pun berlanjut! Tiba-tiba di kantor kami istilah 'insya Allah' tersebut menjadi populer. Setiap kali di kantor ada yang menyebut 'insya Allah' orang itu langsung diserang dengan pertanyaan 'insya Allah'nya Amin apa insya Allahnya Pree?'

Saya geli bukan main. Mereka semua sangat fasih dengan istilah itu tanpa satu pun pernah mengenal Amin dan Pree. Saya sering bertanya dalam hati, apakah kuping kedua temen saya suka berdenging karena namanya sering banget disebut di kantor saya? Nama keduanya begitu terkenal di kantor hehehehehehe....

Sebagai anak baru, saya langsung sibuk. Biasalah namanya juga anak baru pastinya dipelonco, kan? Segala macem kerjaan dibebankan ke saya. Kerjaan yang bukan job description pun di tarok di pundak saya, misalnya ngetransfer showreel kantor dan menjadikannya kompilasi. Ketika saya sedang di luar kantor seseorang menelpon dan mencari saya. Pak Bambang yang mengangkat telepon.

Kriiiiiing...! Telepon berbunyi.

"Halo." sapa Pak Bambang.

Pak Bambang dan saya memang berbagi telepon. Untuk yang ga punya ruangan sendiri hanya disediakan 1 telepon untuk dua meja.

"Bisa bicara sama Budiman Hakim?" terdengar suara di seberang.

"Budimannya lagi di luar. Ada yang bisa dibantu?"

"Kira-kira jam berapa pulangnya ya?"

"Biasanya jam 3 sore, dia udah balik kantor. Ada pesan?"

"Hmmm...ga deh. Bilang aja ntar jam 3 saya telepon lagi."

"OK. saya tinggalin note di mejanya. Jam 3 pasti nelpon kan?"

"Insya Allah."

Mendengar jawaban si penelepon, Pak Bambang langsung gatel dan ga tahan untuk meneruskan pertanyaannya, "Insya Allahnya siapa?"

"Maksudnya?" tanya suara di ujung lainnya.

"Insya Allahnya Amin atau Pree?" jawab Pak Bambang, seneng banget dia bisa ngerjain orang itu.

"Huahahahahahahahaha..." Di luar dugaan orang itu tertawa terbahak-bahak.

"Kok ketawa? Emang ngerti maksudnya?" Giliran Pak Bambang yang bingung.

"Insya Allahnya Amin deh hehehehehe..." jawab si penelpon.

"OK. Berarti kamu pasti nelpon ya. Oh ya, dari siapa ini?"

"Dari Pree." Ternyata Pree yang menelpon.

"Oh? Kamu Pree?" Pak Bambang Surprise banget ketemu suara Pree setelah sekian lama cuma ngedenger namanya yang melegenda itu.

"Iya, saya Pree," kata suara di seberang.

"Kok Pree pake insya Allah'nya Amin?" Pak Bambang kebingungan.

"Emang kenapa?"

"Ya, ga bisa dong. Kalo Pree ya harus pake 'insya Allah'nya Pree. Insya Allahnya Amin cuma boleh dipake sama Amin." Pak Bambang mencoba berargumentasi.

"Kan saya pasti nelpon? Makanya saya bilang insya Allahnya Amin."

"Tapi saya bingung ngomongnya ke Budiman?"

"Bingung kenapa?"

"Masa saya bilang 'Mas Bud, Si Pree, yang insya Allahnya selalu boong, tadi nelpon. Dan dia pake insya Allahnya Amin katanya mau nelpon lagi.'"

"Hahahahahaha iya bilang aja gitu. Gapapa kok."

"Ok deh, saya tinggalin note di mejanya kayak gitu."

"Jangan sampe lupa, ya?"

"Insya Allah."

"Insya Allahnya siapa?" Mendadak Pree melakukan serangan balik.

"Hahahahahaha...bales dendem ni yeee."

"Insya Allahnya Pree apa Amin?" desak Pree.

"Insya Allahnya Bambang."

"Bambang itu siapa?"

"Saya."

"Oh? Insya Allahnya Bambang itu artinya sama ama insya Allahnya Pree apa Amin?"

"Di antaranya. Kadang boong kadang bener hehehehehe..."

Huahahahahahahaha geli banget saya denger cerita Pak Bambang. Saya curiga ke depannya pertanyaan itu akan berubah menjadi 'insya Allahnya Amin, Pree atau Pak Bambang?' Hehehehehehehehehe....

Sekali lagi saya katakan bahwa sebuah kata maknanya tidak tergantung pada definisi yang ada dalam kamus. Setiap orang bisa memaknai sendiri sebuah kata sesuai dengan keinginannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun