Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Administrasi - Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fadli Zon, Si Anak Pintar

27 April 2017   15:57 Diperbarui: 28 April 2017   03:00 3577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu itu tahun 1988. Saya dipanggil dosen saya, Sapardi Djoko Damono, untuk membantunya menyelenggarakan acara “Pekan Apresiasi Sastra ‘88”. Saya adalah mahasiswa Sastra Perancis, Universitas Indonesia. Dan saya memang cukup dekat dengan dosen sekaligus penyair kondang ini karena saya lumayan sering membantu tokoh idola saya ini untuk proyek musikalisasi puisinya. Bersama teman-teman sesama UI, kami membuat lagu berdasarkan puisi yang Bapak Sapardi ciptakan.

Acara Pekan Apresiasi Sastra ini diselenggarakan oleh Fakultas Sastra UI bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Waktu itu menterinya adalah Fuad Hasan, seorang pemain biola yang kebiasaan merokoknya gak kalah ancur dari saya. Acaranya pun diadakan di gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang letaknya di Jalan Jenderal Sudirman.

Tujuan dari acara ini adalah untuk menanamkan cinta kesusasteraan pada generasi muda. Jadi yang diundang adalah murid-murid SMA yang dianggap berprestasi. Acara Pekan Apresiasi Sastra tersebut dibagi dalam beberapa program. Ada Puisi Sastra, Fotografi, Penulisan prosa dan juga Diskusi Sastra. Dan saya kebagian untuk memimpin program Diskusi Sastra. Sebenernya saya ga gitu ngerti apa tugas saya tapi Sapardi selalu ngomong, “Sudah kamu bikin aja sak karepmu. Kamu pasti bisa.” Hehehehehe….”

Sapardi Djoko Damono, dosen saya ini memang dosen sontoloyo. Setiap kali saya bilang gak bisa, dia cuma nyaut, “Kamu pasti bisa.” Ya udah berhubung saya terlalu mengidolakannya, ya saya percaya aja bahwa saya pasti bisa.

Pas hari ‘H’. acara Pekan Apresiasi Sastra pun dibuka dengan berbagai sambutan dari para petinggi. Kemudian dilanjutkan dengan permainan biola dari Menteri Fuad Hasan. Selesai bermain biola, entah lagunya apa, ritual pembukaan pun dimulai. Di sebuah pojokan ada kertas yang bertuliskan PAS 88. PAS adalah singkatan dari ‘Pekan Apresiasi Sastra’. Tulisan PAS di kertas itu dibuat vertikal. Jadi huruf P paling atas, di bawahnya huruf A dan di bawahnya lagi huruf S.

Fuad Hasan diminta oleh panitia untuk secara spontan menulis kalimat berdasarkan huruf-huruf tersebut. Jadi dia harus menulis kata yang berawalan S, kata kedua A dan kata ketiga adalah huruf S. Sebuah tugas yag sungguh tidak mudah. Sejenak para hadirin terdiam. Sementara Fuad Hasan menatap kertas dengan kening berkrenyit. Nampaknya dia sedang berpikir keras untuk mencari kata yang tepat.

Tapi menteri Fuad Hasan ini memang luar biasa jenius. Cuma butuh waktu beberapa detik untuk berpikir dia langsung mendapatkan solusinya. Dengan penuh percaya diri, dia mengambil spidol besar yang sudah disiapkan panitia dan mulai menorehkan huruf-huruf di atas kertas..

Huruf pertama yang dimulai dengan huruf P, dia menulis: “Pada awalnya.”

Di huruf A, dia melanjutkan: “Adalah kata.”

Di huruf S, dia menyelesaikan kalimatnya dengan: “Selanjutnya kita.”

Jadi secara keseluruhan, huruf P, A dan S yang awalnya adalah singkatan dari Pekan Apresiasi Sastra, di tangan Fuad hasan menjadi “Pada mulanya, Adalah Kata, Selanjutnya kita.”

Semua orang bertepuk tangan meriah sekali. Saya pun bertepuk tangan keras sekali karena sangat kagum dengan kepiawaian menteri pengonsumsi nikotin itu dalam mengolah kata. Luar biasa! Hebat banget! Takluk saya pada kehebatan Sang Menteri. Bravo!!!

“Pak Fuad itu hebat banget ya, Mas. Saya kagum sama dia,” kata seseorang yang berdiri di samping saya.

“Iya jenius banget. Dia cuma butuh beberapa detik untuk mendapatkan kalimat sebagus itu,” sahut saya.

“Semoga nanti saya akan sesukses beliau.”

Sejenak saya memperhatikan orang itu. Seragam putih birunya menjelaskan bahwa dia adalah seorang pelajar SMA. Wajahnya terlihat optimis dan tipe seorang yang menikmati hidup. Dia berkacamata dan dari wajahnya saya bisa menyimpulkan bahwa anak ini adalah seorang yang pintar.

“Eh, lo siapa namanya? Ikutan di acara apa?” tanya saya dengan suara ramah. Saya memang selalu seneng bergaul dengan anak muda, apalagi yang pintar dan gak ada minder-mindernya sama orang yang berumur jauh di atasnya.

“Saya Fadli, Mas. Fadli Zon,” katanya sambil mengulurkan tangannya mengajak salaman, “Saya ikut di Program Diskusi Sastra.”

“Oh ya? Saya yang memimpin acara Diskusi Sastra. Wah seneng banget ketemu kamu, Fadli,” kata saya menjabat tangannya erat sekali.

“Saya juga seneng banget ketemu, Mas. Maaf, Mas namanya siapa?” tanyanya dengan suara tegas tanpa mengurangi kesopanannya.

“Saya Budiman Hakim. Kamu dari SMA mana, Fadli?” tanya saya. Entah kenapa saya langsung jatuh suka sama anak ini. Percaya diri, terlihat pintar tapi mampu berbicara dengan kesopanan yang tetap terjaga.

“Saya dari SMA 31, Jakarta Timur, Mas. Mohon bimbingannya ya, Mas,” katanya lagi.

“Hahahahahaha….bimbingan apa? Saya orang yang gak ngerti apa-apa. Saya cuma mahasiswa sastra yang lebih sering bolos daripada hadir di kelas,” kata saya sambil menepuk pundaknya lalu pergi untuk mempersiapkan program saya.

“Thanks, Mas,” kata Fadli juga menepuk pundak saya,”See you soon.”

Dalam perjalanan menuju ruang diskusi sastra, saya berpapasan sama Pak Sapardi yang langsung menyapa saya,”Hey Bud. Udah siap program yang kamu pandu?”

“Siap gak siap deh, Pak,” jawab saya.

“Sontoloyo kamu!” omel Pak Sapardi mendengar jawaban saya. Penyair ini entah kenapa sering banget menyebut saya sontoloyo sampai sekarang.

Hehehehe… rasain lo! Siapa suruh dia kalo ngejawab pertanyaan saya selalu seenaknya. Saya juga bisa menjawab seenaknya kan? Hehehehehe….

“Eh, Bud. Kamu liat tadi tulisan Pak Fuad Hasan? Bagaimana menurut kamu?” taya Sapardi lagi.

“Keren banget, Pak. Dia pantes banget menduduki jabatan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Tulisannya bagus banget ‘Pada mulanya Adalah kata, Selanjutnya kita’. Luar biasa dan punya benang merah dengan kegitan kita ini. Saya rasa kepiawaiannya mengolah kata bisa diadu sama Bapak,” sahut saya nyerocos karena dengan hati tulus memang saya kagum sama tulisan Pak Fuad tadi.

“Hahahahaha…..!!" Di luar dugaan, mendengar omongan saya, Sapardi ketawa terbahak-bahak geli sekali.

“Kok Bapak ketawa? Emang saya salah?”

“Kamu nggak salah. Cuma blo’on aja,” kata Sapardi lagi.

“Blo’on kenapa, Pak?”

“Ya mana mungkinlah Pak Fuad Hasan bisa bikin kalimat sebagus itu dalam beberapa detik. Pasti ada seseorang yang canggih yang bantuin dia.”

“Heh? Maksudnya? Kalimat itu udah dipersiapkan? Dan Bapak yang bikin?”

Tawa Sapardi makin keras menertawakan kebodohan saya, “Kamu keliatannya aja pinter ya, Bud. Padahal blo’onnya minta ampun. “Hahahahahaha….!”

Sesampainya di ruangan Diskusi Sastra, saya membagi semua peserta dalam group sesuai dari sekolah mereka datang. Guru-guru yang hadir saya peringatkan untuk tidak berbicara. Saya tegaskan bahwa acara ini seutuhnya untuk para murid berekspresi dan mereka dibebaskan untuk bicara apa saja sesuai dengan aspirasi mereka.

“Saya tidak setuju!” Tiba-tiba salah seorang guru menyelak omongan saya.

“Apa yang Ibu tidak setuju?” tanya saya.

“Mereka masih anak-anak. Mereka perlu bimbingan gurunya dan mereka perlu pendapat gurunya,” kata Ibu guru itu lagi dengan suara judes.

“Dengar ya semua guru. kalian saya undang cuma sebagai peninjau. Tidak seorang pun dari guru yang saya izinkan berbicara. Hari ini adalah acara di mana semua murid bebas menyampaikan pendapatnya,” sahut saya tegas.

“Saya tidak setuju!” kata ibu guru itu lagi.

“Saya tidak butuh persetujuan, Ibu! Kalau Ibu tidak setuju, saya persilakan Ibu ke luar dari ruangan dan bawa semua murid Ibu pergi dari sini. Ayo siapa lagi yang tidak setuju sama saya?” bentak saya mulai emosi.

Kali ini semua guru yang hadir terdiam. Rupanya mereka jiper juga dengan ketegasan saya. Suasana jadi sedikit tegang dan untuk menetralisir suasana, saya melanjutkan bicara, “Mohon perhatian! Semua guru memang tidak saya izinkan untuk berbicara tapi setelah acara selesai, semua guru boleh menyatakan pendapatnya.”

Kali ini terlihat ada paras dan gumaman lega dari rombongan guru.

“Tapi, saat para guru berkomentar, giliran semua murid yang tidak saya izinkan untuk menanggapi. Saya tidak mau terjadi debat kusir di acara yang saya pimpin.”

Setelah semua mingkem, acara diskusi sastra pun dimulai. Ada 8 perwakilan SMA yang hadir dan semua saya jadikan dalam sebuah group. Setiap group harus mempresentasikan sebuah karya atau laporan berbentuk analisis tentang karya yang mereka baca. Setelah satu group selesai presentasi, barulah masuk ke segmen diskusi, hadirin boleh bertanya dan sampai di situ diharapkan terjadi sebuah diskusi yang menarik.

Namun, seperti yang sudah saya perikirakan, semua group pemahamannya cetek banget. Ada yang membahas Buku Layar Terkembang, karya Sutan Takdir Alisyahbana, ada yang membahas puisi-puisinya Chairil Anwar, ada juga yang membedah novel-novelnya NH Dhini. Tapi semuanya hanya pembahasan yang dangkal. Analisisnya terlalu lebar sehingga audiens pun bingung hendak bertanya apa.

Terus terang sampai detik itu, saya merasa gagal dalam menangani acara Diskusi Sastra ini, sampai akhirnya datang Sang Dewa Penolong….siapa dia? Yak dialah Fadli Zon. Bersama dengan dua orang temannya, dia maju ke depan dengan langkah yang sangat yakin. Semua materi presetasi, dia yang bawakan sementara kedua temannya yang lain hanya membisikkan sesuatu ketika Fadli kelupaan atau terlewat mengatakan sesuatu.

Dengan suara lantang dan tegas dia memaparkan apa itu puisi, apa itu roman, apa definisi karya sastra dan bagaimana sebuah karya sastra Indonesia bisa bersaing dengan karya-karya di dunia. Semua orang terpesona dengan pemaparannya. Dengan lugas dan berbahasa campur-campur bahasa Inggris, dia menjelaskan bahwa sastra itu adalah identitas sebuah negara. Sastra adalah adalah sebuah barometer untuk menilai seberapa tinggi kebudayaan sebuah negara.

Suasana diskusi menjadi sangat hidup. Semua peserta lain menghujani dengan pertanyaan yang semuanya dijawab dengan tangkas oleh Fadli. Saya terkagum-kagum pada anak itu.

Fadli Zon menjadi bintang di acara diskusi sastra yang saya pimpin. Meskipun cara bicaranya agak merendahkan murid-murid dari sekolah lain tapi saya bisa memaafkannya. Karena ini kan sebuah diskusi, semua orang boleh memiih karakter yang dirasa nyaman ketika dia sedang presentasi. Diskusi berjalan tak seimbang karena Fadli terlalu pintar dibandingkan dengan murid-murid SMA yang lain.

Diskusi sekonyong-konyong berubah menjadi semakin panas. Peserta lain merasa Fadli terlalu angkuh dan cenderung meremehkan peserta lainnya. Ketidaksukaan mereka dilampiaskan dengan pertanyaan yang menyerang pribadi dan bukan lagi pada isi materi. Saya sih seneng-seneng aja karena diskusinya menjadi sangat seru dan satu hal yang terpenting, Fadli Zon telah menyelamatkan saya dari kegagalan dalam mengelola sebuah program yang namanya Diskusi Sastra.

Acara tanya jawab masih terus berlagsung, seseorang bertanya,

“Dari mana kamu mengetahui semua pengetahuan yang kamu paparkan barusan? Kok saya belum pernah dengar?”

“Ya baca buku, dong! Kalo gak suka baca kalian akan ketinggalan kereta. Jangan cuma mengandalkan buku yang dikasih guru di sekolah. There are a lot of books to read. Baca buku sebanyak-banyaknya. Read, my friend. READ! Jangan main melulu.” Omongannya memang sulit terbantahkan.

Seorang peserta bertanya lagi “Kamu kok ngomongnya campur-campur bahasa inggris? Kelihatannya kamu gak punya nasionalisme, ya?”

“Itu pertanyaannya? Gak ada pertanyaan yang lebih bermutu? Kenapa saya bicara campur-campur bahasa Inggris? Jawabannya sederhana aja ‘kebiasaan’. Next!”

“Uuuuuuhhhh….!” Hadirin mencibir mendengar jawaban itu. Sementara seorang temannya Fadli membisikkan sesuatu.

“Oh ya.” kata Fadli lagi setelah diingatkan temannya, “Soal nasionalisme tadi belum saya jawab. Saya memang bukan nasionalisme. Tapi saya duniaisme. Kita harus belajar dari negara-negara maju. Yang baik kita tiru, kita modifikasi tapi yang gak baik kita tinggalkan. Next!” jawab Fadli yang membuat saya semakin kagum padanya.

“Interupsi!!!!” Sekonyong-konyong ibu guru yang tadi menyelak lagi.

“Maaf, Ibu. Belum waktunya untuk para guru berbicara,” kata saya.

Tapi Si Ibu guru sudah terlalu emosi, dia mengambil mike nganggur di sebelah saya dan berteriak dengan suara marah, ”Saya gak suka sama jawaban anak ini. Saya minta ijin untuk berkomentar.”

“Maaf! Saya sudah ngomong sebelumnya bahwa ini adalah ruang untuk murid. Mereka boleh berbicara apa saja. Dan guru tidak saya ijinkan untuk ngomong.”

“Ijinkan saya berbicara!!!!” pekik Ibu guru itu, “Saya terpaksa berbicara karena anak itu sombong dan yang paling saya tidak bisa terima adalah dia telah menghina murid saya.”

“Nanti setelah acara, saya ijinkan para guru sebagai peninjau untuk berbicara. Sekarang semua diam atau keluar dari ruangan ini!” bentak saya dengan suara menggelegar.

Akhirnya semua diam. Ibu guru itu nampak sangat terpukul dengan sikap saya. Tapi saya gak peduli, saya terlalu jatuh cinta pada anak SMA yang bernama Fadli Zon ini. Anak yang pintar sangat sulit ditemukan. Dan saya bahagia sekali bisa bertemu dengannya. Tidak setiap hari kita bisa menemukan anak pintar seperti itu kan?

Setelah acara selesai, sesuai janji saya, giliran para guru saya persilakan untuk berbicara. Mereka mengomentari acara diskusi sastra yang saya komandani. Satu persatu mereka menyampaikan kesan dan pesannya. Sampai akhirnya tibalah giliran ibu guru resek yang selalu meminta untuk berkomentar.

Mengetahui bahwa kini dia punya kesempatan untuk menyampaikan uneg-unegnya, Sang Ibu tidak terlalu terburu-buru untuk berbicara. Dengan langkah perlahan, dia mengambil mike dan berbicara dengan suara bergetar karena dilanda amarah.

“Terima kasih atas kesempatan berbicara yang diberikan oleh Pak Budiman Hakim. Saya cuma ingin mengatakan bahwa saya setuju bahwa yang namanya Fadli Zon ini pintar. Tapi attitudenya sangat tidak baik. Dia telah menghina murid kami seakan murid-murid kami adalah murid yang bodoh. Saya bersyukur sekali bahwa dia bukan murid saya.”

Saya terdiam mendengar ocehan ibu guru ini.

“Orang pintar itu banyak, tapi orang pintar dengan attitude yang baik itu sangat langka. Dan saya tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau anak ini menjadi pejabat negara. Apa jadinya negara kita nanti,” kata ibu guru itu lagi.

Ibu itu terus berkicau tentang attitude dan saya tidak berusaha menyelaknya sampai akhirnya dia selesai juga.

“Terima kasih Ibu. Yak silakan guru selanjutnya.” Habis berkata begitu, saya melirik ke arah Fadli, tapi tampaknya dia tidak peduli dengan omongan para guru. Bahkan semua peserta pun keliatannya sibuk sendiri berbisik-bisik entah ngomongin tentang apa.

Selesai acara Diskusi Sastra, semua peserta berkumpul di halaman Kementrian untuk berfoto bersama. Selesai berfoto, Fadli menghampiri saya dan berkata, “Mas Bud, boleh gak kita foto berdua?”

“Ya boleh, dong!” sahut saya.

Sambil berfoto, Fadli ngomong lagi, “Saya berfoto sama Mas Bud biar kalo udah dewasa nanti bisa sesukses Mas Bud.”

Saya berpaling ke Fadli dan merangkul pundaknya seraya berucap, “Heh, Fadli, lo orangnya pinter banget. Abis denger presentasi lo aja gue langsung takluk sama lo. Jangan pernah berharap lo akan sesukses gue. Percaya deh, lo akan jauh lebih sukses dari gue. Okay?”

Anak SMA berkacamata itu tersenyum dan membalas merangkul pundak saya sambil berkata, “Thanks, Mas Bud.”

Saya berjalan melalui lorong gedung kementerian untuk cari makanan. Perut saya laper banget seharian belum diisi. Sepanjang perjalanan beberapa kali saya menghela napas panjang, rasanya ada yang mengganjal di dada ini…entah apa itu.

“Piye, Bud? Lancar acaranya?” Tiba-tiba entah nongol dari mana, Pak Sapardi menyapa saya.

“Alhamdulillah lancar, Pak. Saya tertolong oleh seorang peserta yang pintarnya bukan main. Kalo nggak ada dia, pastilah acaranya jadi garing.”

“Oh ya? Siapa namanya?”

“Fadli Zon.”

“Oh, anak itu memang pinter. Kalo gak salah dia keponakannya Taufik Ismail.”

“Ooooh…pantesan pengetahuannya luas banget.”

Seperti Sapardi Djoko Damono, Taufik Ismail juga seorang penyair yang hebat. Dia sangat sering diminta oleh para komposer musik untuk dibuatkan lirik buat lagu. Salah satu yang paling fenomenal tentu saja lirik lagu Chrisye yang judulnya ‘Ketika Tangan dan Kaki Berkata’.

“Yuk kita makan dulu. Semua orang udah nungguin kita….”

Kami berdua berjalan beriringan menuju ruangan panitia tempat kami biasa berkumpul untuk meeting dan makan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun