Sudah lebih dari 30 tahun saya mengenal SDD (Sapardi Djoko Damono). Seorang penyair kondang di negeri ini sekaligus mantan dosen saya di jaman kuliah dulu.
Hubungan kami lumayan dekat. Pak Sapardi pernah membuat testimoni untuk salah satu buku saya yang berjudul Sex After Dugem. Sebaliknya, beberapa kali saya membuat musikalisasi untuk puisi dia. Di antaranya Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari, Maka pada Suatu Pagi Hari, Metamorfosis, dll.
Pak SDD seorang penyair yang sangat produktif. Ada banyak sekali puisinya yang saya suka. Pada kesempatan ini, saya ingin membahas salah satu puisinya yang berjudul Perahu Kertas. Bunyinya seperti di bawah ini:
PERAHU KERTAS
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, "Nuh", katanya, “Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit”
Gila ya lompatan situasinya? Dari seorang anak kecil yang bermain perahu kertas, tiba-tiba tokoh itu berubah menjadi Nabi Nuh dengan perahu legendarisnya. Cuma seorang Sapardi yang bisa membuat lompatan sejauh itu tapi jumpingnya tetap terasa mulus tanpa ada kesan maksa.
Terus terang saya rada sulit memahami puisi ini. Beberapa teman saya di FSUI mengkategorikan puisi di atas sebagai puisi relijius. Ga tau bener atau enggak sih. Jangan-jangan kesimpulan itu cuma berdasarkan kata 'Nuh' doang. Hehehehe....
Sebetulnya, lompatan dalam puisi itu menurut saya kaitannya cukup erat. Sekarang mari kita hitung, ada berapa tokoh di dalam puisi itu? Tiga ya? Anak kecil, Nuh dan Si Orang Tua. Kalo kita baca bait terakhir, kita bisa menyimpulkan bahwa anak kecil dan Nuh adalah orang yang sama. Jadi tokohnya tinggal 2 orang. Setuju ga?