Kedelapan, al-wijadah
Yakni seseorang dengan tidak melalui sama' atau ijazah, mendapat hadis yang ditulis oleh periwayatnya dalam bentuk sahifah (lembaran hadis atau kitab). Dalam hal ini biasanya seseorang memperoleh hadis Nabi yang termuat dalam kitab karya tulis ulama yang sezaman dengannya atau tidak sezaman. Bila penerima hadis tidak sezaman dengan pemilik kitab, maka al-wijadah baru dibenarkan jika si penemu sudah dapat membuktikan dengan benar bahwa tulisan tersebut asli milik seorang syekh. Oleh karenanya, al-wijadah harus diteliti kebenarannya, bisa melalui khabar mutawatir, atau kesaksian orang-orang terpercaya ataupun karena popularitas kitab tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehannya meriwayatkan dengan cara al-wijadah. Ahmad Syakir salah satu yang tidak membolehkan periwayatan ini, sebab banyak orang di masa kini yang memperoleh informasi dalam berbagai kitab atau majalah kemudian berkata dengan menyandarkan seorang perawi hadis padahal tidak benar demikian. Menurut Syakir, perbuatan ini tidak terpuji sebab telah mengubah pengertian yang tidak benar. Orang tersebut telah merusak peristilahan ilmu hadis. Jika hal ini dibiarkan, maka akan terjadi pemindahan riwayat secara dusta.
Sebaliknya pendapat yang membolehkan periwayatan jenis ini, harus memenuhi syarat-syarat, antara lain;
Tulisan hadis haruslah diketahui secara mutlak siapa periwayat sebenarnya
Kata-kata yang digunakan untuk periwayatan haruslah menunjukkan bahwa asal hadis itu diperolehnya secara al-wijadah.
Kalimat yang digunakan dalam periwayatan al-wijadah adalah:
وَجَدْتُ بِخَطِّ فُلَانٍ حَدَّثَنَا فُلَانٌ
وَجَدْتُ فِي كِتَابِ فُلَانٍ بِخَطِّهِ حَدَّثَنَا فُلَانٌ
وَجَدْتُ عَنْ فُلَانٍ أَوْ بَلَغَنِي عَنْ فُلَانٍ
وَجَدْتُ فِي نُسَخِهِ مِنْ كِتَابِ فُلَانٍ