Berbeda dengan tawaf yang pasif, ketika menunaikan Sai jemaah harus aktif menguatkan ikhtiar. Kewajiban setiap muslim hanyalah berikhtiar sekuatnya. Jangan mengharapkan hasil lebih dulu. Sebab mengharapkan hasil setara menabur bibit kekecewaan yang engkau akan tuai apabila harapanmu tidak tergapai. Kuatkan ikhtiarmu, engkau akan menjadi seorang profesional dalam bidangmu. Hargai anakmu berdasarkan disiplinnya mengerjakan tugas, bukan dari nilai yang dia peroleh. Hargai kegigihan ikhtiar suamimu mencari nafkah, bukan besar uang yang dibawanya pulang.
Alhamdulillah Sai dapat kami tunaikan dengan lancar. Seorang teman menceritakan "teguran" untuk istrinya saat Sai. Sang istri terlepas dari pegangannya. Seolah hilang tertelan di antara kerumunan orang banyak. Sang istri dijumpanya kembali di penginapan dalam keadaan menangis. Temanku menceritakan langsung bahwa kejadian itu hanya terjadi seketika. Beberapa detik saja. Dia tidak menemukan istrinya di daerah Sai.
Jumrah: Melempar Kejahatan Dalam Dirimu
Rangkaian ibadah yang cukup berat adalah melempar jumrah. Sebab seringkali, jemaah yang kurang memahami hakikatnya berdesakan hingga memakan korban. Buku “Haji” Ali Syariati mengupas secara mendalam makna melempar jumrah. Ketiga berhala yang dilempar melambangkan tiga atribut Allah (Rabb, Maalik dan Ilah) yang ingin dimiliki makhluk.
Hayatilah Surat Al Fatihah dan An Nass, pembuka dan penutup Al Quran. Keduanya memuat kesepadanan ketiga atribut Allah diatas. Ingatlah, sesungguhnya kita melempar kejahatan syetani yang ada di dalam diri kita. Jangan sampai justru kita yang meragakan syetan, melempar dengan penuh nafsu.
Aku berdoa kepada Allah untuk memberikan keselamatan dan kemudahan saat mengerjakan rangkaian ibadah ini. Aku berkonsentrasi menghayati kedua surat diatas, banyak beristigfar, dan menunggu bimbingan. Kembali “suara” itu terdengar menunjukkan jalan, belok kiri atau belok kanan. Setelah menunaikan lemparan salah satu jumrah, kami menepi untuk berdoa, bersyukur kepada Allah.
Tidak terlupakan saat “suara” itu menyuruhku berhenti padahal kulihat ada jarak untuk masuk mendekati Jumrah Aqobah. Tiba-tiba aku merasa mengerti maksudnya. Jarak itu berguna untuk menyelamatkan jemaah yang berada di depan dari tekanan orang yang datang. Seorang jemaah yang ingin keluar memelukku. Ia berterima kasih mendapatkan ruangan. Kemudian kami dapat masuk mendekati jumrah. Melempar untuk diri sendiri dan anggota jemaah yang berhalangan. Saking dekatnya dengan jumrah, terasa beberapa kali kepalaku menerima lemparan batu kecil.
Arafah: Padang Kebijakan
Arafah puncak haji. Tidak sah haji tanpa kehadiran di Arafah. Meski menemukan banyak pepohonan hijau, daerah itu sangat panas. Setelah mendengar kutbah Arafah, kami keluar mencari tempat sendiri-sendiri untuk merenung. Ada buku doa Arafah milik anggota jemaah yang kubaca. Bagus sekali isinya. Sampai menangis. Lalu buku itu diedarkan untuk dibaca jemaah lain. Istriku sangat tertarik dengan buku itu. Sepulang haji, ia mengcopy beberapa eksemplar untuk dibagikan kepada jemaah calon haji.
Setelah berdoa, aku tertarik memantau kondisi sekitar. Sebagaimana di Mina, begitu banyak sampah di Arafah. Terutama bekas makanan dan minuman yang melimpah di tempat itu. Banyak orang berderma membagikan makanan kepada jemaah. Aku berdisplin tidak ingin membuang sampah sembarangan. Bila ada kesempatan membersihkan sampah, aku berdoa "Ya Allah, sebagaimana hambaMu ini tidak ingin mengotori bumiMu yang suci, maka sucikan pula hati hamba dari kemusyrikan dan kemunafikan"
Doa Orang Tua Terkabul
Begitu banyak kenikmatan yang kami rasakan selama menunaikan ibadah membuatku bertanya. Mengapa semua kemudahan itu aku rasakan? Pertanyaan itu kuajukan setelah selesai sholat di lantai dua Masjidil Haram menghadap ke Multazam. Terdengar kembali "suara" itu menjawab: "Itu karena doa Ibumu…"