Jemaah Mesir itu membaca Al Quran dengan dialek khas namun bacaannya jelas. Tiba-tiba dia terbatuk. Dengan cepat, kutawarkan permen menthol. “Good for your throat” bujukku. Dia menerimanya, tetapi tidak memakannya. Ketika ingin membaca surah yang lain, aku memberanikan diri ‘memesan’ surat Al Mulk untuk dia baca. Dan diapun membaca dengan baik.
Ketika surat Al Mulk selesai, dia kembali batuk. Aku lalu tawarkan Komix. Dia menerimanya. Dan aku kembali ‘memesan’ surah Ar Rahman. Dia menyetujui, lalu membacanya dengan tartil.
Selesai membaca surat Ar Rahman, aku menawarkan dirinya untuk istrirahat minum. Kutunjukkan botol mineral Dua Tang yang aku bawa dari Indonesia. Aku peragakan bagaimana air tidak akan muncrat bila knopnya ditekan dan air akan muncrat bila knop ditarik. Kuberikan kepadanya sebagai hadiah. Dia senang sekali. Tetapi sekali lagi kembali “memesan” surah Al Waqiah. Dia kembali dengan suka hati membacanya dengan baik.
Selesai dia mengaji, kami ngobrol sebentar. Dia nampak tidak banyak mengerti bahasa Inggris. Ketika dia menyebutkan Egypt, aku menduga dia berasal dari Mesir. Spontan aku berkata: “Oh Firaun? Firaun!” Dia hanya tersenyum simpul membenarkan.
Meski pakai bahasa tarzan, suasana menyenangkan. Tidak terasa sengatan terik matahari. Namanya Ahmad. Dia mendoakanku suatu hari dapat mengunjungi negerinya Mesir. Sobat, jangan menyepelekan doa di Masjidil Haram. InsyaAllah, suatu saat aku – malah kudoakan beserta anak mantuku – berziarah ke Mesir.
Akhirnya saat sholat Jumat tiba. Ada keraguan panas akan menyengat meski seorang yang badannya tinggi berada di depanku. Keraguanku tercampakkan, saat semilir angin terasa sejuk membelai kulitku berulang-ulang. Ya Allah, janjimu benar. Sholat di atap Masjidil Haram menyenangkan. Sejuk. Dan aku dapat mendengarkan surah yang ingin kubaca pada hari Jumat lewat perantaraan lisan seorang jemaah Mesir.
Minuman Hangat Sebelum Tahajjud
Aku menguatkan niat untuk Tahajjud di Masjidil Haram. Saat terbangun, aku ingin lebih dulu menyenangkan diri dengan minuman hangat. Teh Susu misalnya. Namun sayang sekali, pemanas air di penginapan kami belum berfungsi. Air masih dingin untuk membuat seduhan. Aku mengharapkan dalam situasi dini hari seperti ini masih ada penjual minuman. “Suara” itu kembali terdengar, “InsyaAllah, engkau akan mendapatkan penjual minuman teh susu hangat.”
Aku melanjutkan langkah menelusuri pertokoan Pasar Seng yang masih sepi. Kucoba memperlambat langkah sembari mengawasi jika ada penjual minuman. Ternyata tidak ada hingga mendekati tangga atas Masjidil Haram. Aku langsung kembali membathin. Tak apalah. Minum air Zam Zam saja cukup.
Ketika hendak masuk pintu masjid, aku melihat seseorang melintas sambil hati-hati memegang gelas yang nampak mengepul. Nah, pasti di sekitar sini ada penjual minuman. Lalu kucoba mengikuti jalan yang agak mendaki. Masya Allah, tidak jauh kulihat satu-satunya kedai yang masih buka. Langsung ku hampiri membeli segelas teh-susu.
Berhajilah Selagi Muda